"Saya bingung, kalau bicara kepahlawanan Kartini, kita pakai nama 'raden ajeng' atau 'raden ayu'? Kenapa kok saya merasa ada Kartini versi Jepara dan versi Rembang, mengapa seakan dua kota ini tidak menyatu?"
Itu pertanyaan saya saat mengikuti launching bukunya Pak Hadi Priyanto, Kartini penyulut api nasionalisme, di Pendopo Kabupaten Jepara, pada tahun 2017 lalu. Mungkin bulan April atau Mei, saya tidak ingat.
Pertanyaan ini adalah bentuk pertanyaan kritis yang berasal dari keingintahuan kuat ditambah kegelisahan. Waktu itu memang masih bingung. Belum baca Surat Keputusan Presiden No.108, tertanggal 2 Mei 1964. Otak analisis saya selalu berkelimpahan pertanyaan dan setiap satu jawaban akan menghasilkan lebih banyak lagi pertanyaan. Salah satunya itu.
Masih di tahun yang sama, pada bulan Oktober, saya mengikuti seminar di acara bazaar buku. Sebuah kegiatan rutin di Jepara waktu itu. Kalau tidak salah, narasumbernya Kepala Museum Rembang sebelum yang sekarang ini. Beliau menceritakan betapa Bupati Rembang sangat mencintai raden ayunya, laksana permata.
Lama setelahnya, tahun 2022, saya berkesempatan menjadi tamu di Museum Rembang dan dimanjakan dengan visualisasi kehidupan masa lalu, visualisasi kehidupan Kartini, detail sampai ke piring dan bath up-nya. Saya benar-benar merasa iri dengan benda sejarah di sana, meskipun bisa membanggakan kekayaan data Kartini di Jepara yang berlipat-lipat banyaknya.
Pendopo Kabupaten Jepara 2023 |
Perbedaannya memang jauh. Museum di Rembang merupakan rumah tinggal asli para bupati di sana, sehingga memang benar disebut sebagai rumah tinggal Kartini sejak menikah sampai meninggalnya. Berbeda dengan museum di Jepara yang merupakan bangunan baru - 70 tahun lalu - untuk mengakomodir semua benda bersejarah Jepara. Rumah masa kecil Kartini masih menjadi kantor dan rumah dinas Kabupaten Jepara. Perubahan-perubahannya pernah saya ceritakan dalam artikel Khol ke-117: Harapan Kartini, Keluarga dan Warganya.
Bukan rahasia umum kalau Jepara dan Rembang - dalam hal kesejarahan Kartini - seperti purik. "Purik", sebuah kata singkat yang menggambarkan kondisi rumah tangga yang sudah bercerai dan berpisah jalan. Kalau ada yang tanya barang peninggalan yang tidak ada, jawabannya seragam, "Ada di kota Rembang" - atau "Ada di kota Jepara" - tergantung bertanyanya di kota mana.
Dalam surat-surat adik Kartini yang dibukukan pun sering terselip ketidakpuasan karena pihak Rembang seperti menyembunyikan anak Kartini, Singgih, yang entah kapan tiba-tiba berganti nama menjadi Soesalit (soesah kawit alit - sudah dari kecil). Kapan namanya berganti, mengapa, siapa yang menggantinya, tak pernah ada jawaban yang saya temukan. Para bibi masih menyebut namanya "Singgih".
Bukan 1-2 kali keluhan dari 1-2 bibi, namun secara simultan disampaikan oleh Roekmini, Kardinah, dan Soematri, dari surat ke surat. Mereka ini para penjaga dan penerus juang zus-nya yang setia. Bahkan saat Soesalit indekost di jalan yang sama dengan Soematri (yang menampung banyak murid HBS juga) pun tak punya kuasa. Masa itu, setelah menikah, memang segala warisan istri adalah milik pihak suami. Keluarga perempuan menjadi orang luar.
Syukurlah adat yang semacam ini sudah sirna....
Bisa dimaklumi sebenarnya, karena setelah Kartini meninggal, Bupati Rembang menikahi adik Raja Solo yang kolot dan tidak mengenyam pendidikan formal. Raden ayu ketiga ini pun berusia pendek, meninggal dunia saat melahirkan.
Lalu, tak berapa banyak tahunnya, sang bupati meninggal dunia dan hak asuh 'Singgih' jatuh pada putra sulungnya; usianya hanya berselisih 7 tahun dari Kartini, dan tak pernah dalam pengasuhannya. Sang paman ini dalam usia muda menanggung jabatan tertinggi mungkin bertanggungjawab atas kebekuan hubungan keluarga Rembang - Jepara. Mungkin, melihat adat-istiadat saat itu.
Kita tak bisa menyalahkan atau menyayangkan masa lalu yang sudah terjadi....
"Tak pernahkah Jepara dan Rembang saling buka-bukaan data, sinkronisasi data, dan sama-sama saling melengkapi?" Itu pertanyaan inti saya pada tahun 2017. Waktu itu saya hanya pengagum Kartini yang rajin mencari data. Kuat membaca beratus lembar tulisan yang hanya memuat sedikit data yang saya butuhkan. Dan cukup rajin menulis tentang Kartini di blog dengan perspektif dan data baru. Belum punya sertifikasi kesejarahan dan belum seberapa dekat dengan Rumah Kartini.
Ternyata setelah bertahun-tahun fokus pada sejarah Kartini pun sinkronisasi belum terjadi.... setidaknya itulah kesimpulan saya. Meskipun ada kesinambungan informasi yang disampaikan kedua kota.
Kunjungan ke Rembang tahun 2022 |
Memang pada tahun 2022 lalu sudah ada sinyal kuat untuk rujuk. Sinyal kuat yang dengan cepat meredup, tergilas banyak agenda lain.
PLT Bupati Jepara saat itu (sampai sekarang) pernah menjadi PJ Setda di Rembang, sehingga hubungan antar kota lebih hangat. Bisa dibilang begitu, sehingga pada tahun itu kami - segelintir warga sipil - menyicip rasanya menjadi tamu kehormatan sebuah kabupaten bersama FORKOPINDA. "Jepara-Rembang via Kudus hanya 1 jam!" seru saya pada suami melalui WA, karena iringan 20an mobil kami membuat semua kendaraan dibuat menepi.
Yah, memang istimewa, saya merasai demikian. Tak perlulah saya menceritakan sambutan istimewa dari Rembang, karena pastinya begitu.
Mesra, meski ada kesenjangan. Jepara dan Rembang dalam hal kesempatan mendapatkan lobi - termasuk dana kesejarahan - memang berkesenjangan. Jauh, malahan. Kalau menerka penyebabnya malah bisa jadi salah terka. Jadi saya tak bisa berkata. Hanya....
Membuat tulisan terviral Kartini di majalah bergengsi Eigen Haard muncul lagi di kepala. Judulnya Van een vergeten uithoekje (Dari Sudut yang Dilupakan).
Sebuah tulisan jenius dari Kartini yang membuatnya mendapatkan lebih banyak lagi surat dari pemuda Indonesia yang gelisah dengan nasib bangsanya. Sayangnya memang surat itu tidak terbit, hanya jejaknya yang muncul samar-samar. Silakan baca Dari Sudut yang Dilupakan, karena gaya bercerita di artikel itu begitu hidup; lugas, ceria, naratif, sesekali menyindir kesinisan orang Barat kala memandang Inlander.
Inlander yang kotor dan asor, tapi mampu memproduksi karya adiluhung. Seniman dan pemerhati seni ukir Jepara, 120 tahun kemudian, jika melihat karya itu pun, sudah pasti dan absolutely tercengang.
Repro kotak ukir Kartini |
Sedikit mengutip tulisan tersebut, POV, Kartini mengajak seorang nona ke Desa Blakang Goenoeng. Si Nona berpayung, dengan perasaan jijik khas kolonial, menggerutu, namun penasaran dengan petualangan seru yang dijanjikan oleh Kartini sebagai guide-nya.
Kartini memang ahli mengkritik secara halus maupun terang-terangan. Dan ini sangat diakui pesohor di bidang sejarah akademis, para doktor dan profesor. Tak hanya tulisan archaic, bahasa puisi, namun juga kepekaannya dalam menggunakan bahasa.
“...dan sampailah Anda di sebuah lapangan luas terbuka di pantai. Jalan memang tak menyenangkan, tidak ada pohon-pohon peneduh, dan matahari menyengat tengkuk Anda pula. Tapi, nona, jangan begitu sedih, sedikit sinar matahari tak akan mengubah warna kulitmu jadi sehitam kulit pribumi! Dan apa guna payung yang kaupegang itu? Jangan bersedih lagi, perjalanan segera akan berakhir [...]. Nah, inilah sungai perbatasan desa. Sudah ada perahu menanti Anda, naiklah, para tamu, di seberang sana sudah menanti keajaiban, keharuman Jepara yang kini runtuh."
Adalah fakta bahwa Jepara yang pernah masuk dalam daftar 3 calon pusat pemerintahan VOC - dan akhirnya dimenangkan oleh Batavia - semakin meredup cahayanya, bahkan tersisa sekerlip cahaya samar yang terkadang cahayanya menguat untuk sesaat lalu redup kembali.
Mengagumi miniatur repro ukiran di abad ke-18 yang sangat luar biasa - September 2019 |
Lanjut dikit ah, mumpung cerewet bercerita tentang tulisan Van een vergeten uithoekje (Dari Sudut yang Dilupakan).
Sambutan apakah?
“...barisan kehormatan yang terdiri dari anak-anak telanjang atau setengah telanjang [...]. Anak-anak yang kotor itu, para tamu, ...adalah calon-calon seniman!”
Dijelaskannya mengapa begitu. Lalu para wisatawan itu dibawanya ke sebuah gubuk bambu reyot berpintu rendah. Digambarkan perasaan sangsi si Nona dan rombongan:
"Hati-hati, membungkuklah, pintunya rendah. Anda memandang saya seolah hendak mengatakan: ‘Anda mempermainkan kami! Apakah ini atelier, gubuk reyot yang buruk ini?'"
Dan mulailah ia mendeskripsikan perasaan kagum dan suasana dalam gubug bambu (di Jepara disebut brak); harmoni suara besi beradu dengan kayu yang khas dan kecekatan pengukir membuat karya adiluhung dengan takzim. Ketika si nona bertanya dari mana perajin mendapatkan corak-corak indah itu, pengukir menjawab,
"Dari hati saya, Bendoro."
"Wahai, kotaku yang kecil, yang tidak dihargai orang! Apakah kauterima saja itu, Jepara, kau, yang dahulu menduduki tempat terhormat di antara kota-kota terkemuka? Kauterima sajakah bahwa orang mengecilkanmu dan menganggapmu rendah?"
Juga,
"Bangunlah, tegaklah! Jadikan orang bicara tentangmu, paksa mereka menyebut namamu dengan hormat dan rasa kagum!"
Sebagai warga Jepara tentu saja saya punya keresahan yang sama. Uluran tangan terbatas saya tak berarti banyak. Terkendala hal-hal manusiawi yang terkadang sangat menyesakkan dada. Bahkan membuat buku antologi gratis pun buyar karena sepi peminatnya.
Masih beruntung saya memiliki Cakrawala Susindra yang baru kemarin dibayar kembali domainnya. Ruang saya menulis dan segalanya saat saya ingin cerewet berceloteh panjang.
Ada keresahan lain di bulan September, Bulan Kematian Kartini yang masih senyap diperingati di kota kelahirannya. Beda dengan di Rembang yang meriah meskipun tak banyak publikasi.
Dibandingkan tahun lalu, gayanya beda. Sependek pemahaman saya tahun 2022 dan sebelum-sebelumnya ada pengajian dan banyak acara. Tahun ini yang saya tahu hanya Njajan Fest dan seminar. Sayangnya berita di Google Search page 1-2 hanya tentang salah satu bakal calon Bupati Rembang. Setelah scroll terus menerus akhirnya saya fokuskan ke Njajan Fest saja.
“Njajan Fest” ini unik. Digelar di halaman Taman Rekreasi Pantai (TRP) Kartini selama tiga hari tiga malam. Tanggal 15 September dibuka dengan kirab barongan dan gunungan produk UMKM Rembang. Ada fashion show dan grand final Rembang Idol pula. Meskipun dalam promosinya saya tak menemukan kata haul - kecuali untuk seminarnya.
Haul Kartini tahun 2021 |
Di Jepara sendiri, pada tahun 2023 dan 2024 tidak ada! Atau saya yang tidak tahu. Tapi informasi A1, memang menyatakan acara haulnya diundur. Bukan bulan ini.
Berarti masih ada harapan. Besar harapan saya tahun 2025 dan seterusnya akan dibuat agenda-agenda akademik bercampur entertain - juga religi dan perenungan, tentu saja. Untuk semua orang, semua lapisan masyarakat. Bukan tamu undangan tertentu.
Kiranya sekian dulu keresahan saya di bulan September ini. Suatu kebetulan, ini bulan kelahiran saya juga. Suatu kebetulan, tanggal lahir saya sama dengan tanggal pertama Kartini menjadi seorang ibu, 13 September. Dan suatu kebetulan saya lahir pada perayaan 1 abad Kartini yang dirayakan dengan riuh - pro kontra - serta banyak terbit buku-buku bernas yang bukunya mulai saya cari dan koleksi.
BTW, saya benar-benar gelisah dengan kemajuan Museum Rembang. Iri dan envie ingin Museum Jepara segera menyusul!
Oh iya, kira-kira, apa jawaban dari pertanyaan saya di paragraf pembuka? Bagi di komentarmu, ya... Ohya, bolehlah membaca-baca artikel sejarah Kartini di sini.
28 Komentar
Mantap sekali mbak , Ceritanya sangat Bermanfaat .
BalasHapusTerima kasih ya.
HapusSeru ya bisa ikutan acara seperti ini, selain lebih mengenal sosok pejuang Indonesia juga bisa menemukan sirkel baru dalam pergaulan yang berbalut sejarah dan budaya.
BalasHapusIya. Semoga makin banyak diadakan dan makin banyak yang ikut
Hapuskeliatan seru banget acaranya disana. btw kartini ini mengenalkan kita untuk tidak menyerah dan terus menjadi yang terbaik..
BalasHapusnewsartstory
Ternyata cukup ruwet juga. Bahkan saya juga baru tau kalau ada 2 versi. Sepertinya memang harus terus duduk bersama untuk memperjelas. Karena saya juga jadi semakin penasaran
BalasHapusMenarik sekali mengangkat tema keresahan di bulan Kartini. Saya jadi teringat akan perjuangan beliau yang begitu gigih. Namun, di balik semua itu, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Apakah kita benar-benar sudah melanjutkan perjuangan beliau? Atau kita hanya sekedar memperingati hari lahirnya tanpa benar-benar memahami semangatnya?
BalasHapusselama ini saya cuma tahu ttg kartini yg menjadi pahlawan emansipasi. ternyata ada pergolakan panjang disebelum dan setelah masa beliau ya kak. seru sekali mengetahuinya. terima kasih sharingnya kak
BalasHapusItu hanya 1 sisi saja, Kartini punya banyak sisi.
HapusTak banyak orang zaman sekarang yang memperhatikan sejarah dan budaya, ada mungkin tak banyak. Aku justru kagum dengan orang yang mengunjungi museum tak hanya sekedar jeprat-jepret langsung pulang, tapi tetap mendengarkan cerita di balik isi yang ada di dalamnya. :)
BalasHapusIya ya. Sepanjang membaca apa yang Mba Susi sampaikan lewat post ini, aku pun jadi ikut bertanya-tanya. Mengapa ada ketidaklangengan dalam membicarakan sosok Kartini dari Jepara dan Rembang ya.
BalasHapusSemoga saja di masa mendatang, akan ada kolaborasi dari keduapemerintahan Jepanra dan Rembang sehinga makin teranglah sejarah mengenai Ibu Kartini.
Wah, menarik banget! Keresahan tentang Kartini di Jepara dan Rembang bikin kita mikir, ya. Kenapa nggak bisa saling kolaborasi dan sinergi sih?
BalasHapusTernyata banyak informasi di balik sejarah yang belum saya ketahui sepenuhnya dari sosok Kartini. Antara Rembang dan Jepara memiliki versi yang berbeda tentang sosok pahlawan perempuan di Indonesia ini.
BalasHapusSangat menarik tulisannya. Bagian "Jepara yang pernah masuk dalam daftar 3 calon pusat pemerintahan VOC - dan akhirnya dimenangkan oleh Batavia" ini malah baru pertama kali saya ketahui.
BalasHapusHarus menggali sangat dalam untuk tahu itu.
HapusWah, kayaknya saya kurang menelusuri Rembang dan juga sejarah tentang Kartini. Baru tau di Rembang ada museum yang menyimpan memori Kartini. Kirain di Jepara aja. Lain kali kalo pulkam ke Rembang main ah kalo ada kesempatan.
BalasHapusKalau mau melihat bagaimana masa hidup Kartini dan apa yang dipakai, wajib ke museum Rembang
HapusMeskipun saat promosinya tak banyak menggabungkan info haul Kartini, tapi setidaknya di bulan September ada kirab barongan dan gunungan produk UMKM Rembang. Juga ada fashion show dan grand final Rembang Idol untuk memperingatinya. Kedepannya semoga seperti harapan tak hanya di Rembang tapi juga dirayakan di Jepara ya
BalasHapusBTW pas ke Rembang via Kudus berarti lewat Pati juga, dong?
BalasHapusTentang Raden Ajeng atau Raden Ayu, sejauh pengetahuanku banyak yang menyebut Raden Ajeng.
Benar sekali
Hapuswaw, seru juga ya kegiatannya. di sby aku belum nemuin ada kegiatan kyk gini. bisa duduk dan ngobrol bareng
BalasHapusYang lazim diketahui kan Raden Ajeng, ya. Di buku-buku pelajaran Sejarah juga begitu.
BalasHapusBenar banget, Mbak. 100!
HapusIni menarik. Momen ini seharusnya menjadi refleksi mendalam, bukan hanya sekedar seremonial.
BalasHapusWoooww baru tau fakta kalau Jepara tadinya akan jadi pusat pemerintahan walau akhirnya yang dipilih Batavia ya. Mungkin karena Batavia dekat laut jadi lebih mudah buat perdagangan dan mobilitas lainnya kali ya.
BalasHapusMengulik tentang Kartini dan keluarganya kyknya gak bakalan habis ya mbak.
Ini tu kumpulan tulisan mbak ttg Kartini kalau dibukukan kyknya bakal menarik :D
Lebih tepatnya karena Jepara menjadi pelabuhan dan sumber keuangan pertama Sultan Agung, Mbak, sementara Batavia masih wilayah yang relatif bebas (sampai akhir hidup SA dan turunannya) belum berhasil menaklukkannya. Saat berangkat menaklukkan Jepara, J.P. Coen mampir Jepara dan meluluhlantakkan kota itu.
HapusMenarik. Ternyata ada sejarah tersembunyi yang jarang diulas dari kehidupan RA Kartini ini.
BalasHapusSemangat Kartini tumbuh lagi nih. Meski saya laki-laki, ruh semangat Kartini dalam memajukan Indonesia masih bisa kita rasakan
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)