Apa yang Sobat Cakrawala Susindra tangkap dari gambar ini? Apakah sebuah pura bertingkat lima? Bukan. Ini adalah masjid beratap lima di dekat pantai. Lebih tepatnya di dekat pantai berbenteng tembok. Ini adalah satu dari masjid kuno di Jepara. Masjid berbentuk seperti pagoda ini sudah lama hilang, digantikan Masjid Besar Baitul Makmur yang ada di sebelah utara alun-alun kota Jepara. Seperti apa, masjid kuno di Jepara ini sebelumnya?
Sobat Susindra, kita beruntung, karena bangsa Belanda memiliki catatan yang rapi. Beruntung juga, bahwa banyak peneliti Eropa, utamanya Belanda, yang menyebar ke seluruh penjuru nusantara, untuk mendokumentasikan negeri misteri yang mereka kuasai. Mereka membawa tim, dan ahli gambar adalah salah satunya. Dari perjalanan merekalah, sebagian sejarah tertangkap dalam bentuk visual.
Membicarakan masjid di atas, berarti harus mundur lebih jauh lagi. Karena, gambar masjid di atas terbit dalam bentuk buku pada tahun 1676. Bisa dikatakan sebagai buku ‘pengawit’. Buku berjudul "Oost-indische voyagie ditulis oleh Wouter Schouten dengan kartografer bernama Coenraet Decker.
Saya tidak salah menulis ejaan, ya. Judul pada zaman itu memang hanya huruf pertamanya yang kapital. Meniru tata ejaan bakunya Perancis. Mayoritas negara di dunia pakai ejaan tersebut. Saat itu bahasa Perancis memang jadi acuan, bahkan harus menguasainya jika ingin belajar di universitas.
Menjelang abad 20, ketika Amerika jadi negara adidaya, banyak yang kemudian menggunakan ejaan yang kita pakai sekarang ini. Caiyyo, Perancis!
Buku ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Profesi asli keduanya cukup jauh dari dunia kepenulisan maupun penelitian. Schouten datang ke Indonesia sebagai dokter bedah, sedangkan Decker sebagai pengukir. Buku kuno tahun 1676 ini, semoga kelak ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ya. Mari kita berharap bersama-sama.
Saya tidak salah menulis ejaan, ya. Judul pada zaman itu memang hanya huruf pertamanya yang kapital. Meniru tata ejaan bakunya Perancis. Mayoritas negara di dunia pakai ejaan tersebut. Saat itu bahasa Perancis memang jadi acuan, bahkan harus menguasainya jika ingin belajar di universitas.
Menjelang abad 20, ketika Amerika jadi negara adidaya, banyak yang kemudian menggunakan ejaan yang kita pakai sekarang ini. Caiyyo, Perancis!
Buku ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Profesi asli keduanya cukup jauh dari dunia kepenulisan maupun penelitian. Schouten datang ke Indonesia sebagai dokter bedah, sedangkan Decker sebagai pengukir. Buku kuno tahun 1676 ini, semoga kelak ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ya. Mari kita berharap bersama-sama.
Sobat Susindra, masjid beratap lima ini menjadi salah satu ilustrasi dan tulisan dalam buku "Oost-Indische voyagie". Dalam gambar, tampak bangunan masjid beratap lima tersebut berada di dekat pantai. Ditandai dari banyaknya pohon kelapa di sekitar masjid. Sebuah pagar tembok mengelilingi masjid. Di samping tembok tersebut terdapat sebuah sungai yang cukup besar, terlihat dari 3 perahu yang sedang bersandar dan 2 perahu yang melaju di sungai.
Di depan masjid terlihat sebuah gapura beratap yang besar. Gapura tersebut menandakan bahwa di depan benteng adalah daratan. Di sekitar gapura terdapat prajurit yang berjaga. Masjid di dalam tembok pagar dikelilingi oleh air. Pada bagian depan dan samping kiri terdapat jembatan untuk masuk ke dalam bangunan.
Tampak 2 orang prajurit berkuda yang melaju. Ada lebih banyak prajurit yang bersiaga memegang tombak. Di samping depan, ada dua buah gerobak (mungkin lebih) penuh muatan. Di bagian paling depan, seorang pembawa payung mengikuti langkah perempuan di depannya. Di sebelah kanan ada seorang pedagang yang meletakkan dagangannya di atas kepala. Di depannya seorang laki-laki bersantai sambil meniup seruling (atau sedang menghirup candu?). di bagian paling atas terdapat tulisan “Der moren Tempel binnen de Stadt Japare” atau “tempat ibadah orang Mor di dalam kota Jepara”. Mor adalah sebutan yang sering muncul untuk menyebut orang Islam.
Mungkin minat baca: Gong Senen
De Graff dalam bukunya “Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I” menyatakan bahwa kemungkinan besar gambar dibuat dari atas loji yang memang menjadi benteng pertahanan. Sekarang namanya Benteng Fort Japara XVI .
Sobat Susindra, melihat gambar tersebut, dan menggabungkan dengan teori De Graaf, tak bisa dipungkiri bahwa masjid tersebut adalah masjid Baitul Makmur yang berada di sebelah alun-alun kota Jepara. Sempat terjadi pro kontra tentang kesimpulan ini, karena Pijper menyebut masjid ini sebagai masjid Mantingan, dalam bukunya “Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950” terbitan UI Press tahun 1985. Akan tetapi, masyarat Jepara pada umumnya lebih mempercayai bahwa masjid beratap lima tersebut adalah Masjid Baitul Makmur, meski tak dapat ditelusuri sejak kapan masjid tersebut berubah menjadi seperti masjid yang sekarang ini. Bahkan siapa pembuatnya pun masih pro kontra. Saya termasuk yang tidak setuju jika pembuat masjid adalah Arya Japara, putra angkat Ratu Kalinyamat yang menjadi raja Kerajaan Japara kedua. Beliau adalah putra Sultan Prawata, dan diberi gelar Sunan Jepara. Menjadi raja Japara sejak tahun 1579 – 1599. Sulit membayangkan membuat masjid berbentuk pagoda semacam itu. Menurut analisa saya, masjid tersebut memang sudah ada sebelumnya, dan memang pagoda. Pada saat kerajaan Islam bernama Japara berdiri, pagoda tersebut diambil alih dan dijadikan masjid.
Pro kontra kapan masjid ini musnah pun tak luput dari kontroversi. Sebuah diskusi menarik yang pernah saya ikuti 3 tahun lalu, membuat teori bahwa mungkin masjid ini pernah dibakar saat paham Wahabi pertama kali datang ke Jepara.
Saya cenderung menganggapnya sebagai sebuah bencana (entah alam atau manusia) tanpa motif jahat di dalamnya. Bagaimana menurut, Sob?
Saat menulis ini, sebuah teori muncul di benak saya. Mungkin, masjid tersebut terbakar saat kisruh antara orang Jepara dengan Belanda pada tahun 1616, ketika penguasa Jepara menangkap 18 orang Belanda dan memenjarakannya. Karena, sebagai balasan, J.P. Coen mampir ke Jepara untuk membumihanguskan pelabuhan Japara dan seluruh bangunan yang berada di sekitarnya. Dalam kebakaran tersebut, hanya istana Ratu Kalinyamat yang disebut salah satunya. Tak pernah ada yang menyebut tentang masjid beratap lima di Jepara tersebut. Ide ini, jujur saja, terlintas saat mengamati bangunan-bangunan di sisi kiri dan depan masjid yang terlihat lebih besar dan luas. Ah... Saya ngelantur, Sobat Susindra.
Itu tidak mungkin. Peristiwa tersebut terjadi 40 tahun sebelum Decker datang ke Jepara dan melukisnya. Heheh. Lebih masuk akal jika masjid ini dibakar saat perstiwa Geger Pacina 1740. Saat itu sentimen negatif ditujukan pada warga Cina sehingga ada ribuan orang Cina yang dibunuh. Peristiwa ini tak hanya terjadi di Batavia, tetapi juga di Lasem dan Jepara.
Itu tidak mungkin. Peristiwa tersebut terjadi 40 tahun sebelum Decker datang ke Jepara dan melukisnya. Heheh. Lebih masuk akal jika masjid ini dibakar saat perstiwa Geger Pacina 1740. Saat itu sentimen negatif ditujukan pada warga Cina sehingga ada ribuan orang Cina yang dibunuh. Peristiwa ini tak hanya terjadi di Batavia, tetapi juga di Lasem dan Jepara.
Saya yakin kelak saya akan bisa mengetui jawabannya.... Sejarah masjid kuno di Jepara. Memang harus sabar dan telaten. Iya, kan, Sobat Susindra? Bagaimana menurutmu? Jangan sungkan berteori, ya! Asal landasan ilmunya jelas.
14 Komentar
Masjid pagoda. Menarik sekali. Saya kira akan dipugar menyerupai bentuk sama. Mungkin tim pengkaji cagar budaya bisa menggali lebih dalam informasinya, sehingga kekayaan cagar budaya di Jepara semakin bertambah.
BalasHapusWah, atap berundak-undak nya hilang ya mba Susi .. mungkin kurang luas kalo dipertahankan ya..
BalasHapusasal usul sejarahnya memang menarik sekali mba Susi.
Aku selalu suka artikelmu. Ada analisisnya. Bacaanya pasti banyak. Mungkin orang Belanda bilang Mor untuk Islam, dari sejarah di Eropanya sana kali. Kan yang sampai ke Eropa, Islam Moor (Moorish) dari daerah Spanyol. Terus ada perang Salib itu.
BalasHapusAku lebih menduga, kalau masjid beratap lima mirip pagoda, awalnya memang pagoda yang beralih fungsi. Perlu penelitian lebih lanjut deh...
wah jadi tau cerita sjid itu mbak,, wah kok maish ada kabar pemusnahan masjid ya,, paham wahabinya bukannya udah nggak ada?
BalasHapusUnik banget ya atap masjid Baitul Makmur Jepara terdahulu. Dan itu gambar udah seperti kamera aja. Detail dan rapi banget deh. Kalau begitu aku menunggu mbanya mendapatkan jawaban kenapa masjidnya hilang dan berganti dengan bangunan masjid berbeda terus entah siapa pula yang ngebangunnya. Benar-benar misteri hmm
BalasHapusDan rasanya yuni belum percaya bahwa pagoda itu ternyata adalah sebuah masjid. Biasa kan menara masjid itu kayak kubah begitu, tinggi menjulang dan nggak bertingkat begitu kayak pagoda. Iya nggak sih?
BalasHapusNamun membahas sejarah memang selalu menarik, asal penuturnya bisa merangkainya dengan baik. Pasti nggak bikin bosan dan berakhir dengan mengantuk. Hehe
selalu menarik ya kak. kadang akhirnya menyimpulkan bahwa iyaaaa, inilah masjid tersebut. daripada kelamaan mikirnya 😆
BalasHapusPerlu kajian sejarah sebelum ketuk palu Mbak. Dan antar sejarawan juga kadang beda interpretasinya.
HapusBerkali2 ke Jepara, belum pernah ke sana. Jadi kangen mudik.
BalasHapusAyo ke Jepara
HapusTapi agak aneh ya Mbak? Kok bisa pada beda pendapat gitu? Kan klo ada perombakan sebuha bangunan pasti akan dimusyawarahkan dan dikerjakan sama-sama?
BalasHapusKejadiannya kan awal abad ke-17 Mbak.
HapusDi buku tertua yg saya punya, tahun 1700an, hanya menyebutkan Masjid Mantingan. Memang perlu banyak riset dan orang zaman dahulu kalau mencatat sejarah dengan lirik yg kadang sulit diterjemahkan
Memang ya peninggalan penjajahan belanda sampai sekarang masih ada dan dirawat. Masjid Baitul Makmur Jepara benar-benar bersejarah sekali ya mbak
BalasHapusJepara bukan tentang RA Kartini ya kak tapi masjid ini salah Satu cagar budaya yang wajib dikunjungi kalau ke jepara
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)