Brain Rot, Definisi dan Cara Atasi

Ada istilah yang sering muncul di linimasa Youtube saya, yaitu brain rot. Kebetulan saya memang cukup konsern dengan efek penggunaan gawai pada anak. Brain rot mengacu pada kondisi otak mandek alias susah paham. 

Brain Rot, Definisi dan Cara Atasi


Orangtua sekarang ini banyak yang mengalami kejengkelan ringan saat menghadapi anak yang gagal paham dengan sesuatu yang sebenarnya simpel. Sesuatu yang remeh sekali. Lama-lama bisa bikin jengkel beneran. 

Sebelum istilah ini muncul, saya sudah menertawakan diri sendiri saat berbincang dengan suami:

"Buat apa aku tahu kabar kalau gurun pasir negara S menjadi ladang bunga, sesuatu yang terjadi sekian puluh tahun sekali. Buat apa aku tahu... tapi kepo juga ingin nonton videonya sampai selesai."

Ini percakapan nyata, ya, dan menggambarkan situasi saat ini. Saya memasukkannya ke informasi tidak penting tapi kepo. 

Kalau orang seusia saya dengan literasi yang cukup bagus (saya masih baca buku fisik 1-2 judul per minggu), bisa memilah informasi tapi tetap kepo.... bagaimana dengan anak-anak yang literasinya masih belum bagus?

Okelah jika contoh di atas masih bisa dikatakan informatif, bagaimana dengan konten receh di media sosial yang menyasar kalangan anak? Informasi receh yang seringkali destruktif, menyerang kita dari berbagai sisi, berjam-jam, sesuai jumlah mengakses media sosial?

Maka brain rot ini menjadi ancaman nyata, makanya saya menulisnya di Susindra. Berharap sampai dan dibaca sobat semuanya.


Definisi Brain Rot

Istilah brain rot jika diterjemahkan secara lugas adalah "otak busuk" atau "pembusukan otak". Seram, ya?

Brain Rot


Brain rot secara istilah mengacu pada kondisi seseorang merasa mentalnya "mandek," kehilangan motivasi, atau mengalami kesulitan dalam berpikir secara jernih. Asalnya dari akibat konsumsi konten yang tidak bermanfaat secara terus-menerus, penggunaan media sosial berlebihan, menonton konten acak yang tidak berkualitas, atau kurangnya stimulasi mental yang bermakna. 

Disadari atau tidak, kebiasaan mengakses informasi receh di media sosial bisa menjadi kebiasaan yang merusak otak. Pasalnya, ada limitasi kemampuan otak dalam menyimpan suatu informasi. 

Gejala Brain Rot

Jika seseorang terus menerus memasukkan informasi yang tidak relevan dengan hidupnya, maka ruang untuk menyimpan sesuatu yang nyata akan sulit digali dan diakses di antara informasi tidak penting yang jauh lebih masif masuknya secara jumlah maupun waktu yang dihabiskan. Apalagi informasi ini hanya akan mandek di otak karena tidak relevan dan tidak digunakan.

Ini sama seperti saya melahap jutaan how to cook sesuatu tapi tak pernah mencobanya. Informasi ini hanya mengendap saja di otak dan tak bisa diakses karena saking banyaknya.

Berikut ini tanda terjadi brain rot:
1. Sulit berkonsentrasi atau fokus pada tugas penting.
2. Merasa malas atau tidak produktif.
3. Pikiran terasa "kabur" atau lambat.
4. Tidak berminat melakukan aktivitas yang butuh pemikiran mendalam.
5. Sering merasa butuh hiburan instan seperti scrolling media sosial tanpa henti.

Kebiasaan ini termasuk dalam kebiasaan digital yang tidak sehat. Bahkan bisa mengganggu kemampuan fokus. Masalahnya adalah, gejala ini bisa berkembang menjadi kemandekan berpikir dan perasaan tertekan karena merasa tidak mampu melakukan apa yang orang lain anggap mudah.

Masih ada lagi hal yang lazim terjadi saat seseorang terlalu banyak mengakses informasi receh di media sosial, yaitu durasi waktu yang sangat lama, sehingga menjadi kurang istirahat dan kurang olahraga. Keduanya memperburuk fungsi otak karena kurangnya aktivitas fisik.  


Cara Mengatasi Brain Rot

Secara umun, brain rot terjadi karena terlalu sering mengakses konten yang tidak berkualitas. Konten hanya ditonton tanpa dicerna karena memang tak ada nilai edukasi maupun refleksinya. Otak menyimpan informasi ini secara terus-menerus dan menumpuknya seperti sampah. 

media sosial = sampah otak


Agar informasi tidak menjadi "sampah" di otak, memang sebaiknya setiap informasi perlu dianalisis dan direfleksi. Kegiatan ini membuat daya ingat pada informasi tersebut lebih bertahan lama. 

Agar tidak terjadi brain rot, berikut cara mengatasinya:

1. Kurangi Konsumsi Konten Acak

a. Batasi waktu di media sosial dan platform hiburan instan.

b. Pilih konten yang bermutu, seperti artikel edukasi, dokumenter, atau buku.


2. Tetapkan jadwal lepas gagdet/smartphone

a. Luangkan waktu setiap hari untuk menjauh dari layar, misalnya satu jam sebelum tidur.  

b. Gunakan waktu tersebut untuk aktivitas seperti meditasi, berjalan di alam, atau berinteraksi langsung dengan orang lain.


3. Berikan Otak Waktu untuk Beristirahat

a. Jangan biasakan multitasking, atau minimal batasi kegiatan ini.

b. Beri waktu pada otak untuk memproses informasi


4. Bersosialisasi dengan Orang Lain

a. Bertemu dengan orang lain bisa meningkatkan suasana hati dan motivasi.

b. Berbicara atau berdiskusi dengan orang lain secara alami membantu memecah kebiasaan berpikir pasif.  
Latih otak dengan membaca dan menulis



5. Latih otak dengan membaca dan menulis

a. Membaca buku lalu menulis kembali dengan bentuk yang berbeda membuat otak menjadi lebih sehat.


6. Bermain game nyata

a. Bermain game nyata bisa membantu otak beraktivitas secara sehat, misalnya sudoku, catur, dan semacamnya


7. Perbaiki Pola Hidup

 a. Tidur cukup sangat penting untuk memulihkan otak. Durasinya 7–8 jam per malam.

b. Makan makanan sehat seperti buah, sayuran, kacang-kacangan, dan ikan berlemak.  

c. Olahraga secara rutin untuk meningkatkan aliran darah ke otak.


8. Belajar tentang Mindfulness

a. Fokuskan perhatian pada satu tugas dalam satu waktu untuk melatih otak bekerja secara mendalam.

b. Latihan mindfulness atau meditasi membantu meningkatkan fokus dan menenangkan pikiran.  


Kesimpulan

Brain rot harus dicegah dan diatasi, karena bisa bersifat destruktif. Bentuknya lebih ke gangguan mental dan kognitif. 

Masalahnya, brain rot bisa terjadi pada siapa saja. Meski bukanlah kondisi permanen, namun harus diwaspadai dan diatasi. 

Kondisi ini bisa langsung disembuhkan dengan dengan perubahan gaya hidup serta kebiasaan yang lebih sehat. Mengembalikan kesehatan mental dan kognitif dengan memperbaiki gaya hidup. Lebih-lebih, harus bisa menjaga keseimbangan antara hiburan dan kebutuhan.

0 Komentar