Segelintir Keresahan di Bulan Kematian Kartini

"Saya bingung, kalau bicara kepahlawanan Kartini, kita pakai nama 'raden ajeng' atau 'raden ayu'?  Kenapa kok saya merasa ada Kartini versi Jepara dan versi Rembang, mengapa seakan dua kota ini tidak menyatu?"


september bulan kematian kartini - haul 2024


Itu pertanyaan saya saat mengikuti launching bukunya Pak Hadi Priyanto, Kartini penyulut api nasionalisme, di Pendopo Kabupaten Jepara, pada tahun 2017 lalu. Mungkin bulan April atau Mei, saya tidak ingat. 

Pertanyaan ini adalah bentuk pertanyaan kritis yang berasal dari keingintahuan kuat ditambah kegelisahan. Waktu itu memang masih bingung. Belum baca Surat Keputusan Presiden No.108, tertanggal 2 Mei 1964. Otak analisis saya selalu berkelimpahan pertanyaan dan setiap satu jawaban akan menghasilkan lebih banyak lagi pertanyaan. Salah satunya itu.

Masih di tahun yang sama, pada bulan Oktober, saya mengikuti seminar di acara bazaar buku. Sebuah kegiatan rutin di Jepara waktu itu. Kalau tidak salah, narasumbernya Kepala Museum Rembang sebelum yang sekarang ini. Beliau menceritakan betapa Bupati Rembang sangat mencintai raden ayunya, laksana permata. 

Lama setelahnya, tahun 2022, saya berkesempatan menjadi tamu di Museum Rembang dan dimanjakan dengan visualisasi kehidupan masa lalu, visualisasi kehidupan Kartini, detail sampai ke piring dan bath up-nya. Saya benar-benar merasa iri dengan benda sejarah di sana, meskipun bisa membanggakan kekayaan data Kartini di Jepara yang berlipat-lipat banyaknya.

Pendopo kabupaten Jepara
Pendopo Kabupaten Jepara 2023

Perbedaannya memang jauh. Museum di Rembang merupakan rumah tinggal asli para bupati di sana, sehingga memang benar disebut sebagai rumah tinggal Kartini sejak menikah sampai meninggalnya. Berbeda dengan museum di Jepara yang merupakan bangunan baru - 70 tahun lalu - untuk mengakomodir semua benda bersejarah Jepara. Rumah masa kecil Kartini masih menjadi kantor dan rumah dinas Kabupaten Jepara. Perubahan-perubahannya pernah saya ceritakan dalam artikel Khol ke-117: Harapan Kartini, Keluarga dan Warganya.

Bukan rahasia umum kalau Jepara dan Rembang - dalam hal kesejarahan Kartini - seperti purik. "Purik", sebuah kata singkat yang menggambarkan kondisi rumah tangga yang sudah bercerai dan berpisah jalan. Kalau ada yang tanya barang peninggalan yang tidak ada, jawabannya seragam, "Ada di kota Rembang" - atau "Ada di kota Jepara" - tergantung bertanyanya di kota mana. 

Dalam surat-surat adik Kartini yang dibukukan pun sering terselip ketidakpuasan karena pihak Rembang seperti menyembunyikan anak Kartini, Singgih, yang entah kapan tiba-tiba berganti nama menjadi Soesalit (soesah kawit alit - sudah dari kecil). Kapan namanya berganti, mengapa, siapa yang menggantinya, tak pernah ada jawaban yang saya temukan. Para bibi masih menyebut namanya "Singgih".

Bukan 1-2  kali keluhan dari 1-2 bibi, namun secara simultan disampaikan oleh Roekmini, Kardinah, dan Soematri, dari surat ke surat. Mereka ini para penjaga dan penerus juang zus-nya yang setia. Bahkan saat Soesalit indekost di jalan yang sama dengan Soematri (yang menampung banyak murid HBS juga) pun tak punya kuasa. Masa itu, setelah menikah, memang segala warisan istri adalah milik pihak suami. Keluarga perempuan menjadi orang luar. 

Syukurlah adat yang semacam ini sudah sirna....

Bisa dimaklumi sebenarnya, karena setelah Kartini meninggal, Bupati Rembang menikahi adik Raja Solo yang kolot dan tidak mengenyam pendidikan formal. Raden ayu ketiga ini pun berusia pendek, meninggal dunia saat melahirkan. 

Lalu, tak berapa banyak tahunnya, sang bupati meninggal dunia dan hak asuh 'Singgih' jatuh pada putra sulungnya; usianya hanya berselisih 7 tahun dari Kartini, dan tak pernah dalam pengasuhannya. Sang paman ini dalam usia muda menanggung jabatan tertinggi mungkin bertanggungjawab atas kebekuan hubungan keluarga Rembang - Jepara. Mungkin, melihat adat-istiadat saat itu.

Kita tak bisa menyalahkan atau menyayangkan masa lalu yang sudah terjadi....


"Tak pernahkah Jepara dan Rembang saling buka-bukaan data, sinkronisasi data, dan sama-sama saling melengkapi?" Itu pertanyaan inti saya pada tahun 2017.  Waktu itu saya hanya pengagum Kartini yang rajin mencari data. Kuat membaca beratus lembar tulisan yang hanya memuat sedikit data yang saya butuhkan. Dan cukup rajin menulis tentang Kartini di blog dengan perspektif dan data baru. Belum punya sertifikasi kesejarahan dan belum seberapa dekat dengan Rumah Kartini.

Ternyata setelah bertahun-tahun fokus pada sejarah Kartini pun sinkronisasi belum terjadi.... setidaknya itulah kesimpulan saya. Meskipun ada kesinambungan informasi yang disampaikan kedua kota.  

haul Kartini 2022
Kunjungan ke Rembang tahun 2022


Memang pada tahun 2022 lalu sudah ada sinyal kuat untuk rujuk. Sinyal kuat yang dengan cepat meredup, tergilas banyak agenda lain. 

PLT Bupati Jepara saat itu (sampai sekarang) pernah menjadi PJ Setda di Rembang, sehingga hubungan antar kota lebih hangat. Bisa dibilang begitu, sehingga pada tahun itu kami - segelintir warga sipil - menyicip rasanya menjadi tamu kehormatan sebuah kabupaten bersama FORKOPINDA. "Jepara-Rembang via Kudus hanya 1 jam!" seru saya pada suami melalui WA, karena iringan 20an mobil kami membuat semua kendaraan dibuat menepi. 

Yah, memang istimewa, saya merasai demikian. Tak perlulah saya menceritakan sambutan istimewa dari Rembang, karena pastinya begitu. 

Mesra, meski ada kesenjangan. Jepara dan Rembang dalam hal kesempatan mendapatkan lobi - termasuk dana kesejarahan - memang berkesenjangan. Jauh, malahan. Kalau menerka penyebabnya malah bisa jadi salah terka. Jadi saya tak bisa berkata. Hanya....

Membuat tulisan terviral Kartini di majalah bergengsi Eigen Haard muncul lagi di kepala. Judulnya Van een vergeten uithoekje (Dari Sudut yang Dilupakan). 

Sebuah tulisan jenius dari Kartini yang membuatnya mendapatkan lebih banyak lagi surat dari pemuda Indonesia yang gelisah dengan nasib bangsanya. Sayangnya memang surat itu tidak terbit, hanya jejaknya yang muncul samar-samar. Silakan baca Dari Sudut yang Dilupakan, karena gaya bercerita di artikel itu begitu hidup; lugas, ceria, naratif, sesekali menyindir kesinisan orang Barat kala memandang Inlander. 

Inlander yang kotor dan asor, tapi mampu memproduksi karya adiluhung. Seniman dan pemerhati seni ukir Jepara, 120 tahun kemudian, jika melihat karya itu pun, sudah pasti dan absolutely tercengang. 

repro kotak ukir Kartini
Repro kotak ukir Kartini


Sedikit mengutip tulisan tersebut, POV, Kartini mengajak seorang nona ke Desa Blakang Goenoeng. Si Nona berpayung, dengan perasaan jijik khas kolonial, menggerutu, namun penasaran dengan petualangan seru yang dijanjikan oleh Kartini sebagai guide-nya. 

Kartini memang ahli mengkritik secara halus maupun terang-terangan. Dan ini sangat diakui pesohor di bidang sejarah akademis, para doktor dan profesor. Tak hanya tulisan archaic, bahasa puisi, namun juga kepekaannya dalam menggunakan bahasa. 

...dan sampailah Anda di sebuah lapangan luas terbuka di pantai. Jalan memang tak menyenangkan, tidak ada pohon-pohon peneduh, dan matahari menyengat  tengkuk Anda pula. Tapi, nona, jangan begitu sedih, sedikit sinar matahari tak akan mengubah warna kulitmu jadi sehitam kulit pribumi! Dan apa guna payung yang kaupegang itu? Jangan bersedih lagi, perjalanan segera akan berakhir [...]. Nah, inilah sungai perbatasan desa. Sudah ada perahu menanti Anda, naiklah, para tamu, di seberang sana sudah menanti keajaiban, keharuman Jepara yang kini runtuh."


Adalah fakta bahwa Jepara yang pernah masuk dalam daftar 3 calon pusat pemerintahan VOC - dan akhirnya dimenangkan oleh Batavia - semakin meredup cahayanya, bahkan tersisa sekerlip cahaya samar yang terkadang cahayanya menguat untuk sesaat lalu redup kembali.


mengagumi repro ukiran di abad ke-18
Mengagumi miniatur repro ukiran di abad ke-18 yang sangat luar biasa - September 2019

Lanjut dikit ah, mumpung cerewet bercerita tentang tulisan Van een vergeten uithoekje (Dari Sudut yang Dilupakan).

Sambutan apakah?

“...barisan kehormatan yang terdiri dari anak-anak telanjang atau setengah telanjang [...]. Anak-anak yang kotor itu, para tamu, ...adalah calon-calon seniman!”

 

Dijelaskannya mengapa begitu. Lalu para wisatawan itu dibawanya ke sebuah gubuk bambu reyot berpintu rendah. Digambarkan perasaan sangsi si Nona dan rombongan:

"Hati-hati, membungkuklah, pintunya rendah. Anda memandang saya seolah hendak mengatakan: ‘Anda mempermainkan kami! Apakah ini atelier, gubuk reyot yang buruk ini?'"


Dan mulailah ia mendeskripsikan perasaan kagum dan suasana dalam gubug bambu (di Jepara disebut brak); harmoni suara besi beradu dengan kayu yang khas dan kecekatan pengukir membuat karya adiluhung dengan takzim. Ketika si nona bertanya dari mana perajin mendapatkan corak-corak indah itu, pengukir menjawab, 

"Dari hati saya, Bendoro." 


Apakah Kartini mencela kotanya? Tentu saja tidak, karena di tulisan yang sama ia berkali-kali menyemangati kotanya:

"Wahai, kotaku yang kecil, yang tidak dihargai orang! Apakah kauterima saja itu, Jepara, kau, yang dahulu menduduki tempat terhormat di antara kota-kota terkemuka? Kauterima sajakah bahwa orang mengecilkanmu dan menganggapmu rendah?"

Juga,

"Bangunlah, tegaklah! Jadikan orang bicara tentangmu, paksa mereka menyebut namamu dengan hormat dan rasa kagum!"


Sebagai warga Jepara tentu saja saya punya keresahan yang sama. Uluran tangan terbatas saya tak berarti banyak. Terkendala hal-hal manusiawi yang terkadang sangat menyesakkan dada. Bahkan membuat buku antologi gratis pun buyar karena sepi peminatnya. 

Masih beruntung saya memiliki Cakrawala Susindra yang baru kemarin dibayar kembali domainnya. Ruang saya menulis dan segalanya saat saya ingin cerewet berceloteh panjang. 

Ada keresahan lain di bulan September, Bulan Kematian Kartini yang masih senyap diperingati di kota kelahirannya. Beda dengan di Rembang yang meriah meskipun tak banyak publikasi. 

Dibandingkan tahun lalu, gayanya beda. Sependek pemahaman saya tahun 2022 dan sebelum-sebelumnya ada pengajian dan banyak acara. Tahun ini yang saya tahu hanya Njajan Fest dan seminar. Sayangnya berita di Google Search page 1-2 hanya tentang salah satu bakal calon Bupati Rembang. Setelah scroll terus menerus akhirnya saya fokuskan ke Njajan Fest saja.

“Njajan Fest”  ini unik. Digelar di halaman Taman Rekreasi Pantai (TRP) Kartini selama tiga hari tiga malam. Tanggal 15 September dibuka dengan kirab barongan dan gunungan produk UMKM Rembang. Ada fashion show dan grand final Rembang Idol pula. Meskipun dalam promosinya saya tak menemukan kata haul - kecuali untuk seminarnya.


haul Kartini 2021
Haul Kartini tahun 2021


Di Jepara sendiri, pada tahun 2023 dan 2024 tidak ada! Atau saya yang tidak tahu. Tapi informasi A1, memang menyatakan acara haulnya diundur. Bukan bulan ini. 

Berarti masih ada harapan. Besar harapan saya tahun 2025 dan seterusnya akan dibuat agenda-agenda akademik bercampur entertain - juga religi dan perenungan, tentu saja. Untuk semua orang, semua lapisan masyarakat. Bukan tamu undangan tertentu.

Kiranya sekian dulu keresahan saya di bulan September ini. Suatu kebetulan, ini bulan kelahiran saya juga. Suatu kebetulan, tanggal lahir saya sama dengan tanggal pertama Kartini menjadi seorang ibu, 13 September. Dan suatu kebetulan saya lahir pada perayaan 1 abad Kartini yang dirayakan dengan riuh - pro kontra - serta banyak terbit buku-buku bernas yang mulai bukunya saya koleksi, dengan membeli buku bekas di e-commerce.

BTW, saya benar-benar gelisah dengan kemajuan Museum Rembang. Iri dan envie tuk segera menyusul!

Oh iya, kira-kira, apa jawaban dari pertanyaan saya di paragraf pembuka? Bagi di komentarmu, ya... Ohya, bolehlah membaca-baca artikel sejarah Kartini di sini.



2 Komentar

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)