Drama Cina Six Sisters tak seberapa laku di Indonesia. Tak banyak review atau publisitas, padahal ia adalah Keluarga Cemara versi Negeri Tirai Bambu. Malahan lebih kaya pelajaran hidup dan edukasi tentang arti sebuah keluarga.
Bagi kelahiran 80an ke bawah, Enam Saudari seperti mengingat masa lalu ketika norma keluarga dan pengabdian pada yang lebih tua usianya adalah kehormatan diri. Sebuah pandangan hidup yang sangat dipegang sampai ajal menjemput.
Keluarga, tempat bertumbuh. Tempat yang hidup. Tempat cinta tertinggi lahir, tumbuh dan jadi suar dalam hidup. Dalam keluarga ada yang lebih tua dan ridho-nya adalah kemudahan bagi hidup kita, sakit hatinya adalah kemalangan kita.
Drama ini memang tak populer, tapi sungguh membuat saya sangat menantikannya. Seakan mengajak saya meniti kembali jejak masa lalu. Setidaknya ada beberapa kesamaan tentang pandangan hidup yang saya ketahui, pernah hidup dan diceritakan dalam surat Kartini, novel Para Priyayi (Umar Kayam), dan yang semacamnya.
Mengenai kehidupan di Cina pada tahun 60an sampai tahun 2000an, memang takkan pernah sama dengan kehidupan di Indonesia. Namun mengenai pandangan hidup, sebenarnya tidaklah berbeda. Hidup dengan bermartabat artinya hidup sesuai hati nurani yang bersih. Jika nurani terusik, mungkin ada yang salah dalam prosesnya.
Saya serius. Sebagus itu kontemplasinya.
Drama ini memang menceritakan jatuh bangun sebuah keluarga yang dimulai dari tahun 1962. Tahun ketika Jia Li usia SD diajak neneknya menyusul ayah ibunya ke Tianjiaan. Cerita perjalanan panjang keluarga ini berakhir tahun 2000an, ketika Jia Li berusia 40an tahun.
Sungguh perjalanan hidup yang panjang, dan dirangkum dalam 38 episode yang punya warna-warni emosi khas keluarga besar. Jumlah pemerannya terus berganti dan bertambah karena memerankan dari bayi, kanak-kanak, remaja sampai menjadi ibu/ayah.
Sangat mungkin ini adalah drama dengan pemeran pendukung terbanyak, dan untuk pemeran anak-anak, tak bisa tidak, sudah pasti yang terbanyak, karena sebagian besar pemerannya diceritakan mulai dari kelahirannya, dan mereka hadir setiap hari raya.
Sebagus apa dracin Six Sisters atau Enam Saudari?
He Jia Li adalah kakak perempuan tertua di keluarga He. Secara alami ia harus menjadi tulang punggung kedua setelah ayahnya. Begitulah norma keluarga pada masa lalu. Anak tertua adalah orangtua kedua, secara tanggung jawabnya.
"Anak tertua harus yang paling kokoh menopang hidup seluruh keluarga". Saya pernah menuliskannya untuk review drama Our Days.
Di Indonesia pun dulu seperti itu. Percaya, nggak? Sebelum kemajuan sampai sejauh ini, anak tertua adalah orangtua kedua juga. Bedanya mereka mendapatkan hak penghormatan sekaligus kewajiban yang melekat.
Konsep ini sudah lama hilang, ya. Tak tertransfer ke anak. Akan tiba masanya, mengunjungi keluarga yang dituakan saat Lebaran akan hilang jika anak tidak paham konsepnya. Sesuatu yang perlu diperhatikan benar oleh orangtua agar transfer tradisi yang satu ini bisa dimengerti dan dilakukan secara sukarela nantinya saat kita sudah tiada.
Lanjut, ya.
Di bawah asuhan Nenek Wen, Jia Li memang menjadi kokoh dan pelindung semua orang sejak kecil. Ketika ayahnya begitu ingin punya anak perempuan, ia memotong rambutnya seperti anak laki-laki, dan menjadi setegar mereka. Sampai tua ia tak pernah memanjangkan rambutnya lagi.
He Chang Sheng, ayahnya, memang begitu mendambakan anak laki-laki, namun ia harus puas dengan 6 anak perempuan. Sang Ibu (Liu Mei Xin) juga sering merasa dirinya kurang dihargai karena tak bisa melahirkan anak yang dinantikan suaminya. Padahal itu hanya perasaannya saja. Hal ini bisa dipahami sebagai tradisi meneruskan marga keluarga.
Untunglah Nenek Wen yang jadi mertuanya bisa menjadi penopang dan sumber keharmonisan keluarga. Itu adalah inti ceritanya, sekaligus gambaran bagaimana keluarga He ini menjalani hidup. Masing-masing karakter -- menakjubkannya -- tergambar dengan sangat baik dan tepat.
Ada tokoh yang sangat inspiratif, karena legowonya, ada pula yang sangat mengesalkan sekali. Padahal mereka satu darah. Salah satu pelajaran hidup yang sederhana namun menggetarkan adalah saat Jia Wen menikah kembali dan suaminya lupa menaruh uang serta terlanjur bertanya.
Reaksi Jia Wen dan anaknya benar-benar ksatria, sehingga mereka menjadi keluarga yang harmonis. "3 orang, 3 marga, hidup rukun selamanya," tekad mereka.
Benar-benar wajib nonton, sih.
Saya terkesan sekali dengan karakter masing-masing anggota keluarga. Lucunya saya jadi benci dengan Lui Mei Xin (ibunya Jia Li) yang tak menyadari harta karunnya: punya 6 anak perempuan luar biasa dan 5 menantu yang sangat berbakti padanya (dan istrinya).
Ia sibuk dengan perasaan tidak puas "hanya bisa melahirkan anak perempuan saja". Ia tidak memahami alasan mengapa suaminya selalu ingin menambah anak. Ia sadar tepat waktu, karena ia memang suami dan orang yang baik.
Lucunya saya juga menjadi sangat benci pada Jia Xi (anak ke-enam) yang culas dan berhati sempit. Puas rasanya melihat ia harus hidup dengan organ yang didonorkan oleh Jia Li, yang paling ia benci. Baru kali ini saya menonton drama dengan emosi meluap bin julid ala netizen +62. Sebagus itu cerita Dracin Six Sisters/Enam Bersaudara.
6 anak perempuan, tentu saja sangat riuh. Inilah profil mereka.
1. He Jia Li,
Anak pertama, harus merelakan cinta pertamanya demi keluarga. Sungguh beruntung ia menikah dengan Zhang Jian Guo yang sangat baik hati dan selalu berpikiran terbuka.
Suami istri ini menjadi tiang bagi keluarga. Anak mereka satu-satunya bermarga He demi membuat ayahnya punya penerus marga. Mereka tulus menjadi pohon pelindung bagi seluruh keluarga namun selalu dicurigai oleh ibu dan adik kandung ke-enamnya; hanya karena marga anak mereka He, agar keluarga punya penerus.
Berkah dan hadiah untuk orangtua (dan keluarga) bisa jadi sumber kebencian adik yang salah asuhan. Tampak bahwa lahir di masa hidup nyaman bisa membuat sempit hati dan iri yang tak seharusnya dirasakan.
2. He Jia Wen,
Anak kedua dan tercantik, itulah He Jia Wen. Tanpa pendidikan tinggi pun ia tampak mriyayeni. Hatinya lembut dan berkarakter tenang.
Nasibnya beruntung, menikah dengan keluarga priyayi. Namun ternyata saudara iparnya tidak baik setelah mertuanya meninggal dunia. Kehidupan suami istri ini terpuruk bahkan suaminya meninggal dunia.
Setelah beberapa lama ia menikah kembali, demi masa depan anak. Mereka menjalani penyesuaian yang tak mudah, meskipun karakter anaknya dewasa. Hidup mereka kembali tertata serta bahagia, karena ayah yang baru hanya butuh penyesuaian sebentar.
3. He Jia Yi
Anak paling ulet, paling nekat, dan paling modis. Ia menikah tanpa pesta karena hamil duluan dan ayahnya bau saja dikuburkan. Menapak kehidupan dari 0 dengan menopang keluarga suami, akhirnya ia menjadi orang kaya baru.
Ia tak tahu jika sebagian modalnya dari Jia Li. Ia bahkan membenci kakak pertamanya itu sehingga saat sang kakak kesulitan memintanya menulis surat hutang untuknya.
Karma buruk ini membuat ia menjadi miskin kembali selama bertahun-tahun dan apapun usahanya selalu gagal. Pada akhirnya, setelah berkali-kali jatuh bangun dengan bisnisnya, mereka bisa menikmati hidup. Mereka menjadi contoh untuk tidak ragu melihat peluang baru.
4. Liu Xiao Ling,
Anak ke4 diberi marga Liu, marga ibunya. Ia sering berebut pakaian dengan kakaknya, dan selalu merasa dirinya hanya pernah memakai baju bekas. "Sifat lapar" ini terbawa sampai dewasa.
Di antara semua keluarga ia dianggap paling beruntung karena bisa "mewarisi" pekerjaan ayahnya sehingga punya penghasilan stabil. Namun mendapatkan beda dengan memperjuangkan.
Ia kurang menghargai "warisan" itu dan memutuskan menjalani hidupnya sendiri. Berbagai pekerjaan dijalani. Ia menikah, bercerai, kemudian menikah kembali dan kembali bercerai.
Ia disebut "penetas telur" gara-gara punya 3 anak dari 2 suami berbeda. Gurauan kasar yang diterima dengan tawa karena merasa ada benarnya. Kasih sayang dan rasa hormat bisa membuat ejekan diterima secara kasual.
5. He Jia Huan,
Anak terpintar, satu-satunya sarjana di keluarga He. Keras hati, keras mulut, namun hatinya baik. Akuntan yang baik dan jujur, namun sangat takut pada api sehingga tak pernah memasak.
Cinta pertamanya kandas. Akhirnya ia menikah dengan duda yang memikat hatinya dengan masakan. Hanya suaminya itu yang bisa menyesuaikan diri dengan wataknya.
Hanya saja, karena usia terpaut agak jauh dan profesi, suaminya kurang percaya diri dan cemburu buta. Badai pernikahan mereka terjadi karena rasa kurang percaya diri ini.
6. He Jia Xi,
Anak ke-enam, yang paling modis. Ia tak pernah mengalami zaman pengekangan pemerintah sehingga tak mengenal berbagi dan berhemat. Sebelumnya tak hanya makanan yang diatur dengan kupon, bahkan kain dan benang pun dihitung dengan ketat.
Ia juga satu-satunya anak yang "diterima" dengan tangan terbuka oleh ayahnya, karena dilahirkan secara sesar. Anak terakhir, dan harapan terakhir. Dengan sendirinya sangat disayangi oleh ibunya.
Ia dimanjakan sampai menjadi berhati sempit dan selalu mendambakan hidup enak saja. Dengan watak sejelek ini ia mendapatkan suami yang sangat baik dan pengertian. Tenaga dan waktunya selalu ada untuk keluarga besar He. Sifatnya ini membuat Jia Xi menjadi tambah egois dan mementingkan dirinya sendiri.
Semua anak tahu bagaimana semua tabungan ibunya lari padanya. Bahkan uang berkabung nenek juga diberikan padanya. Kelima kakaknya meski hidup lebih sulit tetapi tetap menghormati keputusan ibunya.
Karakter 6 anak ini memang unik dan tidak sama. Meski begitu mereka selalu akur dan tenggang rasa. Tahu kalau sang ibu jauh dari rasa adil, mereka terus bersabar. Hidup dengan susah-senang masing-masing.
Pada episode awal, karakter Jia Li kecil sangat memikat hati. Kehidupan penuh kekangan digambarkan dengan baik melalui kupon daging dan mereka nyaris ditangkap gara-gara kegiatan meramban (mencari makanan dari sungai) karena daging tangkapan pun dianggap kemewahan yang dilarang.
Kedisiplinan semacam ini memang membentuk karakter orang Cina. Saya jadi ingat drama Story of Xing Fu dan Wild Blooms yang diperankan Zhao Li Ying. Keduanya menceritakan era 90an awal yang rasanya sudah jauh di belakang, padahal belumlah lama.
Cerita ini menjadi pemikat pertama saya, karena masa-masa susah di Cina digambarkan dengan jelas. Sudah saatnya ada film/drama era 60an di Indonesia yang juga merupakan masa sulit, nih.
Sinopsis Enam Bersaudara (Six Sisters)
He Chang Seng sangat mendambakan punya anak laki-laki. Meneruskan marga He sangat penting baginya. Nasib memberinya 6 anak perempuan. Istrinya semakin lama semakin sempit hati karena terus-menerus mengecewakan suaminya. Nenek Wen (ibunya He Chang Seng) sangat baik dan membantunya melewati tsunami kekecewaan mereka.
He Chang Seng suami dan ayah yang baik. Ia hanya ingin punya penerus marganya. Beruntung menantu pertamanya (suami Jia Li) sangat berbakti dan memberinya hadiah besar: cucu pertamanya bermarga He.
Secara alami kelak si cucu ini tak hanya mewarisi marga namun juga hak dan kewajiban utama keluarga. Namun Jia Li dan suaminya selalu beranggapan rumah tetaplah milik ibu dan enam saudara, sedangkan kewajiban merawat adalah kewajiban pribadi dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ia bertahan meski disalahpahami ibunya sendiri dan diusir oleh adik ke-6 secara paksa.
Susah-senang keluarga, siapa yang tak punya? Begitulah mereka. Satu per satu susah dan senang datang bergantian atau bersamaan. Ada yang meninggal dan ada yang lahir. Setiap hari besar atau prestasi keluarga dibawa ke meja makan besar. Keluarga memang tempat menikmati apapun betsama meski selera dan pandangan mereka berbeda.
Nenek adalah tiang penopang kedamaian keluarga, karena bagaimanapun ia yang harus dihormati dan dipatuhi. Setelah Nenek Wen meninggal, hanya karma dari kelakuan menindas saudara tua yang bisa menyadarkan mereka. Orang Indonesia mengatakan "kualat".
Menjadi orangtua yang tidak punya rasa bersalah dilakukan Jia Li dan suaminya saat anaknya akan menikah. Karena syarat keluarga perempuan sangat penting untuk dipenuhi, mereka menukar profesi bagus dengan sebuah rumah untuk anak menantu. Secara sadar dan bahagia mereka melakukannya karena kewajiban orangtua adalah memberikan anak jodoh yang dipilih karena cinta.
Bicara tentang darma orangtua: Yang juga menarik di sini adalah bahkan seorang ibu 6 anak yang sudah sepuh pun bisa salah menafsirkan keinginan dan kebutuhannya sendiri. Ia tak pernah puas dengan bakti anak pertama karena sejak lama di hatinya hanya ada anak ke-6.
Pada akhir cerita ia tertampar keras kenyataan bahwa ia telah salah bersikap sebagai orang yang paling dituakan dan telah menjadi sangat tidak adil terhadap 5 anak lainnya.
Mungkin itulah keluarga dan rumah. Ruang bertumbuh tanpa membatasi usia. Ruang untuk tangis, tawa dan bahagia, Ada yang pergi dan ada yang datang. Mereka yang masih hidup harus bisa menempatkan dirinya sebagai satu bagian dari "keluarga He" dan memaknai pesan ayah/suami mereka: Rumah adalah KITA. Pesan ini bukan hanya berarti rumah jangan dijual akan tetapi rumah adalah kehangatan keluarga.
Kesimpulan
Saya harus katakan bahwa tak pernah saya menonton drama Cina dengan perasaan lengkap seperti ini. Seluruh emosi bercampur aduk karena drama ini seperti cerminan seluruh keluarga di dunia ini. Tentu saja tak semuanya sama, tapi pasti ada episode yang mengingatkan pada pengalaman pribadi.
Lucu saat tanpa sadar saya mengumpat, "syukurin" dalam bahasa Jawa saat sang ibu terpaku sangat lama melihat rumahnya direnovasi Jia Xi. Umpatan yang sama saat melihat preview dracin Six Sisters -- Enam Saudari episode 37-38 ketika ia menyadari sifat sempit hatinya diwariskan pada anak kesayangannya yang akan menjual rumah. Padahal, bagi orang sepuh mana pun, rumah adalah cangkang mereka yang takkan bisa diubah/diganti dengan harta apapun di dunia ini. Ia membakar sertifikat rumah karena tak sampai hati menolak secara langsung.
Six Sisters atau Enam Bersaudara bisa ditonton di WeTV. Untuk mereka yang ingin mengetahui/mengingat kembali pandangan hidup di masa lampau kita (di Indonesia juga sama), yang tak berhasil ditransfer oleh orangtua kepada anaknya, sehingga tak banyak lagi yang benar-benar melihat arti rumah dan keluarga di masa lampau. Juga arti lkualat jika bersikap tidak sopan pada orangtua atau saudara yang lebih tua.
12 Komentar
Nonton drakor itu bikin candi banget, tiap ceritanya pasti menarik. Tema nya juga beda2. Habis baca ulasannya, jadi pengen nonton drama yang ini
BalasHapusIni mengingatkan kira pada film keluargs di Indonesia, keluarga cenara. Tapi kalau yg dracin ini penuh konflik seru, kalau keluarga cemara adem ayem saja.
BalasHapusBisa disingkat begitu
Hapuskeluarga di China bisa sekompak ini karena menganut Konfusianisme ya?
BalasHapusAnak-anak menghormati yang lebih tua. Semacam takut kualat kalo ngelawan orang tua
Saya baru aja beres nonton Perfect Match yang mirip2, anak sulung berkorban untuk keluarga sementara anak bungsunya slengean. Walau gak benci anak sulung sih, malah kompak dengan keluarga inti
Di Indonesia juga dulu adatnya begitu, Mbak, tak banyak perbedaan
HapusEh ternyata di sana bisa ya seorang anak secara "sah" mewarisi marga ibunya? Bukan sistem patriarki yang sak-klek gitu atau bagaimana mbak? Jadi penasaran. Btw, ceritanya penuuh banget yaa Mbak. Jadi ingat pernah nonton The Making of an Ordinary Woman yang alurnya maju - mundur usia dewasa-kecil dengan segala konflik pribadi dan keluarga.
BalasHapusKalau lihat konfliknya kayak dalam gitu yaa..salah paham, benci, marah, dll... Tapi tetap jadi keluarga.
Untuk marga, di sana lebih casual, Mbak. Malahan dulu kalau keluarga tak punya anak laki-laki akan mengadopsi, karena warisan hanya bisa diterima anak laki-laki.
HapusOrang Cina di Indonesia pada zaman kolonial juga punya tradisi sama.
Makin maju, hal itu tidak berarti banyak.
Sangat menarik, jadi ada dinamika nilai tradisi serta unsur konflik keluarga ya mbak. Layak untuk ditonton ini.
BalasHapusWah cuma di We TV ya? Aku suka banget cerita tentang drama keluarga kaya gini. Related banget dengan kehidupan kita
BalasHapusSeru banget ini tiap-tiap anak punya ciri khas masing-masing. Bakalan unik ini konflik yang terjadi. Sepertinya related dengan kehidupan
BalasHapusReview ini benar-benar menggugah! Membaca kisah keluarga He dalam Six Sisters rasanya seperti melihat refleksi banyak keluarga di dunia, termasuk di Indonesia. Bagaimana peran anak sulung, harapan orang tua terhadap penerus marga, hingga konflik karena perbedaan cara pandang antar generasi semua terasa begitu dekat.
BalasHapusBaru baca reviewnya aja, drama six sisters memang cukup layak dinantikan, terlebih bagi penggemar drama keluarga dengan alur yang penuh makna apalagi jika didukung akting para pemeran yang apik
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)