Saya tergelitik ingin mengisahkan tentang pertemuan saya dengan keluarga Pak Temporas pada saat melakukan perjalanan meneliti kehidupan di Karimunjawa. Keluarga ini, adalah salah satu contoh nyata warga yang hidup bergantung pada alam: hutan dan lautan. Jadi, cocok sekali jika diikutkan dalam lomba blog Blogger Perempuan dan Walhi bertema hutan sebagai sumber pangan. Yuk, ikuti kisah perjalanan saya.
Legon Lele: kawasan konservasi Taman Nasional Karimunjawa
Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.79/IV/Set-3/2005 mengenai zonasi di kawasan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ), memutuskan bahwa terdapat 7 (tujuh) zona konservasi meliputi zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, pemukiman, rehabilitasi, budidaya dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Zonasi ini memasukkan hutan hujan tropis dataran rendah di Pulau Karimunjawa seluas 2.587 hektar sebagai zona perlindungan. Hal ini agak bertentangan dengan kehidupan masyarakat setempat yang mulai menikmati legitnya industri pariwisata Karimunjawa dan geliat budidaya rumput laut. Zonasi ini juga mempersempit area tangkapan ikan.
Urun rembuk terus dilakukan untuk mengakomodir suara warga, investor, akademisi dan pemerintah daerah. Hal ini dipandang penting karena Karimunjawa dikembangkan sebagai destinasi wisata unggulan dan sangat mengandalkan potensi sumberdaya alam sebagai obyek dan daya tarik wisata.
Zonasi konservasi Taman Nasional Karimunjawa |
Perubahan zonasi dilakukan kembali pada tahun 2014. Kawasan Legon Lele dimasukkan dalam zona pemanfaatan darat, bersama dengan Pulau Menjangan Kecil, Pulau Menjangan Besar, dan Nyamplung Ragas.
Penghasil Emas Cair
Selain berupa hutan tropis dataran rendah, Legon Lele juga merupakan sumber air utama di Karimunjawa. 1 dari 13 sumber air yang ada. Debit air yang dikeluarkan adalah 162 liter per detik. Air di sini dialirkan ke seluruh Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan melalui PDAM.
Saking berharganya, TNKJ menyebutnya sebagai “emas cair” di Karimunjawa....
Saking berharganya, TNKJ menyebutnya sebagai “emas cair” di Karimunjawa....
Karimunjawa tidak punya cekungan air tanah (CAT) namun bisa memiliki sumber air dengan debit yang lumayan besar. Hal ini terjadi karena berada di area rimba hutan hujan tropis dataran rendah. Pohon-pohon yang ada membuat lubang tanah penyimpan air. Vegetasi yang ada juga menahan air hujan agar tidak langsung melaju ke laut. Hutan mangrove juga berperan menahan intrusi air laut ke daratan. Dan yang juga sangat penting adalah ketersediaan lahan basah berupa sawah di daerah Cikmas, yang mempengaruhi ketersediaan air tawar.
Jika lumbung padi terakhir di Cikmas ini berganti beton hotel dan tambak udang... Maka kekeringan parah akan terjadi di Karimunjawa. |
Cikmas adalah satu-satunya lumbung padi yang tersisa di Karimunjawa. Sebelumnya ada 3 areal persawahan. Areal persawahan di Legon Lele adalah yang paling luas, sebelum ditelantarkan. Area persawahan lainnya adalah Nyamplungan, yang saat ini sudah berganti menjadi tambak budidaya udang.
Legon Lele dihuni kembali
"Legon Lele dihuni kembali...."
Itulah kabar yang diterima oleh tim Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa #2 yang terdiri dari saya (Susi), Mas Daniel, Mbak Ulin, Mas Hakim, Mas Tris. Mengenai Ekpedisi ini, saya telah menulis beberapa di kategori Ekspedisi Karimunjawa.
Sekadar informasi, pemukiman Legon Lele dibuka pada tahun 1960an. Pada tahun 2013, areal pemukiman tersebut sudah tidak berpenghuni, karena ditinggalkan seluruh warganya secara perlahan... dijual. Legon Lele menjadi dukuh mati.
Kami mengagendakan datang untuk meneliti kehidupan di sana. Beberapa pikiran liar sempat terlintas di benak kami, karena hasil dari penceritaan tentang kondisi Legon Lele yang cukup nggegirisi ati. Saya sudah menceritakan kenangan mantan warga Legon Lele, diwakili oleh suami istri Mulyanto dan Pak Lajamuna.
Selain mereka, cerita tentang Legon Lele menjadi pemukiman yang ditinggalkan oleh seluruh warganya memang cukup membuat jerih: binatang liar, ular edor, ular jinur, monyet Macaca yang rakus, landak, dan binatang liar lainnya. Padahal, ada kisah indah tentang asal muasal Legon Lele yang berkaitan dengan Sunan Nyamplungan.
Jalan sempit menuju Legon Lele. Kami berpapasan dengan istri dan anak Pak Temporas di jalan |
Kami ke Legon Lele dengan mengendarai motor. Pilihan transportasi hanya 2, yaitu mobil off-road atau sepeda motor dengan kondisi baik.
Kami mampir ke Pantai Legon Lele dahulu untuk melihat kondisi di sana. Pantai ini seperti sebuah tempat pembuangan akhir bagi apapun yang mengapung di lautan menuju Karimunjawa. Sampah di mana-mana, beberapa di antaranya berupa kayu-kayu gelondong yang bagi orang Jepara adalah emas yang dapat diolah menjadi kerajinan kayu.
Dua tahun setelah kedatangan kami, saat ini, Pantai Legon Lele telah menjadi destinasi wisata. Semoga tidak merusak alam di sana!
Dua tahun setelah kedatangan kami, saat ini, Pantai Legon Lele telah menjadi destinasi wisata. Semoga tidak merusak alam di sana!
Pantai Legon Lele, berupa cerukan yang menjadi penerima sampah laut di Karimunjawa yang berasal dari timur dan selatan. |
Kami melaju ke bekas pemukiman warga Legon Lele. Perjalanannya cukup jauh. Mungkin sekitar 30 menit, menerabas jalan sempit beralaskan tanah lumpur berpasir. Jalan ini kebalikan dari kata mulus. Di kanan kiri kami, terdapat genangan air yang merupakan “emas cair” bagi warga Karimunjawa.
Bertemu Keluarga Pak Temporas
Kami sampai di sana, dan bertemu dengan Pak Temporas yang sedang memperbaiki mesin perahunya. Beruntung bagi kami, karena beliau sangat jarang berada di rumah.
Pak Temporas adalah suku Bajo yang menganggap ombak laut sebagai buaian bunda. Suku Bajo biasanya membuat rumah di tepi laut.
Pak Temporas adalah suku Bajo yang menganggap ombak laut sebagai buaian bunda. Suku Bajo biasanya membuat rumah di tepi laut.
Seperti yang lainnya, Pak Temporas bukanlah tipe orang yang betah di daratan. Ia dan anak sulungnya lebih banyak di lautan daripada di daratan. Ia tinggal di daratan demi istrinya. Bu Umi, warga asli Jepara (tepatnya Bandungharjo) dan putri remaja mereka yang menjadi difabel karena gizi buruk.
Kami mendengarkan cerita Pak Temporas di depan rumah |
Empat orang ini meminjam sebidang tanah di Legon Lele dan tinggal di rumah yang nyaris roboh. Sebenarnya, lebih tepat jika dikatakan Bu Umi dan anak perempuannya yang tinggal di sana, memanfaatkan sumber hutan sebagai pangan. Pak Temporas dan anak laki-lakinya hanya 2 hari di rumah, selebihnya menjadi nelayan.
Mungkin karena alasan keamanan, akhirnya mereka meminta sepupunya untuk tinggal bersama. Sepasang suami istri dan anak laki-laki. Hutan tropis dataran rendah di Legon Lele terlalu besar untuk mereka “kelola” sendiri.
Kami datang pada bulan Agustus, itu artinya musim panen raya jambu mete oleh monyet-monyet macaca di hutan tropis Legon Lele!
Monyet macaca, si pemanen ulung atau si rakus?
Tanah luas Legon Lele memberikan rezeki bagi yang mau mencari. Salah satunya adalah memunguti biji-biji mete yang berserakan di bawah. Monyet macaca fascicularis karimoendjawae bergelantungan di atas, dengan lahap memakan buah jambu mete dan membuang bijinya sembarangan. Sehari Bu Umi bisa mendapatkan ½ karung, jika musim panen raya jambu mete. Setidaknya, 3 kg biji yang masih basah itu bisa ditukar dengan uang Rp40.000,- per kilogramnya. Hasil hutan tak hanya menjadi sumber pangan, tetapi juga rezeki besar bagi keluarga Temporas di saat-saat tertentu.
Monyet macaca. Foto pinjam dari Mas Sitam, blogger dari Karimunjawa |
Monyet Macaca adalah hewan endemik Karimunjawa. Termasuk monyet yang sangat rakus. Pemakan segala. Ia pandai memakan kelapa tua, juga memakan kepiting bakau. Jangan tanya apa saja yang dimakan, karena ia benar-benar pemakan segala. Salah satu cirinya adalah ia berekor panjang dan bunyi suaranya “Krra!”, melengking keras saat memanggil kawanannya. Monyet jantan memiliki panjang tubuh antara 385-648 mm dengan berat 3,5 – 8 kg, sedangkan betina 400-655 mm dengan berat 3 kg. Warna tubuh bervariasi: mulai dari abu-abu sampai kecoklatan, dengan bagian ventral berwarna putih. Hidungnya datar dengan ujung hidung menyempit.
Psst, tahu bedanya monyet dengan kera? Jika monyet memiliki ekor yang terlihat panjang, sementara kera sebaliknya.
Sekarang sudah tahu, kan?
Jambu Mete Karimunjawa
Jambu mete atau anacardium occidentale L adalah tanaman tropis. Tak banyak yang tahu jika biji tanaman ini, adalah “buah” yang sesungguhnya, sedangkan jambunya adalah buah semu. Yang kita sebut buah, aslinya adalah tangkai buah (peduncle) yang membesar. Tapi tetap saja harus disebut buah, ya. Oh, ya, namanya cashew apple. Mungkin belum tahu.
Meski secara ilmiah disebut dengan buah semu jambu mete, saya tetap menyebutnya buah jambu mete, agar mudah menjelaskannya. Sepakat, ya.
Buah jambu mete Karimunjawa termasuk kecil jika dibandingkan dengan jambu mete Jepara, apalagi yang dari Sukolilo Pati. Mungkin karena jenis tanah dan kondisi alam Karimunjawa yang bagai cermin pemantul cahaya. Tapi secara umum, warna dan rasanya sama. Aromanya khas, dan jumlah vitamin C, 5 kali lebih tinggi dari buah jeruk manis. Tepatnya 147-372 mg per 100 gram. Juga mengandung vitamin BI, B2, niasin serta asam amino.
Buahnya berwarna merah, kuning dan jingga. Mungkin menarik diketahui, jika jambu mete warna kuning rasanya lebih manis, dan lebih harum. Gatal dan kelatnya (sepet) lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang berwarna merah dan jingga.
Opor jambu mete yang lezat
Bu Umi adalah warga Jepara yang mengadu nasib di hutan konservasi Karimunjawa. Ia harus bisa mengolah bahan pangan dari hutan untuk mengganjal perut. Tak hanya kendala uang, akan tetapi juga kendaraan menuju ke kota, yang sangat jauh. Saya menemukan beberapa tanaman cabai dan sayur yang ditanam untuk kebutuhan sehari-hari. Lokasinya di sebelah dapur semi terbuka, terpisah dari rumah utama.
Keluarga Temporas sangat bahagia menyambut kami, tim Ekspedisi yang dengan sabar mendengarkan kisah perimbaan mereka. Seperti keramahan khas wong cilik, kami ditawari menginap dan makan. Bu Umi segera memerintahkan keluarganya untuk mencari sayur dan lauk dari hutan. Cocok sekali untuk diceritakan dalam Forest Cuisine Blog Competition yang diadakan oleh WALHI.
Keluarga Temporas sangat bahagia menyambut kami, tim Ekspedisi yang dengan sabar mendengarkan kisah perimbaan mereka. Seperti keramahan khas wong cilik, kami ditawari menginap dan makan. Bu Umi segera memerintahkan keluarganya untuk mencari sayur dan lauk dari hutan. Cocok sekali untuk diceritakan dalam Forest Cuisine Blog Competition yang diadakan oleh WALHI.
Keramahan khas wong cilik dan olahan sederhana nan leza |
Opor jambu mete adalah menu yang ingin saya bagi di sini. Karena saya ingin teman-teman tahu bahwa buah semu pada jambu mete ini bukanlah pakan ternak. Ini adalah buah yang lezat, yang bisa dimasak menjadi apa saja. Jambunya yang segar bisa menjadikan sambal bercitarasa otentik. Saya pernah menulisnya dalam artikel berjudul Menikmati Legitnya Sambel Jambu Mete.
Sambel jambu mete ala Susindra |
Opor jambu mete buatan Bu Umi dari Legon Lele sebenarnya sulit saya sebut sebagai opor. Bahannya tidak lengkap. Tapi karena tempat makannya memang tiada duanya, apalagi ditemani kegelapan hutan dan ikan segar yang lezat... rasanya menjadi tiada duanya.
Untuk teman-teman yang penasaran dengan resepnya, saya berikan versi komplit, ya. Agar lebih enak hasilnya, kecuali jika bisa menghadirkan ambiance hutan seperti yang kami alami.
Resep opor jambu mete
Opor jambu mete berbahan dasar buah jambu mete dan santan. Akan lebih enak jika ditambahkan ayam. Jadi, anak-anak akan ikut memakannya. Ini saya lakukan di rumah, karena tertarik makan ayam, anak kami akan mau makan opor jambu mete.
Jadi ibu harus kreatif....
Meski resep ala Susindra, akan tapi saya harus minta maaf karena menggunakan foto opor jambu mete Bu Umi yang difoto pada malam hari dengan sedikit cahaya. Di sana tidak ada listrik, dan penerangan memang terbatas.
Ah! Saya menyesal tidak pernah memotret hasil masakan opor jambu mete agar bisa menjadi contoh. Huhu.... nyesel banget.
Ah! Saya menyesal tidak pernah memotret hasil masakan opor jambu mete agar bisa menjadi contoh. Huhu.... nyesel banget.
Opor jambu mete |
Bahan:
500 kg jambu mete
500 kg ayam (optional)
1 liter santan dari ½ butir kelapa
Bumbu A
5 siung bawang merah
3 siung bawang putih
3 butir kemiri
2 ruas kunyit
1 ruas kencur
1 ruas jahe
¼ sendok ketumbar
¼ sendok merica
Bumbu B
2 lembar daun salam
2 lembar daun jeruk
1 batang sereh
Cara pembuatan
- Potong jambu mete menjadi 4 memanjang lalu direbus selama 5 menit. Hasil rebusan diperas airnya hingga hampir habis. Sisihkan,
- Potong dan cuci bersih ayam (jika memakainya),
- Semua bumbu A diulek hingga halus lalu ditumis sampai harum,
- Masukkan bumbu B ke dalam tumisan,
- Masukkan ayam dn sedikit air agar tidak gosong. Masak ayam sampai hampir matang,
- Masukkan jambu mete yang sudah diperas airnya,
- Masukkan santan,
- Koreksi rasa.
- Matikan segera setelah ada bagian yang mendidih, agar santan tidak pecah.
- Opor jambu mete siap dihidangkan.
Resep opor di atas, rasanya sangat lezat. Citarasa buah jambu mete yang spesifik berbaur dengan bumbu-bumbu yang ada.
Resep lainnya
Air perasan jambu mete bisa menjadi sirup, sari buah, jeli, nata de cashew, wine, cuka, dan manisan. Ampasnya bisa menjadi abon jambu mete nan lezat.
Jambu mete peras bisa diolah menjadi pepes, oseng, botok, lodeh, opor, dan masih banyak lagi. Resep yang ini sudah lama saya ketahui dari kecil, karena ibu kami dari desa Kecapi Jepara, desa penghasil kacang mete di Jepara yang terkenal kelezatannya. Mete Kecapi lebih besar dari mete Karimunjawa, dan lebih kecil dari mete Sukolilo (Pati). Tapi... rasanya lebih manis dan legit, karena unsur hara di Kecapi memang sangat baik untuk tanaman kacang-kacangan.
Aneka olahan jambu mete dan turunannya |
Jambu mete yang telah diperas di atas, bisa juga dibumbui ala pepes, botok dan tumis. Rasanya enak sekali, dan khas. Adakalanya kami yang tinggal di dekat laut menjadikannya pengganti tomat pada pindang tetel, meski asamnya tidak terlalu terasa.
Yah, begitulah. Dari satu bahan, bisa menjadi beragam panganan.
Pemanfaatan buah jambu mete di Karimunjawa selama ini masih sebatas bijinya saja. Buahnya tercecer di jalan, terlindas mobil, atau teronggok di sampah. Beberapa warga ada yang memberikan sebagai pakan ternak.
Syukurlah, pada event Barikan Kubro 2019, ada ada workshop pengolahan jambu mete yang diampu oleh Bu Umayah, warga setempat. Kelihatannya pendatang. Maka tak heran, jika masyarakat Karimunjawa tampak heran saat mengikuti workshop pengolahan buah jambu mete pada tanggal 3 September 2019 jam 10 pagi tersebut. Saya sedang tak ada kelas, sehingga bisa mendaftar sebagai peserta workhsop. Gratis!
Produk olahan jambu mete Bu Umayah |
Kami diajak mengolah jambu mete menjadi abon, sari buah, dan jeli. Bu Umayah membawa obat antibatuk dari jambu mete dan keripik jambu mete. Semua semangat belajar memasak. Bahkan, Mbak Sienny Ho, pemilik destinasi wisata dan pusat oleh-oleh Bukit Love menyatakan akan membeli berapapun hasil olahan dari jambu mete.
Saat ini, saya membayangkan seandainya musim panen raya tahun 2020 ini, jambu mete telah menjadi welcome drink serta naik kelas menjadi menu restoran dan hotel...
Ternyata, dari sebuah hutan tropis daratan rendah di Karimunjawa, ada banyak cerita yang bisa digali dan dibagi. Masih banyak Temporas lain di Nusantara yang menanti dikisahkan perjalanan hidup mereka dalam artikel blog bertema mengolah hasil pangan di hutan. Semoga kisah ini menginspirasi.
Beberapa sumber:
- Mulyono, Edy et al. TT. Teknologi Inovatif Pengolahan Buah Semu Jambu Mete untuk Mendukung Agroindustri. Makalah Prosiding Seminar Nasional Teknologi lnovalif Pascapanen untuk Pengembangan lndustri Berbasis Pertanian
- Sulisyati, Rohmani et al.. Revisi Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Sebagai Upaya Kompromi Pengelolaan Sumber Daya Alam. Makalah Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional.
- https://viqarchu.wordpress.com/2012/01/04/monyet-karimunjawa-macaca-fascicularis-karimoenjdawae-di-taman-nasional-karimunjawa-tnkj/
87 Komentar
mereka hanya sekeluarga? akses di sana hanya perahu? tanpa listrik? wow.. nggak kebayang sama sekali..
BalasHapusAksesnya jalan kecil Mbak. Memang tidak ada listrik di sana.
HapusDan mereka memang sekeluarga saja, nunut hidup di tanah orang yang tidak diurus.
opor jambu mete wah baru tahu aku
BalasHapusyummy... tahunya metenya digoreng ajah. wkwk.
Hapusternyata mete bisa dibikin macam3 termasuk keripik
Wah, kalau di kami, bisa jadi masakan apa saja Mbak. Hampir semua masakan bisa dih, aslinya. Tinggal kreativitas kita. Kalau yang butuh yang lauk, berarti ambil buah yang sudah diperas setengah kering. Kalau mau minuman, ambil sarinya. Ada juga yang diblender jika mau tekstur yang kental.
HapusWah saya penasaran pengen nyocain opor jambu metenya, sepertinya enak mbak.
BalasHapusEnak banget Mbak. Bukan Agustus-Oktober bisa cari di pasar terdekat ya
HapusYa ampun baru pertama kali mendengar opor dan sambal jambu mete. Ibuku suka banget sama jambu mete. Pengennya bisa melihat langsung kesana
BalasHapusNitip salam untuk ibu ya Mbak. Saya juga suka banget jambu mete. DImakan dengan tambahan garam.
Hapusresep opor jambu mentenya mantap, makasih infonya
BalasHapuswww.rajaunik.co.id
Terima kasih. Selamat mencoba
HapusWah.. Keluarga ini keren. Bisa hidup dari makanan alam, termasuk hutan..
BalasHapusSemoga sukses lombanya, Mbak Susi.
Salam bahagia..
Mereka terpaksa Mbak. Tak punya rumah dan tanah. Makanya nunut hidup di hutan konservasi
HapusDi halaman rumah saya juga ada pohon jambu mete. Berbuah tidak tentu. Tidak kami makan. Cuma anak-anak biar tahu saja seperti apa buah jambu monyet itu...
BalasHapusWah, tahun ini harus mencoba aneka resep dari jambu mete, Mbak.
HapusKenapa Mba orang-orang pada pergi dari Legon Lele itu? Apa karena kurang mata pencarian sampai tempat itu ditinggalkan atau karena emang banyak binatang buasnya seperti uler dll?
BalasHapusListrik, panen selalu gagal, banyak binatang liar, akses jalan hanya motor atau menaiki bukit. Banyak kisah sedih di sana, Mbak.
HapusIkut terbawa rasa di hutan gitu mba, merasakan kesederhanaanya juga. Baru denger ada opor jambu mete, rasanya pasti unik gitu yah, manis2 gitu ngga sih? :3 resepnya sepertinya boleh dicoba
BalasHapusIya Mbak, masih ada manis harumnya.
HapusOpor jambu mete ini bener2 unik, secara buah dijadikan lauk...
BalasHapusAh keren bgt sih
Iya, Mas. Unik dan enak sekali.
HapusSaya paling suka pepes jambu mete.
Saya taunya di makan langsung, asam manis kelat. Trua bijinya di goreng dan pucuk daunnya kami lalap hihi
HapusAku biasa makan jambu mete sebagai komponen rujak, Mba
BalasHapusDan baru tahu lho kalo bisa dimasak macam2
Keren banget ya hutan INDONESIA!
DI sini juga dijadikan rujak juga Mbak
HapusWah, baru tahu kalau jambu mete bisa dibuat bermacam makanan/masakan. Saya jadi penasaran Mbak gimana rasa dari aneka jenis makanan berbahan dasar jambu mete itu. Masih ada rasa sepetnya gak ya?
BalasHapusSelama ini tahunya cuma mente-nya aja yg digoreng sama dijadikan keripik mente. Hehe.
Enak sekali Mbak. Dengan teknik pemasakan tertentu, rasa sepat bisa hilang, tinggal harus khas dan manisnya.
HapusMaaaaammmm, ih bikin ngiler aja jambu metenya. Seumur-umur aku belum pernah menikmati olahan jambu mete kecuali kacang mede yang udah digoreng hahahaha.
BalasHapusNtar aku main ke Jepara ajakin icip-icip dong.
Aku beneran menunggu blogger sejoli datang ke Jepara. Beneran!
HapusWah keren nih pak Temporas dan Bu Umi ya hidup dg kondisi alam sprti itu.
BalasHapusMereka hidup dengan apa yang ada Mas
HapusKece-keceee Mba Susi olahan jambu metenya. Saya masih ingat dulu di rumah nenek saya ada pohon jambu mete dan kita cucu-cucu suka rebutan buat metikin yg matang. Sekarang kayaknya udah langka banget ini si jambu monyet.
BalasHapusIya mbak. sudah langka.
HapusDi sekitar rumah saya hanya tinggal sedikit. Untungnya masih bisa dapat gratisan yang di bantaran kali. Wkwkwk
Enak bangetttttt masih bisa nemu di bantaran kali, Ya Allah, pengen ke rumah Mba Susi. Hahahaha
HapusMonggo Mbak. Beneran lho.
HapusRumah saya ada 2 sungai, di depan dan belakang rumah. Jaraknya sama, sekitar 400an meter. Kadang ada teman sekolah yang dolan tuk ajak anaknya mancing dan jeguran di sungai.
Kalau bantarannya, ada jambu mete, juwet dan bambu. Kalau mau tinggal minta izin saja.
Kadang cuma lihat saja ditawari. Hihihi.
Begitulah lingkungan tinggal di desa
Salut untuk keluarga Temporas. Semoga sekarang kehidupan mereka sudah jauh lebih baik. Tentang jambu mete, di sini susah mendapatkannya. Saya belum pernah menemukan jambu mete di pasar tradisional di Kota Bandung. Terima kasih informasinya yang komplet ini, Mbak :)
BalasHapusJambu mete makin langka ya Mba Sugi. Saya saja di Bali udah 6 tahun nyaris gak pernah ketemu jambu ini dijual di pasar. Hehehe
HapusMonggo dolan ke Jepara, Mbak Sugi, Mbak Mutia. Pastikan sekitar bulan Agustus-Oktober ya... Nanti bisa saya masakin, dan ajak panen di kebon tetangga.
HapusSelama ini saya hanya tau jambu mete itu diambil bijinya untuk dibuat makanan. Ternyata jambunya selain bisa dimakan juga bisa diolah jadi sambal ya, Mbak
BalasHapusSambal jambu mete itu resep keluarga kami, Mbak. Sejak kecil saya makan ini dan berkesan sekali
HapusSemoga sawah-sawah di Cikmas tetap bertahan ya, sebagai benteng terakhir penghasil padi di sana.
BalasHapusSemoga legon lele kembali hidup suasananya, tapi kalau bersanding dengan banyak hewan liar emang ngeri-ngeri sedap ya, apalagi lelakinya nggak di rumah, melaut semua.
Ternyata jambu mete bisa di masak. Jadi ingat jaman kecil, seneng banget main ke bukit dekat kampung, cari duwet dan jambu mete.
Aamiin.. Iya Mbak. Makanya kami mencoba membuat kampanye agar sawah di Cikmas tidak diganti dengan rupiah/bangunan beton.
HapusPasti masyarakat yang ada disini sehat dan bugar ya, terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup hedonisme seperti masyarakat perkotaan
BalasHapusPastinya Mbak
HapusMasyaAllah betapa luarbiasa karuniaNya. Dengan keterbatasan semua bisa diatasi ya Mba. Manusia memang ciptaanNya yg sempurna. Peng3len incip jambu metenya yang diopor
BalasHapusIya Mbak. Manusia dalah makhluk sempurna yang bisa beradaptasi di lingkungan apapun.
HapusEhm...opor jambu mete? Kok jadi penasaran rasanya kayak apa ya?
BalasHapusAyo dicoba Mbak Uli. Pasti ketagihan
HapusBaru tau Mak, jambu mete bisa menjadi opor. Padahal dinkampung saya buanyak gak ada yang makan. Gak ada yang tau itu bisa diolah.
BalasHapusWah, tunggu postingan Rabu ini ya Mbak, insyaAllah tentant aneka resep jambu mete. Besok jatahnya jurnal belajar.
HapusUnik banget itu mba Opor Jambu Mete, pasti sedap deh rasanya, baru nih aku tau ada olahan hasil hutan kaya gini. Bangga banget jadi orang Indonesia yang hasil hutannya tuh melimpah dan bisa diolah jadi makanan enak.
BalasHapusSedap buanget Mbak. Saya selalu berburu jambu mete tiap musimnya. kadang beli di pasar, kadang ambil di kebun tetangga.
HapusWah gak kebayang rasanya gimana. Dari kecil tuh aku kalo liburan sekolah pasti ke rumah bulikku di daerah Ngaliyan Semarang. Jaman dulu Deket rumahnya ada kebun jambu mete. Dan kami boleh ngakbin buahnya, sementara biji yang keras ditinggalkan. Hahahaha kayak monyet itu ya mba. Aku ngiler loh gara-gara lama gak pernah ketemu buah jambu mete uni
BalasHapusHahaha. DI sini juga gitu kok Mbak. Saya juga boleh ambil di kebun tetangga asal bijinya diberikan ke yang punya.
Hapuswoaaa.. ternyata jambu mete bisa diolah sebagai teman makan nasi ya mba susi.
BalasHapussaya taunya yang dah jadi kacang mete aja. pengen nih nyobain olahan jambu mete yang lainnya.
Iya, Mbak. Sejak saya kecil, lho, biasa maem sambel jambu mete tanpa lauk. Rasanya enaaaak sekali kalau yang masak ibu.
HapusGa pakai lauk, saking enaknya. Nanti lauknya di makan setelah selesai makan, WKwkwk
Kaya banget khazanah masakan Nusantara ya Mba Susi. Semua hal baru bisa aku tau dari baca post mba susi ini ..
HapusKarimun Jawa sering kedemger namanya karena adikku beberapa kali observasi lingkungan disana. Aku penasaran dengan rasa opor jambu mete itu 😄😄
BalasHapusAwalnya saya pertama kali baca Legon Lele, kirain sejenis lele, Mbak Susi. ternyata nama daerah. Dan memang sampai saat ini, sebagian besar masyarat Indonesia masih menggantungkan kehidupan pada hutan dan laut ya, Mbak. Jadi memang semua harus dijaga.
BalasHapusNah, saya suka sekali jambu mete itu, Mbak. Selama ini saya tahunya buat camilan atau buat campuran kue saja. Atau paling enak buat bumbu pecal juga. ternyata bisa dimasak juga, ya. jadi penasaran rasanya seperti apa hehehe.
Mba Susi, ini pasti pengalaman yang keren banget ya mba. Banyak ilmu dan juga pengetahuan baru. Saya pun jadi kebagian karena baca blog Mba Susi.
BalasHapusKacang mete, atau juga jambu mete ini sangat banyak sekali manfaat dan juga bernilai jual tinggi ya Mba. Semoga hasil alam hutan membawa semakin banyak manfaat bagi penduduk sekitar Mba.
Bagi yang tinggal di sekitar hutan, mendapatkan jambu mete pastilah teramat mudah. Sampai diolah jadi opor segala. Beda Ama saya yg meskipun hidup di desa tapi jauh dari hutan. Bisa beli dan makan jambu mete itu terasa wah
BalasHapusDalam pikiran saya jambu mete dimakan begitu saja, untuk rujak biasanya dan metenya bisa digoreng untuk camilan dengan harga lumayan. Ternyata jambu mete bisa diolah menjadi aneka penganan . Dan membaca semangat warga Karimunjawa yang bisa memanfaatkan sumber pangan dari hutan, sungguh salut dan bisa ya tinggal dengan keterbatasan dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan.
BalasHapusArtikel ini menarik sekali Mbak..terima kasih sudah menceritakannya
Itu pemukiman legon lelenya kok bksa ditinggalin ya?
BalasHapusSaya pikir tadi benaran emas cair. Rupanya cuma istilah aja.
Membayangkan ada peran dr pemerintah, misalnya soal penerangan. Matahari pasti berlimpah kan ya.. Bisa dipasang solar panel.
BalasHapusSemoga kebijakan hidup bersama alam terus dipertahankan.
Btw sayur metenya bikin kemecer. Tp saya ngebayanginnya dimasak pedes
Semoga ke depannya ada orang yang bisa membuat jambu mete ini naik kelas, cukup menjadikannya lebih rapi dan menjual di masyarakat. Ini pasti akan membuat olahan ini bisa menjadi olahan yang terkenal, apalagi kalau banyak yang memasarkannya.
BalasHapusHuwaaa kangen kampung halaman ini mah, di Buton juga banyak jambu mete Mba, saya sering banget liat pohonnya gini, tapi nggak berani makan banyak buahnya, soalnya selalu gatal-gatal dan alergi.
BalasHapusBiasanya kami kumpulkan biji metenya yang dibawa kelelawar dan jatuhin di bawah pohon apapun, kalau udah banyak dibakar dan enak banget tuh :)
Tapi saya baru tahu loh bisa dijadikan opor, di sana paling di makan gitu atau dibikin rujak, tapi seringnya sih malah kebuang-buang karena nggak ada yang makan lagi.
HapusKalau metenya, jujur lebih enak yang dibakar pakai arang masih ada kulitnya gitu, ketimbang yang udah dikupas kulitnya, meski ya rempong kupasnya dan bakarnya :)
Aku selalu ingin mampir ke Karimun Jawa. Untuk penginapan apakah disana sudah ada MBa? Btw rasanya olaha jambu mete itu gimana rasanya ya?Belum pernah nyoba....
BalasHapusJambu mete bisa diopor ya Mbak Susi... Sy br tau ya dr tulisan Mbak Susi ini hehe. MasyaAllah terharu ya dg kekayaan ragam pangan dari hutan tropis Karimun Jawa. Tugas kita bersama menjaga kelestarian hutannya
BalasHapusDikripik juga endeuss banget ya mete ituu,, pangan dari hutan tropis Karimun Jawa bikin warga jadi kreatif ya
HapusUdah lama banget lho mbak aku gak makan jambu mete hahaha, kok jd mengingat rasanya. Seringnya makan metenya doank yang selalu ada pas lebaran :D
BalasHapusJd penasaran kalau jambu mete dibikin olahan lain bahkan ternyata bisa juga dibikin opor ya, rasanya seperti apa ya :D
Wah Ternyata jambu mete bisa diolah menjadi banyak ragam makanan ya..
BalasHapusBelum pernah nyobain..
Apalagi d Malang jarang nemu jambu mete..
Keren mb tulisannya..
Imfografisnya oke banget
Kisahnya menarik tentang keluarga Temporas. Opor jambu mete, mau. Enak dan sehat. Penasaran rasanya nih, sepet gak ya/
BalasHapusBelum pernah lihat buah jambu mete secara langsung euy sayahhh.. Imut juga ya kelihatannya, lucu bentuknya. Hihihi. Terus itu opor jambu metenya, jadi pengen cobain ihh.
BalasHapusIni Karimunjawa Jepara ya? Sy pernah ke sana eksplor lautnya sama singgah di pulau Menjangan lihat hiu yg dipenangkaran..to ga ketemu jambu metenya waktu itu apa lagi ga musim ya..jadi pengen kesana lagi..
BalasHapusLangsung ngenes banget liat opor jambu mete, apalagi kalau dikasih gratis hee. Ga terlalu sulit ya cara bikinnya, gampang banget. Masalahnya timbul sekarang adalah, jambunya mete sulit di temukan di beberapa daerah di Indonesia yakin deh
BalasHapusWah baru tahu jambu mete bisa dibikin macam-macam olahan gitu ya mbak, dulu dirumah mbah saking banyaknya cuma diambil mete nya saja, buahnya dibuang sekarang baru merasa sayang
BalasHapusKeren deh keluarga Temporas yang hidup dari hasil hutan. Waah aku baru tahu jambu mete bisa dimasak jadi opor mbak. Bisa dibuat keripik, obat batuk dan banyak lagi yang lainnya ya. Sungguh hasil hutan yang tak terduga. Aku tahunya langsung dimakan aja dengan rasa asam dan sepatnya itu hehehee. Ooh yang kuning lebih manis ternyata. Baiklah, nanti kalau ada yang ngasih aku milih yang kuning aja :)
BalasHapusWah udah lama banget nggak pernah ketemu jambu mete lagi. saya juga baru tahu kalau jambu mete ternyata bisa dijadiin opor. bangga banget ya semua alam Indonesia yang kaya dan orang yang mampu memanfaatkan sumber daya alam tersebut dengan baik. Semoga kita juga bisa menjaga alam agar bisa dinikmati generasi berikutnya.
BalasHapusAhaaa! Aku sekarang jadi ngerti bedanya monyet dan kera, makasiiii Mba :)
BalasHapusDan, oh, mente ternyata bisa diolah jadi bermacam menu, ya
Banggaaa dgn hasil hutan Indonesia!
Jambu mete pun bisa dibuat opor ya? Berarti layaknya nanas juga ya, buah yang bisa dijadikan santapan lezat dan nikmat, yang makin menggugah selera
BalasHapusWah, opor jambu mete! Selama ini taunya cuma kacang mete digoreng buat dicemilin. Kebetulan dulu sering dikirimin kacang mete dari kampung sama nenekku (sekarang udah meninggal).
BalasHapusPeer banget ya mbak kalau lihat ada bahan yg tidak dimanfaatkan secara maksimal. Aku juga ikut ngebayangin lo mbak, kalau saja jambu2an ini jadi bisa jadi signature oleh2 dari Jepara dan Karimunjawa, pasti keren lah
BalasHapusYa Allah, makin tahu banyak aku..
BalasHapusJambu mente bisa jadi opor...
Sungguh kaya resep orang Indonesia
Yaa Allah Mbak, sedih aku tu baca ini. Jaman kecilku jambu mede di ladang dan kebun kebun yu buanyaak. Orang paling makan sebiji dua biji. Gak ada yang bisa mengolah menjadi makanan. Nyesell aku.
BalasHapusSalut ya ternyata ada keluarga seperi keluarga pak Temporas ini yang mengandalkan bahan pangan dari hutan. Btw baru tahu juga nih Mbak, jambu mete bisa diolah jadi berbagai jenis makanan ya tinggal kreatifnya kita saja nih
BalasHapusBanyak bgt hal yang saya baru tahu, opor jambu mete, perbedaan monyet dg kera, buah mete berwarna kuning ternyata lebih manis dibanding warna lain. Pun baru tahu kalau buah sesungguhnya adalah si bakal kacang mete. Hmm, mainnya kurang jauh atau justru kejauhan sih, hal2 kayak gini baru tahu �� Jauh dari pasar, memanfaatkan apapun yang ada di hutan. Duh, Gusti, apa kabar saya yang dekat pasar tapi masih pakai seribu alasan untuk ngoprek dapur. ���������� Astaghfirullah.
BalasHapusAku masih penasaran dengan rasa opor jambu metenya. Ntar klo pohon jambu mete di kantor berbuah, mau metik dan coba bikin ah
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)