Saya sedang kepincut drama Our Days. Hampir tamat pula sehingga semakin semangat. Kurang dari seminggu pula. Tapi yang paling menarik adalah pemahaman saya tentang tipe keluarga yang di Indonesia sudah nyaris punah. Iya, nyaris punah. Maka saya menonton ini sambil membayangkan kehidupan kakek, nenek, sampai buyut-buyut kita dulu. That's a family are for.
Saya tidak punya keluarga semacam itu. Tak berani bermimpi punya yang seperti itu. Malahan keluarga saya carut-marut melebihi broken family. Tak perlu lah disebutkan di sini. Saya hanya akan bercerita tentang tradisi keluarga zaman dahulu yang sudah tidak dikenal di masa sekarang ini.
Banyak sudah missing link antara kehidupan zaman old dengan zaman now. Sangat sedikit generasi yang bisa mengingat bagaimana etos keluarga generasi baby boomers atau sebelumnya.
Darma menjadi anak, menjadi orangtua, bahkan menjadi anak sulung, sudah nyaris tak tertransfer ke generasi muda. Saya yang generasi x pun tak tahu bagaimana meneruskan informasi ini ke anak saya yang menjadi gen z dan gen alpha. Mereka ini bukan generasi pendengar radio yang satu arah. Mereka generasi yang berkomunikasi dua arah dan secara logik. Apa yang diterima akal berarti benar.
Bahkan R.A. Kartini sekitar 123 tahun lalu juga mempertanyakan "hutang" pada saudara tertua yang ditanggung adik-adiknya. Baginya tidak masuk akal.
Tapi sampai sekarang masih ada yang menganutnya. Setidaknya setiap jelang Idulfitri kami diingatkan untuk memberikan sesuatu kepada anak sulung emak, dan sifatnya wajib.
Saya sendiri tidak yakin apakah di Cina, negeri asal drama Our Days, masih banyak yang menggunakan aturan keluarga batih semacam ini. Atau film ini upaya edukasi, untuk mengisi kekosongan atau lost transfer yang terjadi.
Pasalnya, bukan sekali dua kali, saya dengar negara yang terkenal adabnya nomor wahid seperti di Jepang pun sudah mengeluhkan perilaku gen z dan alfa yang sudah lepas dari tradisi adab mereka. Jadi ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Kalau sudah seumuran saya memang biasanya melihat sisi keluarga dalam semua drama/film yang ditonton. Saya sudah menulis tentang kehidupan putri pada masa lampau di drama The Rise of Ning. Ada rencana mengulas dari sisi nenek yang sangat berkuasa di keluarga. Karena it's true. Tak hanya di Cina, di Indonesia juga pada awal abad ke-21 nenek-nenek berkuasa penuh masih ada. Dan itu adalah ideal setiap perempuan sehingga rela makan hati dengan dimadu dan sebagainya.
Jangan sampai geser ke drama tersebut. Hahaha. Karena di drama Our Days atau dalam bahasa Indonesianya Cerita tentang Kita di WeTV ini pun saya ingin sekali menulis beberapa jilid mulai dari darma anak sulung, darma orangtua, dan lain-lainnya yang sudah jarang diketahui.
Dahulu di Jawa (saya yakin di suku lainnya juga sama), anak pertama adalah penguasa rumah, wakil utama orangtua, dan berkuasa penuh atas adik-adiknya. Ia tak bisa semena-mena karena di balik otoritas penuh itu tanggung jawabnya berlipat-lipat dari adiknya, dan ia wajib bisa menjadi teladan dan pahlawan utama bagi adik-adiknya.
Bagaimana dengan sekarang? Maka, kisah Xiang Qian sebagai dà jiě (kakak pertama perempuan menjadi sangat sentral). Ia punya banyak masalah namun harus menyelesaikan semua masalah adiknya termasuk masalah rumah tangga orangtuanya.
Saya ambil dari sudut pandang itu saja, meskipun kisah rumah tangga erjiÄ› (kakak perempuan kedua) dengan suaminya sangat menarik diulas sebagai isu yang saat ini banyak terjadi.
Kisah rumah tangga patriarkis (tapi romantis) bapak dan ibu mereka juga sangat menarik. Sudah jadi kenangan di masa sekarang, ketika istri jadi ekor suami. Itu idealnya pasutri zaman orba.
Atau kisah si adik bungsu yang malah jadi isu paling santer di kalangan gen x seperti saya yang dapat jackpot anak jatuh cinta dengan orang yang tidak tepat dan bucin setengah hidup. Oh, syukurlah semua anak saya laki-laki dan belum ada tanda-tanda punya pacar.
Gen x seperti saya selalu punya banyak sudut pandang saat menelaah suatu cerita, kan, makanya kalau menonton drama/film yang dangkal meski viral tetap enggan banget.
Sinopsis Our Days Chinese Drama (2024)
Xiang Zhi Jun tinggal di satu sudut Kota Kunshan yang tipique dengan keguyupan, keramahan, dan kebersamaan. Di lingkungan seperti itu kalau hidup baik akan sangat nyaman, namun sedikit aib saja sudah cilaka dua belas karena berisiknya.
Ia dan istrinya Lan Zhi disebut sebagai orangtua paling beruntung di kompleks. Punya 3 anak perempuan (bayangkan di Cina punya 3 anak sementara nyaris semua tetangga hanya punya 1 anak saja), semua anaknya sukses di kota pula.
Dua anak di Kota Shanghai. Xiang Qian, anak tertua, sudah menikah, dan punya pekerjaan mapan, serta suami mahasiswa S3 yang juga calon pengajar di universitas terkenal. Tradisi akademis masih sangat dipegang, dan status/prestisnya sangat tinggi. Yang satu anak ketiga, Xiang Nan, berusia 26 tahun dan sudah punya studio seni sendiri.
Anak kedua agak tidak beruntung, Xiang Zhong, 32 tahun, dan masih mengejar kemapanan. Bekerja dengan gaji kecil di Kota Suzhou. Xiang Zhong selalu merasa tidak puas dengan hidupnya yang tidak seberuntung Xiang Qian dan Xiang Nan. Ia juga punya emosi yang mudah meledak karena selalu merasa kurang kasih sayang.
Ada benarnya juga perasaan ini, karena ia dititipkan ke desa. Aturan hanya boleh satu anak berlaku saat ia kecil. Baru saat usia 10 tahun dia dijemput kembali, namun belum setahun keluarga mengadopsi anak yatim piatu dari pihak keluarga.
Semua perhatian diberikan pada si nomor tiga, sehingga si nomor dua selalu ada emosi membara di dada. Apalagi tak boleh ada perayaan ulangtahun sesederhana makan roti berdua, gara-gara orangtua kandung Xian Nan meninggal di hari ulangtahunnya.
Agaknya Kunshan, Shanghai dan Suzhou adalah kota yang berdekatan seperti segitiga sehingga jaraknya tak seberapa jauh. 3 anak akan pulang ke Kunshan setiap saat orangtuanya memanggil. Saya belum cek, sih, tapi jaraknya tak sampai 2 jam kalau dari informasi di drama.
Orang luar akan mengatakan mereka keluarga yang sudah mapan, meskipun tidak termasuk kaya. Keluarga kecukupan secara raga dan jiwa. Di balik itu, ada banyak drama keluarga.
1. Drama orangtua
Orangtua yang selalu memanggil semua anak untuk rapat dadakan di Kunshan. Orang luar akan mengatakan betapa bahagianya punya 3 anak berbakti yang sering datang ke rumah. Minimal setiap hari Minggu wajib makan bersama keluarga.
Tapi ada value yang bagus dari sini, yaitu hubungan suami istri yang sangat harmonis, khas pasutri zaman orde baru. Zaman ibuisme. Zaman istri menjadi ekor suami ke mana-mana.
Agak diromantisir dengan pasangan ini benar-benar tak terpisahkan. Xiang Zhi Zun tak mau pergi tanpa ekornya. Namun ia juga sangat menyayangi istrinya dan memperlakukannya sebagai tuan putri. Lan Zhi juga istri yang setia dan tak banyak pikir selama bisa dipikirkan oleh suaminya. Ia lebih seperti ibu-ibu zaman old yang cemas karena self diagnose, bedanya, ia dibantu smartphone.
2. Keluarga kakak pertama
Keluarga Xiang Qian dikatakan yang paling ideal, karena posisinya sebagai manager perusahaan smart homes dengan gaji tinggi dan suami mahasiswa terbaik yang digadang akan menjadi pengajar di kampus. Demi alasan ini, Xiang Qian menolak posisi tinggi di kota Shenzen, menjadi bosnya bos yang sekarang ini.
Ia punya dua anak dari suami terdahulu, dan keduanya memakai nama marga suami yang sekarang ini. Sudah jaminan keluarga bahagia kalau dari luar, ya. Semua tetangga satu kompleks plus para ibu wali murid sekolah sangat iri padanya karena punya suami seprestisius itu dan sangat konsern dengan sekolah anaknya.
Bisa dibayangkan semua harapan jatuh ke Xiang Qian. Semua masalah akan diselesaikan melalui dà jiě (kakak perempuan pertama) ini.
Ternyata, ... suaminya ini belut yang menafik. Ia menggunakan istrinya sebagai batu loncatan agar bisa belajar terus sampai titel tertinggi. Meskipun, bisa dipuji gaya parenting-nya dan ketulusannya mengasuh dua anak.
Andai ia tidak sibuk ketidakberuntungan di masa lalu - memiliki ijazah S1 dari kampus biasa - sehingga gagal karier di kampus dan perusahaan bonafid... ia pastilah tetap menjadi suami dan ayah sempurna.
Tapi diskriminasi semacam ini memang terjadi di level tinggi sana, ya, selama regulasi tetap demikian. Maka demi ganti target beasiswa dan bekerja di luar negeri, ia membuat sepaket rencana agar diceraikan istrinya. Nah...
3. Pernikahan bermasalah si anak kedua
Xiang Zhong dengan Deng Haiyang. Bayangkan punya suami yang setiap malam sering pulang dalam keadaan mabuk demi sosialisasi, suami yang jorok, dan suami yang setiap melihat istri kagetnya seperti melihat hantu. Hahahaha. Sebenarnya bagi saya, suami istri ini cukup menarik, karena yang nomor 2-3 itu cukup sering terjadi dan jadi alasan bercerai.
Sikap pesimistis Xiang Zhong muncul karena ia tidak berharga di mata keluarga. Ia menikah dengan Deng Haiyang, cowok pertama yang menjadi penolongnya. Sangat khas ya, orang yang merasa haus kasih sayang akan mudah termehek-mehek saat diperhatikan seorang lawan jenis.
Ketika ia merasa tidak bahagia lagi, ia akan dengan cepat memutuskan bercerai karena lebih baik sendiri. Deng Haiyang sulit percaya bahwa istrinya meminta cerai. Setelah banyak denial akhirnya ia meluluskan permintaan istrinya. So Sweet, sih sebenarnya, dan saya menebak mereka akan rujuk kembali.
Perubahan sifat paling jelas ada di kakak kedua ini. Ia yang selalu merasa tidak dicintai, tidak seberhasil saudaranya karena sekolah di universitas akreditasi rendah, dan merasa tak berharga, perlahan melihat bahwa semuanya hanyalah pemikirannya sendiri.
Ia sibuk memikirkan diri tidak beruntung sehingga banyak maunya. Perlahan ia melihat bahwa hidup semua anggota keluarga tidak mudah. Mereka hanya selalu merasa bahagia ketika berkumpul bersama. Ia melihat keluarga dan hidupnya dengan lebih optimis.
4. Pernikahan anak ketiga
Xiang Nan bukan anak kandung keluarga Xiang, namun diperlakukan lebih dibandingkan dua anak kandungnya. Bahkan urusan pembagian uang rumah pun dia mendapatkan 2x dari Xiang Qian dan Xiang Zhong.
Xiang Nan agak kesulitan saat menikah dengan Jiang Hong Bin karena perbedaan status finansial. Seperti bumi dan langit. Masalah utamanya seperti biasa; keluarga yang diundang dan harta sesan (mahar istri).
Mungkin ada yang memperhatikan perkara harta sesan (mahar) ini? Di tradisi Cina, ketika akan menikah keluarga laki-laki akan mengirimkan daftar harta yang dijadikan mahar untuk mempelainya. Keluarga perempuan membalas dengan daftar harta sesan, yang lazimnya 1/2 dari mahar mempelai pria. Nah... kasus, kan, kalau finansial jomplang gitu?
Harta sesan berlaku sebagai "martabat istri" di rumah tangga suaminya. Di Cina keluarga patriarkis masih berlaku ketat sehingga istri harus ikut keluarga suami. Harta sesan tetap jadi harta pribadi istri namun jumlahnya bisa sangat menentukan kedamaian rumah tangganya. Setidaknya itu pikiran generasi old seperti Pak Xiang itu.
Setelah berdamai ini itu dengan dramatis pernikahan, ternyata.... Xiang Nan salah menilai karakter suaminya.
Jiang Hing Bin pastilah jadi suami idaman semua perempuan karena konglomerat, sangat memperhatikan pasangannya, selalu sigap, informasi kecil langsung eksekusi, ... pokoknya perfect banget. Siapa sangka.... ternyata lingkungan konglomerat memang se-freak itu.
Istri adalah pajangan suami. Minimal punya hal yang bisa dinikmati beramai-ramai. Eits, jangan ngeres... maksudnya punya satu keahlian prima yang bisa dibanggakan di komunitas elit. Bakat seni Xiang Nan memang luar biasa dan itu alasan ia dipilih selain cantik jelita dan berjiwa polos yang bahagia.
Semua kisah di atas diramu dengan baik dalam satu cerita yang indah berjudul Our Days atau Cerita tentang Kita di WeTV.
Lha, itu tadi sinopsis atau review, ya? Kok lengkap amat, Hahaha.
Review drama Our Days - Cerita tentang Kita
1. Setting yang ciamik
Pembuka dramanya tampak biasa. Arak yang dibawa Xiang Zhi Jun mengayun-ayun dibarengi sapaan silih berganti. Sesuatu keramahan yang langka di masa sekarang ini.
Setting waktunya memang masa kini dan keramahan semacam ini - abaikan araknya - masih bisa ditemukan di lokasi-lokasi tertentu. Di Indonesia pun keramahan semacam ini masih ada di sedikit tempat.
Ini menarik gen x semacam saya. Hahaha.
Ada lagi yang sangat menarik bagi saya selain ceritanya yaitu pemandangan indah salah satu sudut Kota Kunshan, di antara deretan rumah tua yang berdesakan di bibir sungai. Kalau di Jakarta pastilah bernuansa kumuh, namun di sini malah bagus dan rapi sekali. Cocok jadi tempat wisata. Dan memang kota wisata untuk sejarah, sih, ya.
2. gap orangtua dan anak
Dari sisi cerita juga menarik karena ada gap antara orangtua dan anak (berusia 30an) yang terlihat. Orangtua sering terjebak merasa bangga pada kesuksesan anak sebagaimana tropi keberhasilan pengasuhan. Inilah pengantar ceritanya. Lalu kita diajak untuk melihat dibalik tropi itu ada peluh, air mata dan darah yang tertumpah.
Anak usia 30an di budaya kita menjadi sandwich generation alias menopang hidup keluarga ini dan menyokong orangtua. Di cerita ini tidak demikian. Orangtua mandiri dan anak menolak bantuan finansial orangtua. Mereka ingin orangtuanya bahagia dengan kekayaan mereka sendiri dan selalu memberi hadiah ini itu sebagai tanda bakti.
Hidup seperti ini alangkah indahnya, namun hanya menonton pun sudah membuat bahagia, kok. Setidaknya terbayang ada yang seberuntung itu.
Kedua orangtua di sini diceritakan sebagaimana lazimnya (atau idealnya?), yaitu pasangan yang setia sehidup semati. Buat saya itulah jembatan hati, sih, karena saya sudah tahap usia pernikahan ke-21 dan tetaplah sedekat mereka.
Si ayah dan ibu selalu memastikan semua anaknya hidup dengan baik, si ibu yang mudah cemas, dan si ayah yang sering agak tajam mulutnya tapi baik hatinya. Kalau ngomong sering salah karena intonasi ketinggian. Geget banget sih kalau komunikasi deadlock gara-gara si bapak salah pakai intonasi. Oh iya, si bapak bernama Xiang Zhi Jun dan diperankan oleh Ding Yong Dai, sementara si ibu bernama Lan Zhi dan diperankan oleh Liu Jia.
3. Peran sentral anak pertama
Tadi saya bilang akan fokus ke kakak pertama Xiang Qian, ternyata malah jadi semuanya, ya. Semenarik itu sih, sebenarnya. Dan jadilah sepanjang ini.
Posisi anak tertua (laki/perempuan) tetaplah menjadi sentral. Ingat penderitaan Kartini di masa pingitan 4 tahun pertama adalah karena Soelastri konservatif sementara ia progresif. Bukan karena si kakak jahat dan adik korbannya. Kebanyakan jadi korban film Kartini, kaaan....
Anak tertua adalah perwakilan orangtua. Kalau ada adik yang salah maka yang tertua akan dihukum beberapa kali dari hukuman adiknya. Pekerjaan rumahnya seabrek-abrek. Makanya di Jawa era awal abad ke-21 sampai jauh sebelumnya ada semacam "hutang kehormatan" adik kepada kakaknya. Eh, kok malah berasa seperti penjelasan lahirnya politik etis?
Lha kan memang gitu... adik hutang kehormatan pada kakaknya sehingga harus manut dan sendiko dawuh bin pasrah bongkokan. Bahasa Arabnya taklik penuh. Di balik otoritas sedahyat itu juga melahirkan begitu banyaknya to do list kakak agar menjadi teladan adiknya. Lugasnya ketika adik tidur, kakak masih punya PR rumah ini itu termasuk memastikan semua kebutuhan adik ada besoknya.
Biasanya, kalau pola asuhnya benar, akan jadi seperti Xiang Qian yang superior bakatnya dan moncer pekerjaannya. Biasanya menjadi sosok yang terbaik di bidang yang ia pilih. Pasalnya ia secara sadar dan merasa harus 2-3x lebih hebat dari adiknya, karena ia lah penyokong utama keluarga.
Beruntung atasannya, Cai Jin, sangat baik dan tampak jelas kalau mencintainya dengan tulus. Sosok yang selalu gercep jadi malaikat penyokong. Kayaknya nanti mereka menikah, deh, tapi di luar skrip. Setidaknya hanya sampai kesepakatan untuk mencoba bersama.
Xiang Qian selalu tampil sebagai kakak yang gercep membantu semuanya, hidup mapan tanpa ada masalah sama sekali. Dan ini karakter genuine alias watak asli, sehingga suaminya harus bikin rencana berjilid-jilid demi diceraikan.
Mellow ga sih punya suami seperhatian Gao Ping gini??? |
Ia membuat rencana agar Xiang Qian curiga dirinya berselingkuh. Nanti jika dicurigai ia akan menyatakan - dengan gaya pelajar yang menjunjung tinggi kehormatan - "lebih baik mundur daripada dicurigai kejujurannya".
Penting bagi Gao Ping (suami Xiang Qian, diperankan oleh Zhang Tao) untuk menjadi korban perceraian. Mengapa? Karena ia harus jadi sosok sempurna di mata dunia, demi karier di masa depan.
Sungguh belut yang menyebalkan!
Saya masih ingin membahas tentang anak kedua dan ketiga tapi kayaknya bakalan panjang juga. Toh sudah saya ulas di review juga, kan, ya? Jadi skip langsung ke informasi penting lainnya.
4. Pemeran yang berkualitas
Bai Bai He sebagai Xiang Qian harus dipuji acting-nya. Bagus banget. Apalagi tak mudah memerankan emosi menangis bahagia dengan natural. Saya auto terpesona!
Memang sih, ini drama pertamanya yang saya tonton sehingga agak surprise. Bagus banget.
Li Chun sudah malang melintang di rak dracin yang saya tonton. Ia memerankan anak kedua, Xiang Zhong, yang emosian. Pertama di Ruyi's Royal Love in The Palace yang saya masukkan sebagai the best dracin bersetting Dinasti Qing. Sebagai Consort Ling yang jahatnya sejibun.
Ketemu lagi di Joy of Life sebagai Si Li Li, dan Sword Snow Stride sebagai Xuan Yuan Qing Feng. Dua perempuan yang jadi sad girl-nya Zhang Rou Yun tapi tidak sad-sad amat karena punya karakter kuat dan mandiri. Karakter yang cocok, sih.
Anak ketiga Xiang Nan diperankan oleh Wang Yu Wen. Saya sudah menonton dua dramanya, yaitu The Chang An Youth dan Novoland: The Castle in the Sky Season 2 tapi tidak mengulas di grup.
Pemeran lainnya adalah:
Chen He sebagai Deng Hai Yang
Yu Jin Wei sebagai Jiang Hong Bin
Zhang Tao sebagai Gao Ping
Xia Yu sebagai Chai Jin
Our Days diadaptasi dari novel "Nv Shen De Dang Da Zhi Nian" atau (女神的当打之年) karya Lang Lang. Hanya 36 episode berdurasi 45 menit, dan selesai dalam waktu 20 hari.
Drama Cina memang secepat itu karena tayang setiap hari 2 episode. Sebenarnya kalau dijumlahkan sama dengan drakor yang 60-70 menit, ya? Bedanya dracin cepat tamat saja. Cocok untuk pelupa semacam saya.
Percaya atau tidak, saya mengikuti donghua (film animasi) sejak tahun 2017 dan belum tamat sampai sekarang, tiap hari minggu saya mengulang episode sebelumnya agar ingat. Untungnya cuma 18 menit per episode.
Saat saya menonton drakor juga sama, saya akan mengulang nonton episode sebelumnya padahal sejam, kan? Itu masalahnya sehingga saya kurang attache dengan drakor. Capek duluan dan ga tamat-tamat. Padahal banyak dramanya yang bagus. Sesekali saya menonton yang sudah tamat.
Our Days termasuk drama yang wajib tonton kalau suka drama keluarga atau ingin melihat kembali value keluarga atau sekadar tahu bagaimana makna keluarga di zaman kakek-nenek kita. Membuat kita takkan merasa punya keluarga dan mertua toxic, karena yang tampak mengganggu itu sebenarnya tanda cinta.
Hubungan persaudaraan yang baik dan sehat adalah kekuatan yang luar biasa. Sebuah berkah yang harus disyukuri, karena hanya merekalah sahabat sejati.
Bagus untuk kehidupan zaman sekarang yang rentan stress dan depresi melihat orang lain lebih baik hidupnya. Yah, zaman sekarang kompetisi "menjadi lebih baik" sudah bergeser dalam ranah diam-diam tapi bisa mematikan. Setidaknya membuat depresi yang tak perlu.
Di balik pujian tetangga tentang keberhasilan seseorang, di balik tropi setiap orangtua, ada peluh, darah dan air mata yang dilalui. Tak semua orang mampu menjalani, karena setiap jalan hidup menyesuaikan "sepatu" yang kita bentuk dari pendidikan, pengalaman, dan orientasi hidup.
Di mana nonton Our Days atau Cerita tentang Kita? Di WeTV. Bukan drama unggulan, tapi sebagus yang saya ceritakan kalau kita punya penilaian yang sama tentang kehidupan sosial. Terutama tertarik mengulik kehidupan di masa kakek-nenek kita yang sudah lama hilang makna tradisinya, hanya tinggal imitasi tanpa paham maknanya.
4 Komentar
Reviewnya seru banget, Mbak Susi! Drama Our Days emang bikin mikir banget soal tradisi keluarga yang mulai terlupakan, ya. Keren, karena bisa menggali sisi kakek-nenek kita dulu yang punya peran penting dalam keluarga. Memang benar, sekarang jarang banget nemuin yang kayak gitu. Tapi di sisi lain, ada serunya juga ngeliat generasi sekarang dengan cara pandang yang beda.
BalasHapusSaya penasaran pengen nonton Our Days ini. Sudah 2 kali saya baca review mbak Susi. Jadi pengen install WeTv lagi.
BalasHapusYa ampun ini sangat relate sama kehidupan keluarga sekarang ya. Kalau dulu memang nenek-nenek banyak berkuasa di rumah, tapi sekarang mulai bergeser. Apalagi komunikasi kita sama gen alpha, udah ga bisa disamakan sama kita dulu. Sekarang tuh sistemnya logika aja, sopan santun agak kurang. Film nya bagus banget, kayanya anak muda sekarang perlu banget nonton ini, hehe.
BalasHapusPOV di artikelnya mbak Susi, kakek-nenek di sini tuh = ayah-ibuku sih. Hehe...kami memang hidup di zaman ortu pegang kendali penuh ke anak-anaknya. Untungnya sih kami masih boleh memilih jurusan melanjutkan sekolah sesuai minat. Kan banyak yg harus nurutnya sampai ke milih sekolah...Eh...itu zaman sekarang juga masih sih...
BalasHapusDulu ya kami merasakan sih, engga ada ceritanya membantah orang tua. Kalau zaman sekarang segalanya harus didiskusikan, bahkan ke anak yg masih kecil pun bisa punya suara...hehe...Tapi menarik sih, beda zaman beda gaya...
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)