Selamat Idulfitri, Sobat Susindra. Semoga lebaran ini istimewa dan penuh kenangan. Meskipun mungkin lebaran kali ini seadanya saja, dan mungkin tidak mudik. Istimewa dengan caranya sendiri, sesuai bagaimana kita melihat pandemi tahun ini yang mungkin lebih berbahaya daripada lebaran tahun lalu.
Saya termasuk yang mudik tapi tidak mudik. Mudik ke rumah emak di Demak tapi tidak mudik ke rumah keluarga suami di Banyumas. Kata “mudik” bagi kami berarti dua kota yang keduanya berjarak berbeda. Cukup membingungkan, memang. Rumah emak di Demak sudah jadi rumah ketiga setelah rumah ibu saya di Jepara. Jaraknya hanya 30 menit dari rumah. Termasuk mudik atau tidak sih?
Kalau ke rumah almarhum mertua, nah, bagi kami, itu benar-benar mudik karena jaraknya sangat jauh. Jarak Jepara – Banyumas harus ditempuh dalam waktu 10 jam. Beda jauh, ya? Dan mungkin kami sudah tidak akan mudik lebaran ke sana lagi, karena bapak dan ibu mertua sudah meninggal dunia.
Kami memilih mudik ke Wangon pada hari libur sekolah agar lebih puas. Lagi pula, keluarga Jepara saya sungguh luar biasa banyaknya. Jika hendak mendatangi semua, empat hari dengan jadwal ketat pun tak cukup. Makanya lebaran di Banyumas tidak menjadi prioritas. Awal-awal menikah dan masih punya 1 anak, kami masih sering berlebaran selang-seling antara Jepara dan Banyumas.
Mudik, tradisi silaturahmi di era Majapahit yang tetap terjaga sampai kini
Suami punya kebiasaan unik setelah menikahi gadis Jepara ini, yaitu menonton berita mudik. Kebiasaan ini menghilang setelah kami sepakat tidak mudik lebaran lagi. Lebih baik silaturahmi di keluarga Jepara dan Demak yang lebih banyak berinteraksi. Lagi pula saya dan ibu mertua termasuk tipe yang overthinking dengan keramaian jalan raya pada hari puncak mudik.
Kenapa sih tradisi mudik ini masih lestari sampai sekarang? Pernahkah bertanya-tanya kapan mudik dilakukan pertama kali dan mengapa? Saya pun demikian.
Penelusuran saya membawa pada pendapat bahwa kata “mudik” sudah ada sejak tahun 1390. Saya tidak salah tulis. Memang benar adanya, tahun 1390. Kata ini ditemukan di sebuah nakah berbahasa Melayu, berjudul “Hikayat Raja Pasai” yang bertarikh sekitar 1390. Dalam naskah tersebut, kata “mudik” memiliki arti “pergi ke hulu sungai”. Saya mengutip dari pernyataan Ivan Lanin, Direktur Utama Narabahasa dan ditulis di media mainstream Kompas berjudul, “Asal Kata dan Sejarah Mudik, Tradisi Masyarakat Indonesia Saat Lebaran” diakses tanggal 16 Mei 2021 pukul 11.00 WIB.
Kenapa hulu sungai? Karena hulu sungai memiliki arti daerah pedalaman sehingga dapat dikatakan sebagai “daerah/kampung asal”. Apakah selalu bermakna dari kota ke kampung atau desa? Tentu tidak. Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, mudik memiliki arti “kembali ke ibukota kerajaan di hari lebaran untuk bertemu raja.”
Hal ini senada dengan pernyataan Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, yang menyatakan bahwa kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, bahkan hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.
Wilayah Majapahit sangat luas, sampai Semenanjung Malaya dan Srilanka. Banyak pejabat yang bertugas di daerah kekuasaan tersebut. Adakalanya pejabat ini pulang ke pusat kerajaan atau pulang ke kampung halaman. Tradisi ini juga terjadi pada Masa Kerajaan Mataram Islam. Lebih spesifik, mengacu pada tradisi para pejabat di wilayah jauh atau perbatasan, untuk pulang ke ibu kota kerajaan dan menghadap raja di Idul Fitri.
Seperti itulah sejarah mudik di negeri tercinta kita ini.
Istilah mudik muncul kembali pada tahun 1970, karena media komunikasi yang lebih merata. Kali ini, arti mudik telah jauh berubah. Mudik memiliki arti baru yaitu “mulih disik” yang berarti “pulang dulu” dalam bahasa Jawa. Bahasa Betawi memberi arti berbeda yaitu “kembali ke udik”.
Yang mana pun arti yang dipilih, yang terpenting adalah mengembalikan esensi utama aktivitas mudik yaitu silaturahmi keluarga dan kampung halaman. Bukan kegiatan pamer kekayaan di kota domisili sekarang untuk menaikkan status di mata orang lain.
“Ingat, mudik bukan tentang eksistensi diri di kota tinggal dan pamer keberhasilan”
Mudik di masa pandemi? Hmm…
Saya menelepon Ida, saudari kembar saya, tentang kemungkinan tidak ke Demak lebaran ini.
“Harus mudik ke Demak atau emak akan menangis,” jawab Ida di sana. Emak tinggal di wilayah yang netral dengan semua pemberitaan tentang Covid-19. Oh, sebenarnya Jepara juga area “kebal Covid”.
“Apa itu Covid? Apa itu corona? Ga ada. Semua cuma dikopat-kapitke.” Begitulah reaksi orang di sini dan sana jika saya menyebut tentang Covid ini.
Terdengar familiar, ya. Banyak yang begitu. Saya tinggal di wilayah yang seakan kebal seperti itu sehingga menjadi cukup adaptif. Sudah 1,5 tahun kita berada di situasi yang sama namun berbeda cara pandangnya.
“Daripada dimusuhi semua orang, jangan sebut Covid lagi, dan beraktivitas dengan tetangga seperti biasa,' pesan suami saya. Itu artinya ya tetap berkumpul dan berkerumun jika ada kematian dan walimahan. Untuk PKK, saya sudah mengundurkan diri.
Kami memang dimusuhi gara-gara pernah vokal tentang itu. Padahal maksud awalnya adalah untuk mengajak masyarakat aware dan secepatnya memutus penyebaran Covid. Ingin segera hidup normal.
Sampai sekarang pun masih dicela jika saya menyebutnya, bahkan di keluarga yang sudah sembuh dari penyakit ini. Heran, kan?
Saya merasa sedikit jahat saat kepikiran;
“Baiklah. Semoga kalian yang tidak percaya adanya Covid tidak akan merepotkan para tenaga kesehatan dan petugas lainnya yang tiap hari bergelut dengan maut. Kalau kena ya tiba-tiba mati aja tanpa menginjak rumah sakit.”
Ya Allah jahatnya saya, berpikir seperti itu kala dicela dan ditertawakan di depan banyak orang karena menyarankan lebih hati-hati.
Akhirnya mudik ke Demak disepakati bersama. Juga aktivitas unjung atau silaturahmi ke keluarga dan tetangga seperti biasanya. Bedanya:
- Kami hanya melakukan pada hari pertama saja dan pada keluarga inti.
- Memastikan kondisi badan fit dan sehat
- Sedapat mungkin tidak bersalaman.
- Memakai handsanitizer sesering mungkin.
- Di rumah tetangga, hanya bersalaman langsung pulang
Poin kedua yang paling penting bagi kami dan menjadi penentu apakah kami melakukan unjung atau tidak. Unjung adalah sebutan kami yang artinya berkunjung untuk meminta maaf dan saling mengucapkan, “Sugeng riyadi”.
Lebaran dan kenangan
Sekilas tentang keluarga
Tampaknya saya perlu sedikit menjelaskan tentang keunikan keluarga saya. Saya lahir di Demak sebagai anak kembar. Ketika emak mengandung kakak saya, bapak angkat saya setengah memaksa agar kelak jika punya anak kembar harus diberikan padanya. Emak yang sedang nyaris pingsan di jalan dan sedang diobati oleh bapak mengiyakan saja sambil berpikir bahwa penolongnya itu gendeng. Ketika anak laki-laki sehat yang lahir, emak sudah lupa pada janjinya.
2 tahun kemudian, tepat di hari ke 34 kelahiran anak kembarnya, bapak dan ibu datang menagih janji ke kota Demak. Dan saya pun kemudian berakta lahir dan ber-KTP Jepara.
Si kembar yang terpisah sejak bayi karena janji |
Keluarga Jepara saya cukup unik, yaitu keluarga poligami yang cukup rukun. Jarang terjadi perselisihan. Ibu sebagai istri pertama mendapatkan rasa hormat dari semua istri bapak. Kenangan indah masa kecil saya adalah tiap lebaran punya 5-6 baju baru dan uang yang lumayan….
Jangan tanya berapa jumlah istri bapak.... Saya sulit menjawab dengan tepat.
Kenangan tak terlupakan lainnya adalah tiap Syawalan, ibu dan semua madunya akan berjualan nasi bersama. Malam harinya lalu tidur berjejer seperti ikan pindang – beralaskan tikar tipis – di antara toples-toples kue. Biasanya saya memilih di pojokan dan asyik membaca sampai jam 3 pagi.
Saya menikah dengan seorang mahasiswa dari Wangon Banyumas… sehingga beberapa kali menikmati serunya melakukan perjalanan mudik yang sangat jauh, baik naik bis maupun naik motor….
Lebaran di Jepara
Ini lebaran pertama tanpa ibu. Bahkan lebaran menjadi hari meninggal ibu yang keempat puluh. Saya tak bisa lagi mencegat para saudara di rumah tinggal ibu. Harus silaturahmi keliling sendiri ke rumah mas dan mbak, serta emak (istri almarhum bapak). Biasanya kami cukup di rumah ibu menunggu para sanak saudara dan tetangga berdatangan.
Tak banyak yang bisa katakan untuk lebaran di Jepara. Meski mendapat porsi terbesar namun bisa dikatakan standar. Agenda dan aktivitas kami bisa dikatakan sama, yaitu unjung atau berkunjung dari rumah ke rumah. Tahun ini juga demikian.
Usai salat Id, kami akan ke rumah beberapa tetangga inti untuk saling mengucapkan “sugeng riyadi” dan “maaf lahir dan batin”. Setidaknya 10-20 rumah. Kali ini hanya 10 saja.
Adakalanya duduk sejenak tapi lebih sering langsung pamitan. Maksimal pukul 9 pagi kami harus sudah di Bulu, tempat almarhum ibu tinggal.
Tanpa ibu, berarti saya harus mendatangi minimal 5 rumah keluarga dan kami lakukan dengan cukup singkat. Maksimal pukul 11.30 kami harus berangkat ke Demak. Ke rumah keluarga kandung saya.
Sebelum pandemi, saya akan ke rumah para saudara ibu dan bapak yang tersebar dari ujung utara Jepara sampai ujung selatan. Sudah terplot ke mana saja dan kapannya, selama seminggu itu, dan kami akan memilih Badha Kupatan di mana. Tahun ini dan tahun lalu saya hanya berkunjung ke rumah keluarga ibu dan emak saja. Badha Kupat Lepet di rumah saja.
Lebaran Idul Fitri di beberapa kota Pantura terjadi dua kali, yaitu Badha Gede (tanggal 1 Syawal) dan Badha Cilik/Badha Kupat Lepet (tanggal 8 Syawal). Lontong opor selalu jadi ciri khas di dua lebaran itu, namun panganan kupat dan lepet hanya dimasak di hari ketujuh untuk dimakan bersama di hari kedelapan. Kami juga menyebutnya sebagai Lomban.
Dulu Lomban memiliki arti berekreasi dan berlomba ketangkasan bersama sambil makan hidangan lebaran di Pantai Ujungbatu. Saya pernah menulisnya dalam artikel "Sejarah, Tradisi, Kontroversi, dan Foto-Foto Lomban 2019"
Dua lebaran ini kami sangat membatasi kunjungan dan tidak ada lomban.
Kangen kembali ke masa lebaran dua tahun lalu....
Dua foto di atas adalah contoh lebaran di desa. Kami biasa bertemu di jalan lalu berjalan bersama bahkan mengabadikan kenangan seperti ini tanpa rencana.
Lebaran di Demak
Lebaran di Demak punya dua pilihan yaitu pada malam takbiran atau pada siang harinya. Keduanya punya kenangan khas. Saya agak ragu apakah bisa memasukkan agenda lebaran di Demak ini sebagai mudik lebaran mengingat jarak yang cukup dekat. Hanya 30-40 menit perjalanan.
Mudik di malam takbiran
Aktivitas yang satu ini jarang saya pilih meski ngangeni. Seingat saya hanya tiga kali saja. Istimewa karena kami akan berbuka puasa terakhir bersama keluarga emak dan keluarga saudari kembar saya. Malamnya kami menanti para saudara lainnya datang memberikan weh-weh dan lawuhan kepada emak. Weh-weh atinya antaran lebaran, sedangkan lawuhan adalah lauk-pauk untuk berlebaran. Biasanya kami di sana sampai jam 20.30 malam.
Kami akan pulang ke Jepara dengan ditemani suara mercon dan kembang api di sepanjang jalan. Juga “setan-setan” yang bergentayangan. Sesekali terkesiap dan jantung dag-dig-dug karena motor kami dilempari petasan. Sesekali kami mendongak ke langit yang meletikkan api berwarna-warni. Kembang api kecil sampai besar bergantian menghias lengkungan kelabu di atas sana.
Adakalanya kami berhenti dan berjalan memutar, karena ada serombongan karnaval setingkat rukun warga yang meriah. Tak jarang kami bergabung dalam arak-arakan yang mengantar para setan gentanyangan.
Bukan setan beneran tapi entah kenapa di tiap arak-arakan karnaval selalu ada avatar setan. Mungkin simbol pelepasan mereka yang selama sebulan diikat? Atau untuk visualisasi kemenangan kita atas setan-setan itu sehingga mereka diarak dan dipermalukan?
Entahlah. Kami turut di arakan karena tak bisa berbelok apalagi mundur. Begitu melihat ada jalan atau gang kami akan dengan senang hati berpisah dari mereka dan kembali melaju di jalanan dengan riang. Pengapnya udara bercampur bau asap berganti dengan udara malam yang lebih bersih.
Senang, khawatir, dan merasa tertantang. Itu yang kami rasakan.
Sepanjang perjalanan, kami akan bertemu beberapa belas karnaval kecil seperti ini.
Mudik di terik matahari
Pilihan kedua mudik ke Demak adalah berkendara di teriknya siang, sekitar pukul 11. Melintasi jalan di tepi pantai dengan tambak di kanan kiri memang aduhai panasnya. Pemandangan rumah pengrajin mebel berganti menjadi tambak udang dan garam lalu persawahan.
Sejujurnya saya kurang menikmati perjalanan mudik ke Demak di hari pertama karena semua dilakukan serba buru-buru. Tapi pilihan kedua ini yang paling mudah dilakukan. Rasa enggan itu hanya sebentar. Orang muda tak boleh mengeluh.
(((Muda)))
Tahun ini kami beruntung karena sebagian dari keluarga inti Demak berkumpul dan dapat berfoto. Bisa dikatakan ini satu-satunya dokumentasi lebaran saya di tahun ini.
Kelihatannya banyak orang di foto ini, tapi sebenarnya ini Cuma 4 keluarga. Kami 7 bersaudara dengan jumlah anak 2 sampai 4, dan sudah ada yang bercucu.
Kenangan mudik lebaran ke Wangon Banyumas
Saya jarang mudik lebaran ke Wangon. Hanya saat awal-awal menikah saja. Selebihnya mudik ke sana kami lakukan pada saat libur sekolah. Lebih rasional untuk waktu, biaya, dan keselamatan. Ibu dan bapak mertua sangat mendukung pilihan ini bahkan ikut menyarankan. Saya dan ibu mertua mudah cemas melihat jalanan yang sangat ramai oleh kendaraan.
Mudik ke Wangon itu menyenangkan sekaligus membuat jerih, karena ada tradisi memberi angpau. Jumlahnya beda dengan yang diterima oleh anak-anak di sini, yang puas dengan uang dua ribu sampai sepuluh ribu. Jumlah uangnya sangat lumayan. Setidaknya Destin dan Binbin akan bisa membeli sebuah HP baru.
Take and give… pikiran ini membuat saya jerih, sekaligus malu. Bukan malu karena tak punya uang angpau besar, tapi karena kami menghindari aktivitas mudik sebagai cara untuk eksis dan memberitahukan kesuksesan di kota tinggal. Eksis dari mana juga....
Lepas dari itu, mudik ke Wangon juga – maaf – terasa lebih sepi. Hanya sedikit yang kami kunjungi, sisanya hanya duduk di depan HP atau laptop, lalu ke dapur untuk menemani opor yang memanggil-manggil.
Opor ditambah kacang dan aneka minuman bersoda, saya pernah punya pengalaman diare sekeluarga tak terlupakan di bis. Ups! Setelah itu kami memilih pesan travel saja.
Namun mudik ke Wangon kelihatannya kami coret sampai Mas Indra siap. Ibu dan bapak sudah berpulang. Lima tahun ini kami banyak kehilangan. Tiap tahun satu anggota keluarga kami berpulang. Saudara tertua suami meninggal sedikit hari sebelum Ramadhan 2018, bapak mertua meninggal pada bulan Ramadhan 2019, ibu mertua meninggal 7 hari sebelum lebaran tahun 2020, dan ibu saya meninggal 3 April lalu.
Semua kehilangan ini membuat lebaran makin lama makin terasa sepi tapi dengan mudah terlewati karena jadwal unjung yang ketat demi menjaga silaturahmi. Demi tidak memutus apa yang seharusnya tetap tersambung, dan kenangan bagi anak tentang apa arti lebaran bersama keluarga.
Lama tidak foto sekeluarga |
14 Komentar
kangen ke Jepara, ke Demak buat main main lagi disana
BalasHapusseneng bisa ikutan merasakan momen bahagia lebaran keluarga besar mba susi kayak gini
dan kalau udah keluarga besar, waktu 4 hari memang kurang buat saling kunjung, apalagi kalau jarak kotanya jauh banget
selalu ada kenangan tiap mudik ke rumah sodara-sodara.
dan taun ini lebaran pertama tanpa bapak, dan lebaran tahun ke-dua tanpa ibu
apalagi kondisi pandemi sudah 2 tahun, jadi ga bisa berkunjung ke sodara yang diluar kota
Esensi mudik memang untuk menjaga tali silaturahmi dalam keluarga juga dengan orang-orang di sekitar kita ya, Mbak. Terutama buat anak-anak, nih, semoga kenangan akan mudik dapat memperpanjang tali silaturahmi itu kelak.
BalasHapusBtw saya baru tahu nih Mbak kalau mudik sudah ada sejak abad 14 :)
Wah, seru banget cerita mudiknya Mbak Susi.
BalasHapusAku setuju esensi mudik yang memang untuk tetap menjaga silahturahmi dan persaudaraan.
Terus aku jg senang baca ini karena jadi tau info baru deh kalau mudik itu udah ada dari jaman dulu banget. Berarti jadi tradisi turun temurun yang masih terus ada dan dijalani juga sampe sekarang ya. Keren :D
Udah lama BW-BWan, tapi berkat postingan ini saya jadi tahu Mbak Susi punya keluarga di Banyumas (tepatnya Wangon ya). Ehe, masih satu Kabupaten nih berarti sama sayaa :D jd pasti dah sering ke PWT juga ya, Mbak.
BalasHapusLumayan juga ternyata 10 jam, dengan waktu segini memang rawan nggak nyaman di jalan. Kalau saya yang mudah bosan, pasti mungkin bakal mudah bete karena ramai dan macetnya. Pilihan mudik ketika libur sekolah, jadi alternatif yang lebih oke.
Di desa sini, perihal covid juga sama ada kata-kata "copid-copidan, ah" bahkan dari orNg terdekat. Di sisi lain bersyukur si bukan daerah yang rawan, namun jadi was-was karena tak semuanya taat prokes. Ya semoga sih selalu berada di lindunganNya semuanya.
Kemarin saya juga rewel ke Bapak Ibu, biar selama "unjung" meskipun ke rumah suadara yNg deket-deket buat tetep jaga jarak dan jangan lama2, maklum masihan parno ey.
Alhamdulillah ya, Mbak. Punya keluarga yang unik namun jarang berselisih itu berkah sekali. Pengalaman tidur berjejer seperti pindang juga pernah saya rasakan semasa kanak-kanak dan pasti tidurnya malah larut karena bercanda mulu, hahaha.
Selamat Idulfitri ya, Mbak Susi. Mohon maaf lahir dan batin, semoga tahun depan dapat berjumpa kembali dengan cerita yang tak kalah menarik pula :)
Iya mudik menjadi ajang untuk mendekatkan anak-anak ya mbak agar kelak kalau mereka besar bisa melanjutkan silsilah keluarga, tau kalau ini adalah keluarga
BalasHapusSelamat IdulFitri mba Susi
BalasHapusmaaf lahir batin yaa, semoga ALLAH terima semua amal ibadah kita.
Btw, baru ngeuh akutu mbaaa kalo kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, bahkan hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.
Weh weehh, pantesan masyarakat Indonesia semangaattt bgt ya, kalo udah ngebahas mudik!
Wah keluarga poligami rukun jarang lho mba. Nenekku juga setahuku menikah lagi setelah kakek meninggal. Jadi ayahku pny saudara tiri. Dan alhamdulillah kami rukun. Aku juga kenal, bahkan akrab dg sepupu2 dr keluarga tiri tsb. Adem y hidup rukun
BalasHapusOhh Jepara ya, pantesan aku sambil lihat logo Susindra Furniture, ada korelasinya. Hehe. Mudik ke keluarga yang berbeda daerah memang banyak hal yang bisa kita ambil hikmahnya ya mbak.
BalasHapusMasing-masing punya keunikan tersendiri. Hehe
wuah jadwal silaturahimnya cukup ketat ya mbak: 4 hari
BalasHapusaku aja dhuhur biasanya udah leyeh2, haha
memang gak banyak saudara2 akuuu
Nilai utama dan terpenting dari mudik adalah bisa berkumpul bersama keluarga di hari raya. Selain itu, adalah bonus-bonus yang ditawarkan oleh momen mudik itu sendiri. Seringkali memang mudik diisi dengan hiruk pikuk bersantap opor dan kue-kue khas lebaran, lalu bersilaturahmi antar keluarga antar tetangga, lalu di hari selanjutnya diisi dengan bersantai di rumah atau berwisata ke obyek wisata terdekat.
BalasHapusYa semoga saja, di tahun berikutnya, pandemi sudah usai, dan mudik bisa kembali normal seperti sebelum pandemi.
Apa pun pilihan mudik di tengah pandemi seperti ini, risikonya kembali ke yang bersangkutan
BalasHapusNamun, memang sebaiknya memikirkan jauh lebih matang dan memastikan semuanya baik baik saja
Mbaaaaakkkk kapan ya Aku bisa menyambangi jepara? Semoga ada kesempatan ya. Beneran senang dalam beberapa selama pandemi ini, tapi untuk urusan mudik, ternyata selalu mbrambangi. Maaf lahir batin, Mbak. Salam buat Om Gondrong Dan anak2
BalasHapusNah setuju, Mbak, mudik itu bisa jadi ajang mendekatkan tali silaturahmi dan tali persaudaraan. Supaya anak-anak tau, siapa saja saudara dari orang tuanya. Supaya hubungan keluarga bisa terjaga dengan baik.
BalasHapusDulu saya juga pernah merasakan tradisi saling mengantarkan makanan kepada tetangga dan keluarga terdekat. Sayangnya tradisi itu sekarang udah gak ada lagi.
Saya baru tahu kalo MBak Susi punya saudara kembar yang terpisah karena janji. Beragam sekali ya Mbak pengalaman mudiknya, saya tertarik ama Lomban, pasti seru kalo bisa ikutan.
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)