Hari ini kami di Jepara sedang merayakan badha cilik atau lebaran kecil. Lebaran yang benar-benar diusahakan warganya yang masih melestarikan. Setidaknya itulah yang saya tangkap di desa kami. Hal serupa juga terjadi pada desa nelayan yang agak jauh dari rumah, karena hari ini mereka mengadakan pesta lomban. Pagi ini kami dapat banyak sekali lontong, kupat dan lepet dari tetangga sampai bingung cara habisinnya. Ga diberi lauk juga, soalnya! Wkwkwk. Dasar!
Kalau tanggal 1 Syawal merupakan hari kemenangan, dengan makanan dan pakaian yang lebih baik dari biasanya, maka pada tanggal 8 Syawal akan ditambah dengan keberadaan lontong, kupat dan lepet. Tentu saja dengan menu penyertanya sesuai tradisi keluarga.
Beberapa hari sebelumnya, harga janur dan kelapa sudah naik dua kali lipat dari biasanya. Kelapa dari 6000 menjadi 15.000 bahkan lebih. Seikat janur isi 10 dijual 20.000,-. Wow sekali, ya. Belum harga ketan dll yang ikut naik.
Dengan lamanya pemasakan rata-rata 6 jam, dan harga gas melon bisa mencapai 30.000,- maka membeli matang 5000/pc dirasa lebih terbeli. Ada juga yang menjual 15.000/5 pcs, kok. Yang manapun tetap laku keras.... Sekeras hidup di Jepara, Lur!
Penampakan sederhana kupat lepet 2024 kami. |
Itu suasana perdapuran di lebaran kecil. Masih ada lagi yang seru di desa pesisir terkhusus di sekitar Teluk Jepara. Mereka mengadakan pesta Lomban!
Kapan? Tentu saja hari ini alias tanggal 17 April 2024. Jadi tulisan ini fresh banget, ya....
Kenangan tentang Pesta Lomban
Lomban atau lomba? Keduanya bisa berarti benar. Karena pada pesta lomban itu diadakan aneka lomba seperti yang kita temukan di pesta rakyat di Hari kemerdekaan. Dulu, saat saya kecil, yang paling saya sukai adalah panjat pinang karena bisa menonton dari kejauhan. Tak harus berjejalan kalau ingin menonton. Lelumban atau lomba-lomba ini sudah tidak diadakan lagi, tampaknya.
Ada satu lagi kenangan tentang lomban yaitu menjadi tuan rumah bagi banyak keluarga yang bertamu. Meski sebagiannya sudah kami kunjungi pada tanggal 1 atau 2 Syawal, keluarga dari desa akan datang ke rumah kami yang dekat dengan lokasi lomban. Saya sejak bayi jadi warga Bulu. Setelah tua saja ingin menepi ke Kecapi Telahap karena suka pada keriuhan tenggoret dan suasana asri.
Keluarga dari luar kota tak jarang datang juga. Dulu dengan naik truk agar seluruh keluarga besar bisa ikut. Hahaha. Jangan bayangin karena kalau saya cerita masa kecil berarti antara tahun 1984-1995an.
Jadi... pada tanggal 7 Syawal itu kami akan masak banyak sekali untuk menyambut tamu yang mungkin datang pada tanggal 8. Tradisi ini masih dilakukan oleh Mbak Sri yang tinggal di Bulu. Saat ini di rumahnya pasti ada aneka makanan mulai dari opor sampai olahan laut karena ada banyak keluarga yang datang untuk menikmati lomban. Rumahnya kan dekat dengan lokasi. Cukup jalan kaki 1/5 km kalau males macet parah di jalan.
Saya yang sudah menepi di desa tak ada lagi kesempatan seperti itu.
Lomban di masa lampau
Sulit juga mencari tahu kapan lomban dilakukan pertama kali. Zaman nenek moyang kali ya. Kalau menurut saya sih sudah ratusan tahun lalu bahkan mungkin sebelum ada kerajaan di Jepara. Catatan ini diambil dari Slompret Melayu 1892 itu.
1. Tujuan utama
Konsep utama lomban itu bukanlah lomba seperti di pesta rakyat akan tetapi prosesi pelarungan kepala kerbau ke laut tepatnya di Teluk Jepara. Mengingatkan pada pesta larungan atau labuhan, kan???
Uniknya di Jepara memang agar tambah gayeng diadakan lomba ketangkasan antar nelayan. Pemenangnya pastilah mendapat prestis tinggi saat itu.
Di "kapal" Joyo Samudro inilah kepala kerbau dilarung |
Catatan tentang pesta lomban di Jepara tertua dapat ditemukan pada majalah Slompret Melayu edisi tanggal 12-17 Agustus 1893. Pada saat itu Pantai Kertini masih belum ada. Yang ada adalah 3 pulau kecil di Teluk Jepara, yaitu Pulau Panjang, Pulau Kelor dan Pulau Karang.
2. Pusat kegiatan lomban zaman dulu
Warga Jepara, hayo... siapa yang tahu di pulau manakah pusat kegiatan lombannya? Yap. Di Pulau Kelor. Pulau yang menyatu dengan daratan menjadi sebuah semenanjung dan kita mengenalnya sebagai Taman Wisata Pantai Kartini saat ini.
Menurut catatan tua tersebut, pesta lomban dimulai pada pagi hari berupa pelarungan kepala kerbau di teluk. Warga sekitar telah siap di atas perahu masing-masing saat fajar menyingsing.
Ilustrasi para nelayan membawa keluarga ke Teluk Jepara. Dikejauhan indahnya siluet Gunung Muria |
3. Perbekalan saat lomban
Mereka membawa bekal makanan berupa ketupat, lepet, dan kolang-kaling. Lauknya? Tidak disebut. Hah. Anggap opor sajalah yang paling umum. Agak sulit juga membayangkan karena saat itu kan masa penjajahan dan kemiskinan sudah terlalu mendalam di kehidupan warga.
Ada satu lagi yang bikin suasana tambah meriah yaitu petasan cina. Suara petasan ini membuat suasana gaduh seperti berangkat perang.
Seusai pelarungan, semua kapal merapat ke Pulau Kelor untuk berziarah dan mengadakan pesta lomban yang menyenangkan berupa makan bersama dan saling berlomba ketangkasan. Saya agak-agak ingat pada kegiatan senenan/setuan yang merupakan bentuk ketangkasan setelah nenek udek-udek siwur ke atas dijajah Belanda. Dekat-dekat tahun itu Valentyn masih mengabadikan seni ketangkasan rampogan di Jepara.
4. Wayang kulit?
Saya tidak tahu apakah pada masa itu sudah ada pagelaran wayang kulit semalam suntuk pada malam sebelumnya dengan lakon yang biasa dipilih untuk ruwatan. Karena mulai dari awal saya ngeh (dong/paham) kemeriahan ini sampai dewasa, pagelaran ini selalu ada. Eh tapi saya kok tidak tahu apakah masih ada atau tidak.
Yah, lagi-lagi alasan saya sudah jauh di desa dan malas turun ke kota kalau enggak butuh-butuh amat. Apalagi sudah ada belanja online. Bah! Alasan apa itu.
Prosesi lomban sejak tahun 1920
1. Pelaksana utama
Kalau di atas bermodal catatan tahun 1893, di kalangan masyarakat nelayan ada tutur setempat tentang prosesi lomban, yang masih dilakukan sampai sekarang. Harus seperti itu dan pemerintah tak boleh mengubah esensinya.
Pernah sih, disederhanakan, kabarnya mengikuti ketetapan pemerintah tahun itu, dan qodarullah ada kecelakaan yang menelan banyak korban nyawa. Jadi ya balik lagi jadi hak prerogatif warga nelayan setempat. Saya pernah merangkum tragedi 2013 lalu.
Nah, kalau sampai sini pasti deh ada yang bilang mistis, bid'ah, dll. Saya hanya menulis seobyektif mungkin saja. Balik ke pendapat teman-teman.
Dasar prosesi lomban/larungan di Jepara adalah tata cara yang dilakukan sejak Kepala Desa Ujungbatu dijabat oleh Haji Sidik. Tahun 1920. Lama banget, ya. Tradisi ini masih dipegang sampai sekarang. Meski kegiatan besar dengan banyak pelaku, tuan rumah utama tetaplah keturunan pak haji ini dan kepala kelurahan. Sampai sekarang. Minimal keluarga yang mempersiapkan sesajennya. Eh, setahu saya sih dulunya gitu.
2. Lokasi lomban
Prosesi dipusatkan di TPI Jobokuto, mulai dari pemotongan kepala kerbau, memasak aneka kebutuhan larungan dan ada pagelaran wayang pada malam sebelum hari H.
Kepala kerbau yang sudah dipisahkan dengan tubuhnya dibungkus dengan kain mori putih. Kaki, kulit dan jeroan juga ikut masuk.
Mungkin bagian yang tidak dimakan sampai habis kala itu. Entah sekarang, karena menurut antena julid saya yang jarang berbunyi, "kulit, kaki dan jeroan" sudah jadi makanan enak sekarang. Hahahaha.
Ketahuanlah kalau saya tak pernah jadi bagian inti prosesi itu atau mengikutinya dari dekat. Saya kalau ikut ya cuma nonton lomba dan antar saudara yang ingin rekreasi ke Pantai Kartini saja. Saya hanya akan di barisan penonton di dermaga saja. Hahaha.
Saya malas ikut masuk ke kapal-kapal yang memang disiapkan untuk warga yang ikut. Padahal tinggal bilang ke tetangga yang ikut jadi peserta saja sudah pasti terangkut. Mudah sekali mengenali kapal/perahu yang ikut meski tak kenal pemiliknya. Ada bendera pesertanya!
Oh iya, ada sedikit perubahan dari dulunya lelomban di Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini), sejak embuh tahunnya mungkin sejak 1920 itu, kegiatan hiburan, wayang dan tari-tarian di TPI ini. Yah.. meskipun desa-desa sekitar juga mengadakan pagelaran wayang kulit juga, lho....
3. Makanan/sesajen yang disiapkan saat lomban
Makanan lain yang disiapkan dan menjadi bagian dari sesaji yang dilarung adalah kupat, lepet, bubur merah putih, jajanan pasar, arang-arang kambang, nasi lauk ikan, ayam dekem, dan kembang boreh. Semuanya ditata di sebuah ancak berbentuk perahu yang akan ikut dilarung bersama kepala kerbau. Perahu tersebut diberi nama Joyo Samudro.
4. Pelarungan kepala kerbau dan minta berkah
Setelah semuanya dilarung ke laut, para nelayan akan terjun ke laut untuk mengambil air di sekitar jatuhnya sesajen tadi. Air itu akan disiramkan ke perahu/kapal nantinya untuk mendapatkan berkah dan kelimpahan ikan tangkapan.
Sementara "pertunjukan" nelayan terjadi, waspadalah dengan lemparan kupat, lepet atau apalah yang dibawa penumpang kapal sebelah. Itu juga sinyal "perang kupat lepet" dimulai. Semeriah itulah.
Yah, bonuslah lihat yang kekar-kekar terjun dan berebut kepala kerbau |
Ada yang bilang mubazir karena melempar makanan, tapi ada yang bilang makanan tersebut akan jadi makanan ikan di bawahnya sehingga mereka akan tambah banyak. Sobat Susindra masuk tim mana? Saya tim yang bercerita saja. Ada yang tim cuma baca?
Btw, saya dapat cerita kalau kepala kerbau yang dilarung itu akan diperebutkan para nelayan. Yang dapat tentu saja dapat berkah besar karena oh karena... sudah pastinya. Paham, enggak, sih?
Yah, bayangkan dong kepala kerbau ini dimakan bersama 3 keluarga besar saja sudah lebih dari cukup dan mungkin pada masa lalu ada hadiahnya juga dari penyelenggara. Atau jangan-jangan dari sinilah istilah larungan kepala kerbau di Jepara disebut lomban? Oh mungkin saya yang terlalu mudah menyimpulkan.
Yang jelas sih warga nelayan sangat percaya bahwa sang pemenang akan mendapatkan banyak rezeki dari laut sehingga aktivitas perebutan menjadi sangat seru. Para penontonnya banyak yang yang teralihkan oleh serangan kupat lepet dari perahu sebelah sehingga hal ini jarang disebut-sebut.
Tradisi lomban, yay or nay?
Walah, keminglis amat, ya, miminnya Susindra. Hahaha. Saya hidup di banyak alam sehingga akan ketemu orang yang pro-kontra. Ya saya ungkap saja. Saya pribadi sih selama tradisi itu baik dan bisa diislamkan dan bukan tradisi mubazir, maka itu harus dilestarikan.
Kalau masih ada yang menyatakannya sebagai tradisi bid'ah, mungkin karena dalam tutur masyarakat setempat masih menggunakan istilah "Sing Mbaurekso". Sang penguasa alam sekitar. Menurut saya itu adalah istilah sesuai tradisi tuturnya. Saya yakin niat utamanya adalah menyatakan rasa syukur kepada Allah serta bersama-sama memohon keselamatan serta keberkahan.
Mudahnya gini, lho. Keadaan alam sekitar itu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, yang tinggal di wilayah tersebut. Pengaruh alam sekitar tak hanya terlihat pada sistem mata pencaharian, pola perkampungan dan adat istiadat saja. Sistem religi juga ikut menyesuaikan alamnya. Manusia adalah makhluk kecil dan lemah jika disandingkan dengan alam, meskipun akal pikiran dan budinya unggul.
Sebelum keunggulan manusia sudah sebaik ini, nenek moyang kita memang masih sangat percaya mitos setempat. Bahkan tranfer pengetahuan juga dilakukan melalui media tutur lisan. Maka mudahlah dimengerti jika menurut kepercayaan nenek moyang kita dulu, jika ritual labuhan/larungan/lomban tidak dilakukan, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti paceklik, kecelakaan di laut bahkan keganasan laut.
Oleh karena laut merupakan salah satu sumber kehidupan, maka tradisi ini tetap dilakukan, dilestarikan, bahkan menyedot banyak sekali pelaku yang dengan sukarela bahkan dengan tekun melakukan tugasnya. Pesta ini memupuk kebersamaan, kerukunan dan keguyuban sesama masyarakat nelayan (dan petani) di Jepara.
Meski diadakan desa-desa nelayan di area kota (Ujungbatu, Bulu, Demaan, dsb) namun pemerintah daerah dalam hal ini bupati dan Forkopinda menjadi bagian penting dalam upacaranya dan kegiatan ini sudah lama sekali masuk dalam agenda rutin pariwisata nasional.
Kalau bicara asal istilah, larungan (kami menyebutnya lomban) memiliki arti membuang sesuatu ke dalam air yang mengalir ke laut. Jadi kalimat ini sudah berubah makna dari sebelumnya yaitu memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat menjadi sedekah laut. Kepada siapa berdoanya? Tentu saja kepada Allah Sang Penguasa Sejati.
Kalau bahasan tentang lomban menarik, boleh banget membaca tulisan saya:
1. Lebaran, leburan, lebaran dan liburan
2. Sejarah, tradisi dan kontroversi lomban
3. Sedekah laut dan festival kupat lepet
4. Tradisi lomban dan sedekah laut
5. Pesta lomban
Yah, begitu saja ya. Kayaknya sudah panjang banget karena saya menulis dari tadi kok ga habis-habis. Per sub topik juga panjang, ya, sampai akhirnya saya pecah saja sesuai garis waktunya. Enggak seperti biasanya. Wkwkwk. Semoga layak dijadikan bacaan yang patut diketahui. Ciao!
0 Komentar
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)