Hanya lulusan SD, dipingit, kok bisa mengubah wajah negara? Ini pertanyaan saya dalam Gelar Wicara Kartini dan Spirit Kepenulisan di event Perpusnas Writers Festival Jumat lalu, 18 Oktober 2024. Saya juga paparkan banyak fakta baru agar tak saklek mengira sejarah Kartini bermula dari surat kepada Stella. Jauh sebelum itu, beliau sudah menulis majalah pejabat Eropa dan sudah dipuji Ratu Emma dalam penobatan Ratu Wilhelmina sebagai contoh keberhasilan pendidikan di koloni.
Siapa yang sudah pernah membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan terinspirasi? Saya ucapkan selamat. Buku itu punya cerita ajaib bagi saya. Saat itu saya masih SMA dan dipanggil keluar untuk berkenalan dengan tamu yang datang. Saat sedang asyik membaca buku tersebut.
Usut punya usut ternyata tamu tersebut sedang ingin melihat "calon". Saya beri tanda petik tapi paham, ya, maksudnya?
Ada yang merekomendasikan saya karena bisa bicara bahasa Inggris, tuk jadi menantu pemilik mebel besar. Hahaha. It's true. Betapa pada tahun 1990an skill berbahasa asing sangat langka, sementara saya bisa cas cis cus dengan bahasa Inggris dan bahasa Perancis.
Akan tetapi bukan itu yang membuat saya sangat suka belajar sejarah tentang Raden Ajeng Kartini (saya menyingkat jadi Kartini saja). Saya waktu itu cuma suka baca saja. Sudah biasa sehari baca 1-2 buku dan juara 1 peminjam terbanyak di perpustakaan sejak SMP sampai kuliah.
Saya justru ngeh dan tergila-gila membaca pemikiran Kartini setelah menjadi leader Ibu Profesional Jepara (IPJ). Posisi ini membuat saya belajar ilmu parenting dipandu langsung oleh Bu Septi dan Pak Dodik, juga guru-guru top markotop yang perlu kocek sangat tebal untuk mengambil satu kelasnya saja.
Di saat yang sama, saya juga sedang "didekati" oleh Rumah Kartini (RK) sebagai narablog (yang juga masih langka) Saya sering diundang untuk mengulas kegiatan di sana. Salah satunya SHF atau Shared Heritage Funds.
Proyek SHF didanai oleh Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan dibantu oleh masyarakat, akademisi, peneliti sejarah, pegiat sejarah, seni dan budaya. Ada 17 karya yang direproduksi, dan semuanya berhubungan dengan Kartini atau Jepara di masa lalu.
Contohnya? Dari foto saat Kartini membatik menjadi satu helai batik lengkap. Dari sebuah foto high ress menjadi sebuah gayor ukuran 2 meter dengan detail ukiran yang nyaris mirip. Saya berani beri angka 98%.
Benar-benar luar biasa. Saya tak hanya terpukau. Saya seperti tersihir untuk terus menggali dan menggali informasi tentang Kartini dan Jepara sehingga direkrut menjadi peneliti di RK untuk tema sekolah dan keperempuanan. Sesekali saya lintas tugas mengulas tentang semua sejarah jika dibutuhkan.
Itulah awal mula saya menjadi seorang sejarawan publik dengan pelatihan dari Kemdikbud dan lainnya, agar tak terpeleset menjadi penulis sejarah populer. Setidaknya saya harus tahu batasan agar tetap menggarap sejarah secara ilmiah meski tak punya ijazah kesejarahan secara formal dari kampus.
Sekian cerita pribadi saya. Sekarang memasukkan elemen perkenalan karena menurut workshop kepenulisan berita yang saya ikuti dalam salah satu sesi Perpusnas Writers Festival, framing itu sangat penting. Saya perlu memperkenalkan diri agar diketahui.
Awalnya saya malu. Malahan profil pembicara di event ini saya koreksi 100% karena menurut saya ketinggian memujinya, padahal hal itu memang ada benarnya. Saya terlalu lama hidden dan memingit diri sendiri. Event PWF di Pendopo Kabupaten Jepara lalu benar-benar mengubah cara pandang saya, dan semangat saya berkarya.
Gelar Wicara Spirit Kartini dalam Kepenulisan
Tanggal 18 Oktober 2024, pukul 7 pagi saya sudah siap, padahal semalaman tak bisa tidur, seperti cerita di Perpusnas Writers Festival Jepara Hari Pertama. Di dalam tas Gi sudah ada 2 tugas, yaitu bekal makanan sehat dan segenggam kacang hijau. Pelajaran hari itu adalah memasak bubur kacang hijau dan makan bersama-sama. Kegiatan sederhana tapi anak belajar banyak hal dan tiba-tiba sangat suka bubur kacang hijau.
Kebiasaan datang before time memang saya jaga. Lagian lebih asyik duduk-duduk manis di lokasi. Biasanya saya ikut duduk di kursi peserta sampai waktunya tiba. Lebih asyik begitu. Kecuali, ada teman yang ajak di ruang narasumber.
Saya satu panggung dengan Pak Hadi (dari Diskarpus), Mas Adi Zam Zam, dan Aviskha. Moderatornya Hilwa, kebetulan saya kenal sejak kecil, karena kadang ikut acara gathering Ibu Profesional Jepara.
Acara berjalan lancar. Masya Allah saya tak ada groginya ketika menjelaskan tentang sejarah Kartini di bidang kepenulisan. Saya membawakan materi berjudul, "Karya Jurnalistik Kartini".
Saya sengaja mengambil itu karena ingin mengajak semua audiens untuk menggali kembali spirit kepenulisan Kartini. Bahwa beliau itu menjadi pahlawan nasional karena surat-menyurat. Beliau lebih dari itu.
Karya Jurnalistik Kartini
Karya jurnalistik Kartini dimulai pada sekitar tahun 1896. Pada waktu itu beliau masih dalam pingitan dan hanya sesekali keluar untuk mengunjungi rumah Ovink yang ada di seberang jalan. Rumah Asisten Residen memang berhadap-hadapan, terpisah dengan alun-alun.
Menggunakan kereta kuda yang tertutup rapat dan ditemani seseorang yang dipercayai, seorang gadis pingitan boleh keluar. Kedatangan Kartini ke rumah keluarga Ovink selain berupa kunjungan reguler, juga untuk belajar menulis.
Nyonya Ovink-Soer merupakan seorang penulis. Beliau juga editor sebuah suratkabar kecil namun saya lupa namanya karena sangat jarang disebut. Dari Nyonya Ovink-Soer-lah skill menulis Kartini diasah.
Karya jurnalistik Kartini yang pertama terbit di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandse-Indië, sebuah majalah formil untuk para pegawai pemerintah. Judulnya Het Huwelijk bij de Kodjas atau Pernikahan Suku Koja.
Yang namanya pingitan itu bukan hanya tubuh yang terpasung, ide pun juga tak dapat keluar. Aib besar didapatkan sebuah keluarga jika cerita (termasuk tulisan) anak gadisnya keluar. Jadi di artikel itu hanya tertulis, "Didaftarkan atas nama R.M.A.A. Sasraningrat.
Dua tahun kemudian Kartini punya karya jurnalistik lagi yang dalam memori dunia disebut "Manuskrip Japara", yaitu Het Blauw Verfen atau Pewarnaan biru.
Tulisan ini dibaca oleh Ibu Suri Emma di saat perayaan Penobatan Ratu Wilhelmina, dan dinobatkan sebagai, "Contoh Keberhasilan Pendidikan di Negeri Koloni".
Tak sampai setahun, nama pena Anggrek muncul di De Hollandsche Lelie, karena surat pribadinya kepada Nyonya van Wermeskerken-Junius dipublikasikan di sana.
Selama ini kita hanya tahu ada iklan mencari sahabat pena di sana, kan, sehingga terjadi surat-menyurat dengan Stella. Semua ini sebelum surat tersebut.
Setelah berkorespondensi -- dan kita dapat membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang -- Kartini masih memiliki beberapa karya jurnalistik yang memang ditulis untuk media tersebut. Gaya penulisannya tentu saja berbeda dengan gaya di surat.
Masyarakat bumiputra tentu saja riuh dengan aneka pendapat pro dan kontra. Meskipun tulisan Kartini menggunakan nama Tiga Saudara, bahkan nama adik-adinya disamarkan jadi Tari dan Selan, tak sulit untuk tahu siapa penulisnya.
Silakan cari, ya.... Hahahaha.
Kalau penasaran boleh baca artikel Segelintir Keresahan di Hari Kartini karena saya mengutip salah satu karya jurnalistiknya yang menurut saya LUAR BIASA BAGUSNYA.
Tulisan yang itu menggunakan nama Raden Adjeng Kartini, bukan lagi nama samaran. Lagian usia beliau sudah 24 tahun pada saat itu dan sudah yakin takkan ada laki-laki yang ingin menyuntingnya. Tak apa pakai nama pribadi.
Hanya lulus sekolah dasar saja..... tapi bisa mengubah dunia
Inilah spirit perubahan yang sesungguhnya. Inilah mengapa Jepara menjadi lokasi Perpusnas Writers Festival ke-4. Dan inilah mengapa saya mengungkitnya di depan audiense yang sebagian besar adalah anak SLTA.
Dengan menyadari bahwa semangat belajar Kartini dan guru yang tepat bisa mengubah wajah dunia, saya harapkan para remaja tersebut terpantik semangatnya. Bahwa menjadi anak sekolah tanpa fasilitas bukanlah halangan. Bahwa menjadi introvert bukanlah batasan.
Sebelum acara ditutup saya memberi closing,
"Saya sosok introvert parah yang lebih suka di kursi paling belakang. Karena saya sangat senang membaca maka saya percaya diri berbicara di depan. Itulah mengapa kita harus membaca, membaca, dan membaca."
Dalam profil narasumber berbagai kegiatan yang saya kirimkan pun saya sering menggunakan perkenalan,
"Saya ibu 3 anak; 1 pemuda, 1 remaja, dan 1 balita. Saya sangat suka membaca-membaca-membaca, mendengar-mendengar, baru dikabarkan dalam bentuk lisan, atau tulisan. Memaksimalkan gaya belajar auditori dan otak analitis agar bisa meninggalkan jejak di dunia. Hidup penuh jadi penuh warna dan (insyaAllah) penuh arti,"
Manusia introvert seperti saya bisa percaya diri tak lain karena merasa banyak tahu dan menguasai materi yang jadi topik pembahasan. Seperti kamus berjalan, karena tiap hari saya membaca apapun yang berkaitan dengan sejarah Kartini.
Tak hanya itu, saat sedang nginem, saya selalu mendengarkan siniar tentang sejarah, self improvement, parenting, religi, sosial-politik, dan public speaking.
Iya, tiap hari saya secara random memilih tema-tema tersebut untuk pengayaan diri, sambil memasak, mencuci, mengepel, dan lain-lain. Khusus saat menyetrika saya menont3on drama Cina, dirapel berepisode-episode sekaligus.
Dari Kartini kita (atau saya) bisa belajar, bahwa gelar akademik bukanlah jaminan untuk bisa sukses. Menguasai soft skill sangat penting, karena bisa mendukung apapun masa depan yang sedang kita rencanakan.
Soft skill Kartini ada banyak, karena beliau memang sosok yang tak mau diam. Tiap hari ada jadwal wajib sebagai putri bupati, dan di antara tugas tersebut beliau membaca, mencatat dan diskusikan isinya, dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kartini adalah sosok multi talenta yang tidak membutuhkan me time dan healing, karena beliau piawai bekerja dalam tim dan tak payah membantu warga di sekeliling.
Susindra
Sekian dulu dari saya. Agar tidak capek membacanya dan mungkin ada sambungannya kalau saya bersedia32. Hahahahaha.
0 Komentar
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)