Halo, Ibu. Apa kabarmu? Apakah masih sibuk berjibaku antara kehidupan nyata dan virtual karena adanya Work from Home? Kamu tak sendiri, ibu. Jadi lakukanlah dengan ringan dan tenang. Jangan biarkan kesahmu disalah arti oleh anak.
Pandemi ini, memang seperti meluluhlantakkan kehidupan. Hal ini terjadi pada sebagian orang. Terutama pada para perempuan bergelar ibu. Banyak tantangan para ibu di masa pandemi ini, yang sebagian di antaranya tidak disadari oleh orang di sekitarnya.
Tantangan para Ibu di Masa Pandemi |
Hilangnya Me Time
Saya ingin mengutip pernyataan seorang aktris papan atas yang sekilas tampak sempurna. Dian Sastrowardoyo namanya. Pasti kenal. Begini pembukanya dalam sebuah webinar “Covid-19 dan digitalisasi, Cara Baru Perempuan Melawan Pandemi” kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
“Ini tantangan. Gara-gara pandemi malah rasanya jadi banyak kerjaan. Antara life (kehidupan) sama work (pekerjaan) sekarang jadi satu kan. Jadi, our life also feels like work (kehidupan kita juga terasa seperti bekerja), jadinya kayak nggak ada nafasnya,”
Saya, Susi Ernawati Susindra, juga merasakannya.
Menyeimbangkan hidup (keluarga) dan kerja |
Bagi saya, anak sekolah dan suami bekerja adalah me time. Meski ada Giandra, tapi ia cukup mudah diatasi. Bermain, ngASI, tidur... sehingga saya bisa “bekerja” dengan blog dan media sosial. Itu me time saya. Blog dan media sosial menjadi ladang razeki saya, namun juga me time dan tempat silaturrahmi.
Setidaknya saya bebas dari pukul 6.30 – 12.30 WIB.
Sekarang? Privilege – saya sebut demikian – tersebut tidak ada lagi. Semua anggota keluarga bersama dalam 24 jam dikalikan jumlah libur sekolah yang diberlakukan. Saya sudah tidak tahu berapa jumlahnya. Saya sudah lupa pada hari dan tanggal kecuali saat ikut acara saling support antar blogger dan influencer.
Beban ganda setiap ibu
Mau tidak mau, suka tidak suka, ibu menjadi sosok yang paling terdampak. Pada kehidupan normal, peran ibu sangat sentral. Ibu adalah pusar keluarga.
Pandemi ini tidak menggeser peran ibu sebagai pusar keluarga. Pusat segala pusat. Pandemi ini menambah jumlah tanggung jawab para ibu. Perempuan dituntut untuk pandai mengatur waktu dan kebutuhan setiap anggota keluarga. Kebutuhan yang paling terasa adalah kebutuhan akan belajarnya anak.
Beban ganda setiap ibu sebagai pusar keluarga. Sumber foto dan olah di Canva. |
Jika dahulu, para ibu memasrahkan anak kepada sekolah, sekarang sekolah mengembalikan anak kepada ibu (orangtua) untuk dididik dan menyerahkan tugas pada guru kelas masing-masing.
Jika dahulu ibu bisa bertanya apa hasil belajar anak pada sekolah, sekarang sekolah yang bertanya mana tugas belajar anak untuk kami koreksi.
Dan semua itu dilakukan secara digital....
Digitalisasi pendidikan tiba-tiba harus dikuasai para ibu.
Finansial keluarga terdampak
Pandemi Covid-19 membolak-balikkan ekonomi sebagian besar masyarakat di dunia. Di dunia, bukan di Indonesia saja. Bukan di Jepara, tempat saya tinggal saja. Mereka yang biasa mengandalkan gaji bulanan untuk kehidupan sehari-hari, bisa jadi tiba-tiba tidak punya penghasilan. Atau tinggal separuh.
Kaya dan miskin menjadi blur. Saudara yang tampak kaya karena punya rumah dan mobil bisa tiba-tiba miskin karena semuanya kredit. Terutama mereka yang mengambil kredit sejumlah lebih dari 15% gaji. Ada yang berani ambil cicilan kredit 50% dari gaji dan sekarang tertatih-tatih membayarnya.
Finansial keluarga terdampak. Sumber foto dan olah di Canva. |
Saya mengamati kondisi ekonomi di sekitar tanpa bisa membantu. Hanya menjadi bahan rasa syukur karena tak punya kredit atau cicilan sepeser pun. Jadi, meski kami terdampak cukup parah... namun tidak sampai runtuh.
Pandemi ini membuat suami berhenti bekerja. Pesanan ditangguhkan. Maka ia pun kembali ke rumah. Mengandalkan beberapa keterampilan, masih ada beberapa rupiah yang dihasilkan. Tapi tak sampai 1/3 penghasilan bulanan. Jika saya tidak bekerja sebagai blogger dan influencer, kami akan merasakan yang namanya ekonomi keluarga lumpuh.
Meski... saya harus merasakan yang namanya malu karena hanya bisa membayar kontrak rumah setengah dahulu, pada akhir bulan Mei lalu. Bulan Juni ini adalah akhir sekolah dan dua anak kami lulus semua. Meski sekolah sudah menyatakan tidak akan menahan ijazah anak jika tak sanggup membayar, namun kami utamakan melunasi semua uang sekolah terlebih dahulu.
Menjadi kontraktor rumah membuat kami tak terdata dalam penerima bantuan, tapi kami rasa itu mungkin lebih baik.
“Banyak sekali peran perempuan dan ibu di masa pandemi ini. Ia perlu pandai mengatur waktu, mengatur ekonomi, pola hidup sehat keluarga.”
Mari sudahi keluh kesah dan berikan solusi....
Solusi ketahanan pangan
Ketahanan pangan keluarga menjadi isu yang sangat seksi dibicarakan saat ini. Bagaimana caranya kita yang terdampak bisa tetap memiliki ketahanan pangan yang bagus? Bagaimana mengatur keuangan rumah tangga dari gaji suami yang tinggal separuh, sementara nutrisi keluarga menjadi prioritas agar kebal terhadap virus corona?
Banyaaak sekali pertanyaan tentang ini. Solusi saya hanya 2, yaitu downgrade gaya hidup dan menanam TOGA di rumah.
1. Downgrade gaya hidup
Kita mudah membeli banyak hal, sebelum pandemi. Ada budget bulanan, ada uang cadangan, atau akan selalu ada cara mendapatkan uang. Saat resesi seperti ini, banyak orang yang menahan diri mengeluarkan uang.
Downgrade gaya hidup |
Kami, sejak pertengahan Februasi langsung merasionalisasi budget harian, hampir 40%. Yang tidak bisa dikurangi adalah biaya pulsa, listrik, gas dan beras. Selain 4 itu, bisa dikurangi dan tambal sulam. Terutama kebutuhan akan sayuran dan multivitamin, melalui TOGA atau tanaman dan obat keluarga.
Downgrade gaya hidup berarti:
- Tidak membeli sesuatu kecuali sangat dibutuhkan. Bagi kami, ini artinya tidak ada baju, aksesori, buku, dan beli makanan matang. Setiap pembelian harus dipertimbangkan dengan matang, termasuk pembelian jenis lauk.
- Selang-seling bahan makanan yang harganya lumayan. Ini arti mudahnya hari ini ayam besok tempe. Atau lauknya tempe, tahu, telur, tempe, tahu, ayam. Diatur saja bagaimana baiknya. Beberapa bahan lauk harga bersahabat yang bisa dipilih ikan rucah, udang kecil, jamur, bakso.
- Kreativitas mengolah bahan menu sederhana menjadi istimewa, misalnya membuat susu kedelai dan nuget ampas kedelai. Atau... membuat sate kere berbahan ungkep tahu, tempe, atau gembus. Menjadikan tahu sebagai pengganti ayam pada mi, membuat bakso/burger tempe... dll
- Membuat camilan sendiri bersama anak, misalnya membuat cilok, onde tertawa, roti sobek, martabak tanpa backing soda, dll. Setidaknya kami melakukan itu.
Poin ketiga dan keempat ternyata berdampak sangat positif di rumah saya. Si mbarep beberapa kali turun ke dapur untuk belajar membuat camilan sederhana yang saya sebutkan di atas.
2. Menanam TOGA di rumah
Toga atau tanaman obat keluarga menjadi solusi ampuh keluarga kami. Menanam sayur mayur termasuk cabai dan tomat saya lakukan sebagai me time yang sangat menyenangkan. Tiap kali jenuh, saya ke depan rumah dan mengamati pertumbuhan tanaman saya. Jika ada empon-empon atau temu-temuan di dapur yang bertunas, saya tanam di polibag atau tanah. Termasuk jahe merah....
Menanam tanaman dan obat keluarga untuk atasi pandemi |
Sampah organik dapur saya bagi dua; sisa makanan yang dimasak saya berikan ke ayam tetangga, sedangkan sampah tanpa dimasak saya buat kompos.
Mengapa tidak membuat kompos dari sisa makanan yang sudah dimasak? Alasan saya adalah munculnya belatung kelak. Meski belatung juga membantu mempercepat penguraian sampah dapur.
Saya tidak anti belatung. Sampah sayur dan buah juga bisa memicu munculnya belatung tapi jenis magot. Larva dari lalat BSF yang rakus memakan makanan, namun sekresinya dihargai mahal.
Tak dinyana, kebiasaan baik itu malah membuat pengeluaran uang untuk membeli sayur dan bahan herbal berkurang sangat drastis. Saya punya banyak pohon cabai dan beberapa pohon tomat yang berbuah cukup lebat. Sayur mayur seperti sawi, pokcoy, seledri, dan selada selalu ada stoknya karena saya bibit seminggu sekali (kecuali seledri).
Bunga telang untuk imun tubuh |
Untuk minuman herbal, saya tak lagi mengandalkan jahe yang harganya sempat melambung. Saya membuat wedang telang. Sekarang jumlah bunga telang per hari yang dipanen sekitar 30an bunga. Jadi, selain dibuat pengganti teh, juga dikeringkan. Sejauh ini tidak saya jual tapi saya berikan sebagai oleh-oleh teman/saudara yang berkunjung. Bunga telang sangat baik untuk imun tubuh dan setiap orang berhak mendapatkannya.
Atur peran dengan baik
Setiap ibu harus pandai mengatur ekonomi dan pola hidup sehat keluarga. Masih harus mendampingi anak belajar di rumah. Aktivitas yang saya sebutkan terakhir ini membuat beberapa ibu harus berjibaku dengan aplikasi gawai yang baru baginya. Terutama jika guru meminta tugas berupa video.
Ibu yang (dulunya) bekerja maupun full time mom, atau malahan work at home mom tetap harus "bekerja" sebagai ibu yang profesional. Waktu dan peran perlu diselaraskan. Kualitas we time terbaik untuk keluarga perlu dikedepankan.
Dalam mengerjakan tugasnya, beberapa ibu mendapatkan bantuan yang sangat berharga dari keluarga. Beberapa lagi harus benar-benar berjibaku sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi di seluruh dunia. Bahkan Maria Holtsberg, penasihat risiko bidang kemanusiaan dan bencana di UN Women Asia dan Pacific, juga mengungkap dampak terhadap perempuan yang tidak proporsional. Ia menyebutnya ketimpangan gender.
Ketimpangan gender memang sangat umum terjadi. Segala pekerjaan perempuan dibebankan semua, padahal seluruh anggota keluarga sedang di rumah karena pembatasan. Mariana mengatakan pemerintah semestinya memberi perhatian yang lebih besar terhadap isu tersebut, terutama peran perempuan selama ada kebijakan masif untuk tetap di rumah.
"Solusinya sebetulnya selain anjuran kesehatan soal situasi Covid, seharusnya juga ada anjuran tentang budaya. Budaya itu maksudnya bagaimana setiap keluarga itu dalam situasi pandemi ini bisa membagi tugas dan bekerja sama untuk mengelola kehidupan yang harus di rumah.
Jadi buibu... beranikah dirimu bersuara pada keluargamu, tentang adanya ketimpangan gender ini?
Jujurlah, dan ajak seluruh anggota keluarga bahu membahu mengatasi tantangan para ibu di masa pandemi ini.
Ini PR kita bersama, dan ajak pemerintah mensosialisasikannya, terutama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Sumber bacaan:
https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-13374266/multi-peran-perempuan-perlu-mengatur-dan-menyeimbangkan-waktu (diakses 6 Juni 19.30)
https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-13374266/multi-peran-perempuan-perlu-mengatur-dan-menyeimbangkan-waktu (diakses 6 Juni 19.30)
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51717312 (diakses 6 Juni 19.35)
22 Komentar
wah karena anak2 sdh apda kerja dan di luar kota semau, aku bosan banget karena biasa banayk berinteraksi dengan banyak komunitas dan orang, skrg di rumah saja
BalasHapusPandemi ini mengajarkan keluargaku untuk selalu menyiapkan dana darurat, Alhamdulillah ibu suka berkebun jadi pas kang sayur ga Lewat kami masih aman. Tetanggaku juga kewalahan karena anaknya sfh
BalasHapusAwal pandemi covid 19 agak kaget sih. Kayaknya waktu ngoprek di dapur gk brenti2. Sekarang udh bs adaptasi jd dinikmati aja. Hehe...Semoga pndemi segera usai yukk sambut new normal dgn tetap jaga protokol kesehatan.
BalasHapusBerbagai cara efisiensi aku terapkan juga di dalam rumah, Mbak. Agak susah sih, karena tinggal bareng orangtua, makanan mereka berbeda dari anak-anak. Tapi aku bilang juga bahwa mau nggak mau efisiensi ini harus kita lakukan. Tahu dan tempe tuh sudah jadi bahan makanan yang paling sering dikonsumsi. Nggak masalah, aku pun nggak bisa hidup tanpa tahu dan tempe, huhuhu ...
BalasHapusBiar nggak bosan, dimasaknya ganti-ganti. Kan tinggal nyontek resep kalau bingung, hihihi ...
banyak sekali kegiatan yang bisa ngebuat ibu semakin handal mengatur apapun. semakin hebat menjadi manager rumah
BalasHapusbanyak sekali penyesuaian hidup selama pandemi ini, beberapa diantaranya seperti yang disebutkan di atas
BalasHapussaya dan keluarga juga terdampak di sisi finansial mba. tapi alhmdulillah allah mudahkan. saya dan suami jg anak disuruh ibu utk tinggal bersama dirumah ibu. selain bisa semakin dekat dgn ibu, keluarga saya juga bisa meminimalisir budget buat belanja dan keperluan rumahtangga lain. masyaAllah. semoga kita selalu dimudahkan allah buat menghadapi apapun yg allah sudah takdirkan buat kita ya mba. allahumma aamiin
BalasHapusIya mbak, pandemik ini bikin saya dan istri harus ekstra ngirit karena beberapa pemasukan terdampak covid. Salah satunya ya berkreasi bikin makanan sendiri. Asyik, murah dan melimpah hasilnya.
BalasHapusAku juga begini nih, Mas. Akhirnya memilih berjibaku di dapur padahal biasanya nggak. Riskan kalau terlalu banyak jajan di luar. Eh, malah jadi doyan masak sekarang ini.
Hapustanaman TOGA sangat berguna bagi keluarga ya, aku jadi pengen nanem juga nih :D
BalasHapusBetul mbak, yang aku rasain di masa pandemi ini adalah hilangnya me time. Soalnya biasanya aku me time saat anak-anak sekolah. Sekarang? Ya sudahlah, jalani saja insyaAllah akan ada hikmahnya.
BalasHapusDowngrade gaya hidup ini bener banget. Covud-19 ini hikmahnya membuat kita sadar bahwa kita ternyata bisa hidup tanpa ngopi di kafe, bisa hidup tanpa beli baju di mall, bisa hidup tanpa beli McD. Kekeke. Ternyata hidup itu sebetulnya sesederhana itu, cuma memang selera kita aja yg tinggi.
BalasHapusMbak Susi, aku merasa sangat relate dengan tulisan ini. Tapi, mau ngeluh kok malu, serius malu karena secara ekonomi hitungannya aku masih aman. Masalah cicilan, aku punya cicilan di atas 50% mbak, cicilan rumah. Cicilan yang kami ambil ini rentangnya 2 tahun dengan akad cicil bertahap dengan developer syariah. Kami sebetulnya sangat takut dengan hutang, tapi karena cicilan ini sesuai syariat dan rentangnya sebentar yasudah kami berani. Mudah2an tahun depan lunas. Peluk mbak Susi, perempuan hebaatt!
BalasHapusMemang isu yang seksi mba susi..
BalasHapusSaya senyum mbaca istilah ini.
Semua yang ditulis diatas 90 persen saya menjalaninya.
Untung pak suami dan saya bahu membahu mempekerjakan pekerjaan rmh.
Saya dari awal pandemi ini memang nggak dapat wfh mbak, jadi ya berjalan seperti biasa. Bedanya dulu anak dititip daycare, dialihkan pengasuhnya ke rumah. Tapi ngerasa sih kalau hari libur mana jaga anak, mana urus rumah. Rempont 😁
BalasHapusPaling kerasa saat pandemi itu adalah, peran ibu yang merangkap guru di rumah. Dimana tugas domestiknya jadi ketambahan tugas anak. Tapi kadang terasa asyik juga sich ...
BalasHapusAku pribadi nggak sempat mikir tentang ketimpangan gender, Mbak. Soalnya ortu tunggal. Mau nggak mau ya semua mesti kupikirin dan tanggung sendiri :D Tapi pernah baca sih di status temen yang psikolog, selama pandemi malah banyak pasutri yang cekcok. Duuuh :'(
BalasHapusmba aku tertarik sama pohon pohonnyaa, udah ada artikel tentang menanam dirumah belum mbaa?
BalasHapusWah asyiknya punya banyak tanaman di rumah, jadi bisa panen sayuran kapanpun, termasuk bunga telang. Bisa di buat wedang telang juga ya Mbak. Patut di coba nih.
BalasHapusTerima kasih sharingnya.
Tulisannya bener bener mengena kak aku mengalami semuanya itu di atas, beban kita berat ya dan musti beradaptasi
BalasHapusSaya setuju banget mbak dengan downgrade gaya hidup. Hal ini menjadi penting untuk mempertahankan kondisi keuangan keluarga di tengah pandemi yang tidak tahu kapan selesainya ini. Semoga berlalu dan kondisi kembali normal.
BalasHapusbenar bgt mba jadi byk bgt tantangan selama pandemi, kadang aq jadi stress sendiri
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)