Kemarin saya cerita tentang ngonten di saat lebaran, luberan, leburan laburan dan liburan. Semuanya adalah bagian dari laku papat atau empat tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada saat Idulfitri. Selama ini kita lebih akrab dengan kata lebaran yang berasal dari kata lebar atau selesai. Tiga yang lainnya lupa.
Makanya kali ini saya menulis penjelasannya, tapi lebih pada filosofi orang Jawa menurut kacamata lama. Dalam judul saya mengatakan filosofi lebaran karena memang lebaran lebih akrab dan banyak disebut saat ini. Semacam perwakilan kata untuk artikel ini.
Berasa banget ya Jawanya? Menurut saya meski zaman sudah modern akan tetapi filosofi dan pandangan hidup lama yang masih relevan harus dipertahankan.
Orang Jawa: bahasa dan kerumitannya
Orang Jawa itu sangat hebat dalam membuat filosofi akan sesuatu. Luar biasa dalam mengolah kata dan rasa. Ya mau gimana lagi, ya. baru bahasanya saja sudah berlapis-lapis banyaknya dengan banyak sekali aturan.
Kalau ada orang zaman sekarang yang bilang banyak orang Cina jenius dalam berhitung dan teknologi karena bahasanya.... jangan lupakan bahasa Jawa yang menurut Siti Soemandari Soeroto punya 23 tingkatan. Orang Jawa yang njawani harus tahu kapan berbicara dengan jenis bahasa Jawa yang tepat dengan lawan bicaranya.
Saya pernah klarifikasi hal ini dengan sesepuh keluarga bangsawan lama, dan beliau mengiyakan, meski tidak secara tepat menyebut jumlahnya. Beliau juga bercerita bahwa saat eyang (nenek) masih sugeng, beliau sering diperingatkan jika salah menggunakan jenis ngoko pada lawan bicaranya.
Sama-sama Jawa ngoko, misalnya, ada beda ngoko dengan teman sepantaran yang satu derajat, dengan yang beda derajat, atau ngoko pada orang yang lebih tua tapi statusnya di bawahnya. Status di bawahnya juga ada jenis ngoko lainnya lagi jika masih belum yakin letak status lawan bicaranya. Rumit sekali, ya. Hahaha.
Sudah bisa membayangkan dong seperti apa rumitnya filosofi orang Jawa jika menggunakan pemikiran zaman sekarang? Kalau kita mau sedikit kembali ke pandangan hidup di masa lalu, sebenarnya tidak serumit itu. Kalau mau lebih banyak ya akan lebih rumit juga sih karena memang kehalusan rasa menyesuaikan tingkat keadiluhungan seseorang atau suatu budaya.
Untuk kita, cukuplah mengetahui bahwa filosofi hidup orang Jawa merupakan pola berpikir, prinsip hidup, dan tata perilaku yang menjadi landasan hidup bagi orang Jawa, termasuk dalam menjawab dan menghadapi berbagai permasalahan kehidupan. Pada dasarnya ada tiga landasan utama, yaitu landasan ketuhanan, kesadaran akan semesta dan keberadaan manusia.
10 filosofi hidup orang Jawa
Filosofi orang Jawa ada banyak sekali. Kalau ditulis sendiri bisa setebal buku dengan ratusan lembar. Kepanjangan banget ya. Makanya saya kerucutkan jadi sepuluh saja. Bukan saya, ding, yang mengerucutkan. Saya pinjam dari buku yang sudah ada saja.
Asti Musman dalam bukunya berjudul 10 Filosofi Hidup Orang Jawa merumuskan sepuluh ajaran kamulyan yang menjadi filosofi hidup orang Jawa, dalam menghadapi segala permasalahan hidup. Pada intinya memang bisa dicukupkan dalam tiga landasan utama seperti yang saya sebutkan di atas.
Meski hanya tiga landasan hidup, tapi karena orang zaman dahulu hidup dalam kehalusan 'rasa' [bacanya roso], maka kita bisa menemukan dalam bentuk simbol-simbol. Juga dalam bentuk jargon dan ajaran-ajaran dalam pendidikan keluarga. Untuk yang belum tahu sejarah pendidikan, semua pendidikan di zaman dahulu bertitik mula pada pendidikan keluarga, sebagian kecilnya lagi dalam bentuk pendidikan pemondokan.
Tak mengherankan jika kemudian ada banyak sekali filsafat Jawa yang berawal dari olah rasa pribadi maupun guru menjadi ajaran kamulyan. Banyak juga pengalihbahasaan ajaran agama yang kemudian lebih mudah masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat. Kalau jeli kita bisa menemukan nukilan-nukilan hadis dalam filosofi hidup orang Jawa.
Asti Musman merumuskan 10 filosofi orang Jawa sebagai berikut:
1. Urip iku urup;
2. Memayu hayuning bawana, ambrasta hangkara;
3. Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti;
4. Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji sugih tanpa bandha;
5. Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan;
6. Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman;
7. Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman;
8. Aja keminter mundak keblinger,
9. Aja cidra mundak cilaka, Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendo;
10. Aja adigang, digung, adiguna.
Kalau mau penjelasan lebih banyak silakan beli bukunya saja ya.
Filosofi lebaran pada masa lalu
Lebaran berasal dari bahasa Jawa yang artinya berakhir. Selamat Hari Lebaran! Kita sering mengucapkan demikian tanpa menyadari arti sebenarnya.
Lebaran juga identik dengan ketupat opor. Dulunya ketupat dengan ingkung ayam yang dimakan bersama-sama. Memang jadi berkembang menyesuaikan zamannya. Malahan zaman sekarang ada yang enggan makan opor ayam karena dianggap biasa, membosankan dan banyak yang makan itu sehingga tidak asyik lagi. Berbeda lebih asyik, katanya.
Kenapa harus ketupat? Apakah karena artinya ngaku lepat? Benar tapi tidak 100% benar. Ngaku lepat dari ketupat hanyalah 1/4 dari makna asli dari ketupat itu sendiri, yaitu leburan. Kalau mau lebih jelas silakan baca artikel saya berjudul Ngonten di Saat Lebaran, Luberan, Leburan, Laburan dan Liburan!
Kalau saya pribadi memang tidak membuat ketupat apalagi ingkung. Sudah saya modifikasi semudah mungkin, yaitu lontong opor. Pasalnya, kalau mau lebaran itu saya inguk-inguk daun kelapa di kebun tetangga kok banyak yang rusak. Beli di pasar? Heu... heu... harganya yahud, dan lagi tradisi di Jepara itu ketupat dibuat pada tanggal 7 Syawal untuk dimakan pada tanggal 8 Syawal di Hari Lomban. Belum lagi... memasak ketupat membutuhkan waktu setidaknya 6 jam!
Meski makanan segar lainnya sangat menggoda, tapi saya selalu memasukkan menu opor sebagai menu istimewa di hari istimewa. Makanya lebaran di rumah Susindra selalu ada lontong dan opor ayam. Bagi saya itu sangat penting. Anak-anak dan suami mungkin hanya tanya kenapa kalau saya tidak masak itu karena mereka tipe yang hanya menyediakan mulut dan perut kalau urusan makan. Eh duwit juga, kalau suami. Hihihii
Kenapa demikian karena saya ingin anak-anak tetap mengetahui filosofi lebaran menurut terjemahan saya. Setelah bulan puasa lebar eh maksud saya sudah berakhir, maka mereka mendapat ganjaran berupa makanan istimewa, yaitu lontong opor. Anggap saja sedang makan ketupat dan ingkung, ya. Hehehehe
Wes lebar olehe tirakat poso, wes lebar olehe ngendalikke nafsu weteng.
Artinya sudah selesai puasanya, sudah selesai mengendalikan nafsu perut.
Seperti itulah kira-kira filosofi lebaran menurut kacamata lama. Sepanjang bulan puasa, semua nafsu diikat kuat, bahkan makan pun sesederhana mungkin, seperti orang tirakat.
Sebenarnya kata lebar ini akan kehilangan arti kalau selama bulan puasa makannya jor-joran. Makan makanan beraneka rupa sampai bingung memilih yang mana. Kalau seperti itu maka filosofi lebaran jadi nge-blur karena tiap hari lebaran sepanjang bulan puasa.
Nah... nah... nah... bagaimana, nih? Setuju atau tidak dengan filosofi lama ini? Selamat Idulfitri semua sobat setia Cakrawala Susindra!
14 Komentar
filosofi jawa,memang luar biasa ya mbaaa
BalasHapussangat adiluhur , semoga anak muda bs tertaut dan lestarikan filosofi ini
Agama Islam berhasil diterima masyarakat Jawa karena mampu beradaptasi dengan budaya Jawa
BalasHapusJuga sesuai dengan wilayah Jawa yang mempunyai bahasa serta budaya Jawa berbeda-beda
"Meski zaman sudah modern akan tetapi filosofi dan pandangan hidup lama yang masih relevan harus dipertahankan." Saya setuju banget dengan rangkaian kata-kata ini. Karena pada kenyataannya banyak kok paham-paham lama yang sesungguhnya masih bisa menjadi pegangan hidup yang sarat nilai untuk generasi apapun dan kapanpun. Terutama untuk urusan akhlak, tata krama dan sopan santun.
BalasHapusDulu zaman Mamah-ku masih ada. Menjelang Lebaran mengunjungi ortu, dan besok paginya sungkem deh. Udah 2 tahun engga pakai sungkem-sungkem, eh...kebawak smp sekarang.
BalasHapusSaya termasuk yang kalau bisa menghindar makan opor ayam. Gak hanya opor, tapi juga menu bersantan lainnya. Bukan karena udah terbiasa, tapi semangatnya cuma di awal doang. Siangnya udah pengen cari menu lain.
BalasHapusSaya justru lebih semangat makan ketupat dengan opor, sayur godog, dll justru saat Idul Adha. Gak masak menu kambing. Karena keluarga besar saya banyak yang gak suka.
MashaAllah~
BalasHapusSelalu ada informasi menarik setiap membaca artikel kak Susi. Aku jadi bangga banget karena terlahir dari orang Jawa. Hanya saja, mungkin kejawa-anku sudah terkikis sedikit demi sedikit. Semoga sering baca artikel kak Susi, aku jadi memahami 10 filosofi orang Jawa, meskipun belum dijelaskan kak Susi, karena disarankan membeli bukunya, hiiks~
Semoga literasi ku nyampek kalo baca mengenai literasi budaya seperti ini.
MashaAllah ya.. Orang Jawa itu sangat memaknai sebuah kehidupan.
Filosofi Jawa dari dulu memiliki makna hidup yang sesuai dengan zamannya, kudu terus dipertahankan dan diketahui oleh generasi mudanya.
BalasHapusTerima kasih sudah berbagi informasi filosofi lebaran mba.
Sejatinya pepatah atau filosofi Jawa itu adalah nasihat untuk kebaikan dunia akhirat ya.
BalasHapusBtw bahasa kata aja itu Jawa mana ya? Bukannya di Jawa sana biasa dengan kata Ojo? Saya kira aja bahasa Jawa yang ngapak nya
Senangnya diingatkan tentang filosofi Jawa sama Mba Susi, dan betapa dalam makna filosofi lebaran menurut kacamata lama.
BalasHapusKalau di rumah Mba Susi ada lontong opor, saya malah ga bikin apa-apa pas lebaran, karena hampir selalu mudik hihi..jadi ngikut menu ibu saja. Biasa ya ketupat/lontong dan opor juga
Alhamdulillah saya dilahirkan dari suku jawa. ayah ibu dan hampir semua saudara bersuku jawa. Asal Kebumen Jawa Tengah... seneng sih, ramah tamahnya suku jawa kental sekali pas lebaran...guyup banget hehe :)
BalasHapusFilosofi indah akan lebaran memang sesuatu ya mbak, apalagi dengan hadirnya ketupat. Semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan dan lebaran berikutnya, aamiin
BalasHapusSebagai orang Jawa, beberapa istilah pernah aku denger... Tapi intinya Lebaran mengajarkan kita untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita. Ini mencerminkan nilai-nilai sosial dan empati yang penting untuk dijaga dalam kehidupan sehari-hari.
BalasHapusSaya juga ngga pernah bikin ketupat sendiri mbak, soalnya selalu dapat kiriman haha..
BalasHapusPernah baca di majalah JayaBaya, makna lebaran versi Jawa ini dalam banget, tapi aku lupa bagaimana kata katanya hihi
Mbak Susiiiiiiiiii, aku enjoy banget membacanya sampai habis. Ini mah 'premium' banget tulisannya mbak. Duh, gak bisa ber-word-word lagi baca postingan Mbak Susi kali ini.
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)