Tanggal 21 April 2021, sebuah hari yang comme ci comme ça bagi saya. Tumben sekali saya tidak menyiapkan artikel bertema R.A. Kartini di tahun ini. Sebuah WhatsApp saya terima pagi ini, memberi sebuah tugas menyenangkan untuk menanggapi apa agama Kartini sebenarnya. Islam, kejawen, atau sinkretisme?
Gambar lawas dari Rumah Kartini |
Ini sebuah bahasan yang menarik. mengalahkan sebuah topik yang sudah terpikir jauh hari tapi saya sedemikian lupa tanggal sehingga tahu-tahu sudah 21 April saja. Topik tentang kehidupan sehari-hari Kartini bersama keluarganya di Jepara, berdasarkan penelusuran dan interpretasi saya atas sumber-sumber data yang ada. Aaaarh! Tahun ini saya harus lebih ngoyo untuk memenuhi kebutuhan perut dan sebagainya, sehingga tidak seberapa menghiraukan hiruk-pikuk apapun bahkan yang menjadi passion saya.
WhatsApp Pak Trenggono menjadi sebuah pemantik dan saya auto menerjemahkannya sebagai permintaan untuk menanggapi. Beliau mengirim sebuah artikel artikel Kompasiana lawas berjudul R.A. Kartini Beraliran Kejawen, Bukan Beragama Islam.
Artikel sangat lawas bertahun 2011 karya Mas Andi Firmansyah ini sudah tentu mendapatkan banyak tanggapan. Kalau saya menanggapi sekarang, sebenarnya bukan untuk menjawab salah benar, tapi menganggapnya sebagai pemantik cerita. Tentang apa agama seseorang, hanya orang tersebut yang paling tahu. Saya hanya bisa mencari tahu dari berbagai sumber yang kebetulan sudah ada.
Dengan sendirinya, artikel ini juga terbuka untuk ditanggapi, seperti semua artikel saya tentang sejarah Kartini.
Kartini dan kejawen
Kartini dan pemikirannya
Jika ditanya, tokoh perempuan Indonesia mana yang paling banyak meninggalkan pekerjaan rumah dan puzzle kehidupan masa kolonial, saya akan menjawab Kartini. Sosok perempuan Jawa yang mungkin layak menyandang paling maju di zamannya. Tentu dua adiknya, Roekmini dan Kardinah, harus pula disebut. Mereka bertiga adalah semanggi yang tak terpisahkan.
Het klaverblad, demikian sebutan yang diberikan para sahabat pena karena jika berbicara tentang Kartini akan merembet pada dua adiknya. Mereka satu tubuh, satu pemikiran, dan satu tujuan. Seperti morfologi daun semanggi yang memiliki 3-4 helai anak daun dalam setiap daunnya. Sangat jarang yang beranak daun tiga sehingga dikatakan istimewa.
Sulit dibayangkan bagaimana jadinya jika Kartini tidak mati muda. Karya besar apa yang akan ia lakukan. Saya bisa katakan bahwa ia pastilah bergandengan tangan dengan Dewi Sartika, Rohana Kuddus, kardinah, Maria Walanda, Rasuna Said, Etty Waworuntu dan perempuan-perempuan yang menjadi lilin di daerahnya masing-masing.
Mereka satu kesatuan tubuh, jiwa dan tujuan |
Tajam dan luasnya pemikiran Kartini tidak lepas dari dua adiknya karena sebuah masalah lebih banyak solusi jika dipikirkan 3 kepala, daripada 1 kepala. Ini salah satu rahasia kedahsyatan tulisan Kartini.
Dahsyat? Iya. Cobalah baca 141 surat Kartini yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Pak Jost Cote, atau nantikan bukunya di Elexmedia. Saya harap secepatnya, karena sempat tertunda cukup lama. Kalau tidak salah selain pandemi juga ada ketidaktepatan penerjemahan.
Kondisi tahun 1900
Sungguh suatu kebetulan saat ini saya sedang berusaha menghabiskan buku Sejarah Modern Indonesia karya M.C. Ricklefs. Saya membacanya sebagian demi sebagian lalu menulis dengan interpretasi saya sehingga menghasilkan cukup banyak rangkuman. Begitulah cara saya membaca. Saya akan membaca semuanya secepat saya bisa lalu membacanya sedikit demi sedikit. Baru 3 minggu yang lalu saya sampai pada masa peralihan dan ini poin yang saya catat karena sangat penting untuk menjelaskan kondisi sosial budaya pada tahun 1900. Boleh buka halaman 281-283 untuk buku edisi keempat.
"Zaman peralihan. Jawa berada dalam masa peralihan; zaman lama berganti, membentuk zaman baru. Tatanan kehidupan lama di Jawa benar-benar hancur pada tahun 1900. Perimbangan antara jumlah penduduk dengan tanah pertanian, vitalitas elit lama, kesepakatan keagamaan, serta struktur kekuasaan dan wewenang yang ada pada sebelumnya, semua lenyap atau menghilang dengan cepat.
Hal ini terjadi karena munculnya gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah dan pertumbuhan penduduk di Jawa. Terlebih kebijakan dan praktik jajahan Belanda mempercepat perubahan keadaan ini."
Era Liberalisme memberi kesempatan sedikit lebih luas dari sebelumnya pada dunia pendidikan. Anak-anak keluarga bupati yang disiapkan sebagai pewaris diberi kesempatan belajar di hoofdenschool. Anak-anak elit lainnya diberi kesempatan untuk belajar pengetahuan Barat yang lebih spesifik misalnya kesehatan, irigasi, perkebunan, dan sebagainya.
Gelombang pencerahan pertama muncul, tentu disambut oleh gelombang lawan. Ketika pengetahuan Barat diberikan bersamaan dengan simpati dan kepercayaan, maka muncul reaksi dari agama yang dianut, yaitu gerakan pemurnian Islam. Muncul pula gerakan penyatuan "budi" (intelektualitas, dalam hal ini ilmu pengetahuan Barat) dan "buda" (kebudayaan Jawa sebelum masuk Islam). Gerakan yang terakhir ini menurut Ricklefs (279) muncul pada tahun 1900, oleh tokoh elit bangsawan Jawa. Latar belakangnya adalah prestise, kekuasaan dan kepercayaan diri paraelit bangsawan sudah sampai pada titik terendah.
Kewibawaan mereka telah hampir habis. Mereka tidak lagi dibutuhkan seperti pada era cultuurstelsel. Mereka ujung tombak kolonial dengan imbalan kekayaan, kemuliaan dan penghormtan. Saat administrasi pemerintahan makin modern dan kompleks, mereka yang tidak menguasai zaman dengan ilmu pengetahuan menjadi ditinggalkan. Berganti pegawai-pegawai nonbangsawan yang lebih rajin belajar. Bisa dibayangkan, pada tahun 1900, jumlah Bupati dalam pemerintahan kolonial hanya 72 orang, dan hanya 4 yang dapat berbahasa Belanda. Salah satunya adalah ayahanda Kartini.
Di kondisi itulah surat Kartini yang membahas tentang agama diinterpretasi untuk menjawab apa agama.
Mungkin isi surat/jawaban surat yang membahas inilah yang dikatakan sebagai agama kejawennya Kartini. Wajar jika seorang Jawa tulen menjadi sosok yang njawani karena sejak persiapan janin pun semua adat Jawa yang berhubungan dengan itu digunakan. Kehidupan bupati penuh dengan simbol Jawa sehingga peraduan pun memiliki etika dan seremoninya.
Kartini, diwakili model milenia |
Lalu, apa dong, agama Kartini sebenarnya? Islam? Sinkretisme? Atau malah Theosofi?
Meskipun jumlah suratnya yang membahas agama tidak terlalu banyak, tetapi pemikirannya sangat menarik. Ia menjawab semua pertanyaan para sahabat pena sehingga tak jarang suratnya mencapai 20 lembar. Bahkan ada yang sampai 27 lembar. Sudah memenuhi tugas proposal skripsi atau jurnal ilmiah saja.
Kartini adalah sumber informasi tentang sosial, agama dan budaya bagi para intelektual dan akademisi Eropa. Tidak hanya dari Belanda, Profesor dari Jena pun menganggap tulisan Kartini sangat penting. Pak Joost menyatakan bahwa Kartini adalah ujian bagi pengetahuannya tentang Jawa.
Bisa dimaklumi karena Kartini menjawab dengan lugas tentang kondisi sosial, budaya dan agama di Jawa sesuai pengetahuannya yang termasuk sangat luas. Seluas bacaan rutinnya yang tidak hanya tentang Barat tapi juga tentang Timur.
Ayu Diah Cempaka dalam sebuah review buku "Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini" menyatakan,
"Dalam buku ini, Th. Sumartana menempatkan R.A Kartini sebagai salah satu tokoh penting dalam dinamika kehidupan intelektual pada masa itu. Kartini memandang agama melalui sudut pandang yang manusiawi. Ia mengkritik kegiatan atau ajaran agama yang dianggap tidak berlandaskan asas kemanusiaan. Misalnya, poligami yang dianggap membela ego laki-laki. Di dalam buku ini juga dijelaskan, bagaimana tanggapan Kartini mengenai kepercayaan-kepercayaan lokal yang tabu untuk dibicarakan. Diantaranya tentang cenayang, santet, serta pengkultusan terhadap Kartini dan keluarganya oleh masyarakat."
Bisa dimaklumi juga jika penulis menyatakan Kartini sebagai penganut sinkretisme. Kartini pernah menyatakan dirinya anak Budha sehingga tidak makan daging. Saat kecil ia sakit amat keras dan obatnya adalah abu lidi pembakaran dari sesaji untuk dewa Cina.
Kartini juga pernah menyatakan bahwa:
"Semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya."
Bahkan Kartini mengutip Maltatuli:
"Tugas manusia adalah menjadi manusia."
Surat Kartini, jika bisa dibuat uji materi dengan surat dari sahabat pena yang diterima akan tampak bahwa sebagian besar berupa jawaban atau tanggapan surat yang ia terima. Maka alurnya akan mengikuti penanya. Ketidakkonsistenan menjawab "Saya Islam" ditangkap dari sini karena menganggap surat Kartini berdiri sendiri.
Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan.
Kartini bukan penganut sinkretisme. Ia dengan tepat menjawab pertanyaan Nellie van Kol:
“Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini (Islam).”
Kartini sebagai kutubuku
Kartini sebagai kutubuku merasa amat sayang sekali tidak bisa mengetahui arti dari Alquran yang ia baca. Dia belajar bahasa Perancis dengan tekun karena mendapat hadiah buku yang sangat menarik, selain persiapan sekolah di Eropa yang menjadi cita-citanya. Semua yang ingin belajar ke Eropa wajib menguasai bahasa Perancis.
Kartini belajar bahasa Inggris dan Jerman, karena memiliki teman dari sana serta mendapat hadiah buku-buku dari sana. Penting baginya untuk bisa membaca semua buku yang ia miliki, karena dia adalah pereview buku yang aktif. Jumlah buku yang pernah ia baca dan review secara singkat berjumlah puluhan.
Meski belajar semua bahasa Eropa di atas selain bahasa Belanda, saya tidak berani menyatakan beliau sebagai seorang polygot. Beliau belajar secara autodidak dan sedikit dikukuhkan dengan kursus. Sang ayah tahu hadiah terbaik bagi semua putrinya adalah buku dan uang kursus bahasa asing.
Saya akan mengutip surat pada Estella Zeehandelaar (Stella) untuk memperkuatnya:
“Disini orang diajari membaca Quran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya ingin mengenal dan memahami agama saya maka saya harus pergi ke tanah Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, ‘kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?”
Saya melihat kegetiran seorang pembelajar sejati yang kesulitan belajar karena tidak memiliki kunci belajarnya. Ia cucu seorang tokoh agama Islam terkemuka di desanya, punya ustadzah yang melatihnya dengan keras atas izin ayahnya. Meski anak bupati, guru mengajinya boleh menghukum jika tidak belajar dengan baik.
Bagaimana seorang kutubuku beragama Islam namun tidak punya akses memahami Alquran? Bagaimana kegelisahan seorang muslimah ketika pertama kali dalam hidupnya mendengar terjemahan Al Fatikhah? Saya bisa membayangkan bagaimana dirinya sedemikian terguncang saat mengetahui sebuah surah yang sedemikian pendek memiliki arti yang sedalam itu.
Kartini mengungkapkan kekagumannya pada Alquran setelah menerima terjemahan surah Alfatihah dari Kyai Sholeh Darat, dan mengungkapkannya ke dalam surat kepada Edi Abendanon. Sosok kakak pena yang selalu mendukung idenya dan sangat dirindukan kedatangannya. Kepadanya Kartini menulis:
“Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami.”
Demikianlah Kartini mengutip surah Al-Baqarah ayat 257 dan mengumpamakan Alquran yang selama ini dibaca sebagai kekayaan tiada tara.
Jadi, masih mau tahu apa agama Kartini sebenarnya?
Semoga tulisan tentang apa agama Kartini ini cukup mewakili. Saya menyertakan sumber-sumber data yang menurut saya tepat dan kritik sumber jika ada. seperti biasa, saya tak mau mengklaim paling benar karena hanya orangnya sendiri yang tahu, sementara saya hanya pengumpul puzzle tulisan Kartini. Sebenarnya masih banyak dan bisa jadi buku sendiri. Semoga sobat Cakrawala Susindra mendapatkan jawaban yang diinginkan di sini.
26 Komentar
Aku juga udah nebak kartini islam, mba. hanya saja akses ke bahasa arabnya emang terbatas. Zaman dulu pake bahasa jawa ya kalo ga salah buat ngajarin al quran. Tapi ga dikasi tahu artinya
BalasHapusSetahu saya terjemahan dalam bahasa Jawa adalah permintaan Kartini. Waktu itu di Demak Kartini bertemu Kyai Sholeh Darat memberitahu perasaan eman tidak tahu arti ayat-ayat dalam Alquran serta harapan ada cara mengetahuinya.
HapusSetelah itu 2 minggu sekali seorang santriwati mengantar terjemahan Alquran ke rumah Bupati Jepara.
Masa itu kedudukan bupati setara raja sebuah kota dan pemimpin tertinggi yang diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda
Keren banget tulisannya mbak
BalasHapusTerima kasih Mbak
HapusAda kabar simpang siur pula terkait konon katanya Ibu Kartini mengenakan jilbab sedangkan ilustrasi foto yang beredar tidak. Mungkin bisa jadi bahan tulisan selanjutnya, Mbak :D
BalasHapusFoto tersebut foto editan,Mbak. Kartini tidak pernah pakai Kerudung ataupun jilbab.
HapusMungkin gambar pendukung buku tentang Kartini sebagai santri atau bagaimana, saya juga tidak tahu.
makasih sharingnya
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung Mbak
HapusAku kemarin baca2 tulisan soal ini, mbak. Seperti yg mbak Susi tulis ada yg blg Kartini itu Budha, kejawen juga. Dan seneng deh, mbak Susi bahas ini juga, runuuuttt.
BalasHapusIya Mbak. Banyak dibahas.
HapusTerimakasih mbak Susi, menarik sekali...
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya Mbak
HapusSurat kepada Stella menohok banget bacanya.. bahkan sampe skr ini aku yakin banyak yg membaca Alquran, tp ga ngerti maknanya, walopun terjemahannya sudah banyak. Tapi orang2 biasa hanya membaca, ga mau repot membaca tafsir. Termasuk aku sih :(
BalasHapusBenar Mbak. Hal-hal yang dianggap kecil seperti mengetahui terjemahan Alquran pada masa lalu adalah harapan besar yang kadang melalui ujian waktu dan tekad.
HapusSekarang banyak hal mudah, alhamdulilah
Wah boleh nyimpulin nih ya kalo ternyata agama Kartini adalah islam ya....
BalasHapusKartini memang benar-benar seorang pejuang dan cerdas. Keterbatasan di sekitarnya membuatnya ingin banyak belajar. Keren bisa belajar banyak bahasa ya... Nice post
BalasHapusSetahuku dari dulu Kartini ya Muslimah. Tapi ya mungkin sama kayak Eyang saya, sebagai orang Jawa, Islam tapi tak terlalu faham maknanya. Alhamdulillah, zaman sekarang lebih mudah mencari informasi.
BalasHapusTerima kasih artikelnya menarik
Apaan itu Mba Sus? Comme ci comme ça. Hehehe.
BalasHapusIyaaa, sudah dua tahun nih aku selalu disuguhin artikel Kartini ala Cakrawala Susindra. Nah, tahun ini ada yang baru lagi yuhuuuu. Terima kasih mba. Makin luas pengetahuan saya tentang pahlawan nasional kita yang satu ini. Mungkin artikel detail seperti ini saya belum temukan di kalangan blogger. Kalo di surat kabar mungkin pernah ada yang mengangkatnya. Juara lah Mba Susi. Selamat Hari Kartini mba.
Kutipannya dari surat Al Baqarah sebnernya sudah cukup menggambarkan bahwa beliau Islam ya mbaa. Tapi ulasannya keren bangett iniiii. Aaah sukaa. Dalemm banget
BalasHapusUlasan yang menarik. Melihat Ibu Kartini dari berbagi sudut pandang. Beberapa hari yg lalu sya membaca artikel yang kurang lebih isinya belajar dari hijrahnya ibu Kartini. Yupsss...saya setuju ibu Kartini dijadikan ikon hijrah dari yang sebelumnya hanya mengenal Islam secara ritual lalu 'berkeras' untuk memahami makna Al-Qur'an. Beliau bahkan berjasa menginisiasi lahirnya terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Jawa.
BalasHapusulasan menariiik mbak. Sedihnya, saya pernah membaca pendapat bahwa kartini kurang layak dijadikan pahlawan karena "status" keagamaannya. Saya pikir, itu pendapat yang dangkal sih...seperti mengukur kondisi suatu zaman dengan tata nilai dr zaman yg berbeda.
BalasHapusKalo saya baca sepintas, RA Kartini beragama Islam. Terbukti dengan kekagumannya pada surat Al Fatihah yaitu sebuah surah yang pendek namun memiliki arti yang dalam. Dari situ menjadikan sosok Kartini sebagai seorang intelek sekaligus agamais
BalasHapusSaya enggak pernah tau apa agamanya. Yang saya tahu kalau ia sosok inspiratif bagi perempuan Indonesia karena kegemarannya membaca. Dan ternyata ia belajar bahasa asing juga selain English. Ia juga belajar bahasa Eropa. Inspirasi sekali.
BalasHapusDulu pernah dikasih tau soal persinggungan Ibu Kartini dengan guru para pendiri dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Pada saat itu jadi paham mengapa pemikiran teladan para perempuan Indonesia ini sangat luas.
BalasHapuskalau saya menganggap Kartini beragama Islam. Namun masih menjalankan tradisi kejawen yang saya kira masih cukup kuat berlaku di keluarga beliau.
BalasHapusJadi makin penasaran sama sosok Kartini ini, apalagi dari awal aku baca artikel ini seperti kembali ke masa lampau dimana Kartini masih hidup dengan segala ide pemikiran nya yang cemerlang.
BalasHapusTentu apapun agama beliau, biarlah menjadi PR untuk kita semua ya.
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)