Masjid Mantingan adalah masjid kebanggaan masyarakat Jepara. Masjid ini termasuk masjid tertua ketiga di Jawa, setelah Masjid Agung Demak dan Masjid Menara Kudus. Sebagaimana masjid kuno, biasanya terdapat kompleks makam di belakang masjid, yang sama kunonya. Kompleks Masjid dan Makam Mantingan merupakan artefak tentang kejayaan Kerajaan Japara atau biasa disebut Kerajaan Kalinyamat pada abad ke-16. Beberapa dari kami menyebut Masjid Mantingan sebagai Taj Mahal Jepara, karena masjid ini diinterpretaskan oleh beberapa sejarawan sebagai tanda cinta Ratu Kalinyamat kepada suaminya, Pangeran Hadiri. Seperti apa kondisinya sekarang?
Sekilas tentang kompleks Masjid dan Makam Mantingan
Masjid Mantingan berdiri dengan anggun di sebuah bukit kecil di desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Lokasinya cukup dekat dari pusat pemerintahan kota, sebelah selatan, dengan jarak hanya 5 KM saja. Bentuknya seperti masjid masa peralihan, yaitu atap berundak tiga, karena pengaruh budaya asli warga bercampur dengan budaya Islam. Arsitektur jenis ini disebut dengan arsitektur Islam Jawa. Hampir semua masjid kuno pada zaman peralihan menggunakan gaya arsitektur ini. Bahkan letak masjid yang berada di bukit dekat pusat pemerintahan merupakan salah satu ciri masjid yang masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan animisme-dinamisme Jawa (local genius). Termasuk, nama Desa Mantingan, yang berasal dari kata pamantingan yang menandakan tempat tersebut memiliki kekuatan magis. Menurut hasil penelitian Balai Pustaka Jogja, dahulunya masjid ini merupakan sebuah candi.
Masjid sebagai media syiar agama sangat efektif karena pada abad ke-15 dan abad ke-16, masyarakat di Jepara masih menganut agama Hindu dan kepercayaan Jawa yang disebut kearifan lokal (local genius). Para wali dan penyebar agama Islam lainnya menggunakan cara damai (penetration pasifique) dengan cara mengasimilasi kebudayaan lama mereka dengan kebudayaan baru, yaitu Islam. Di usahakan agar agama yang masih menjadi pegangan hidup masyarakat dijaga dan diperhatikan, sehingga masyarakat tidak merasakan ada arus islamisasi. Penetrasi secara damai itu dilakukan dengan memastikan benda seperti gerbang candi bentar, gerbang paduraksa, yoni dan lingga, serta lainnya, tidak dihancurkan. Yoni, misalnya, dapat dijadikan umpak tiang saka (penyangga) masjid. Gerbang candi bentar dijadikan pintu masuk menuju ke bangunan masjid, sementara gerbang paduraksa dijadikan sebagai pintu masuk menuju makam. Seperti itulah salah satu cara untuk mengislamkan masyarakat. Hal ini juga terjadi di Masjid dan Makam Mantingan, dan semuanya masih dapat disaksikan dan dipelajari sampai sekarang ini.
Lingga yoni di Makam. Tampak, dinding lingkungan makam utama tempat Ratu Kalinyamat bersemayam |
Pendiri Masjid dan Makam Mantingan
Masjid dan Makam Mantingan tak bisa lepas dari beberapa tokoh yang membangunnya. Mereka seperti satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka adalah Ratu Kalinyamat dan Ki Sungging Badar Duwung.
Ratu Kalinyamat adalah seorang ratu yang sangat disegani di kawasan pantai utara. Ia memimpin sebuah kerajaan muda yang lahir setelah kisruh ahli waris di Kerajaan Demak. Tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal atau 10 April 1549. Sebelumnya, Jepara adalah kota pelabuhan ekspor impor dan pusat kekuatan militer Kerajaan Demak, di bawah pimpinan putri Sultan Demak bernama Putri Ratna Kencana, dan suaminya yang bernama Pangeran Hadiri. Setelah kisruh ahli waris Kerajaan Demak meruncing, yang menyebabkan suaminya terbunuh, Ratna Kencana menjadikan wilayah kekuasaannya sebagai kerajaan mandiri dan mengganti namanya menjadi Ratu Kalinyamat. Kalinyamat diambil dari nama kawasan yang dipimpin bersamanya. Oh, ya, Pangeran Hadiri ini memiliki julukan Ki Kalinyamat. Setelah meninggal, gelar sultan diberikan padanya sehingga disebut Sultan Hadiri.
Visualisasi Ratu Kalinyamat dilakukan setiap tanggal 9 April di Jepara dalam bentuk Kirab Budaya |
Ki Sungging Badar Duwung adalah orang kedua di Kerajaan Japara yang merupakan ahlinya ahli seni, terutama seni ukir batu cadas. Dialah yang membuat panel-panel hias di Masjid Mantingan yang bisa kita nikmati sampai sekarang. Nama Sungging Badar Duwung sendiri sebenarnya adalah gelar masyarakat, yang memiliki arti ahli (sungging) pemahat (badar) batu/akik (duwung). Dalam serat-serat lama, ia disebut berasal dari Cina dan merupakan ayah angkat Pangeran Hadiri, karena nuansa Cina sangat kental.
Arsitektur Masjid Mantingan
Menurut sertifikat Kabupaten Jepara No. B.8625873, Masjid Mantingan memiliki luas 2.935 M2. Masjid ini menjadi Cagar Budaya Jepara dengan SK Nomor 299/M/1999 bertanggal 29 November 1999. Masjid ini berdiri pada tahun 1559 Masehi, ditandai dengan sebuah candra sengkala memet berbunyi Rupa Brahmana Warna Sari. Sengkalan yang lazim menjadi penanda tahun ini masih dapat kita temui di atas mighrab masjid.Beduk dan serambi depan Masjid Mantingan |
Masjid ini menghadap ke timur dengan ukuran panjang 22 meter dan lebar 17 meter. Dalam ruang utama masjid terdapat empat saka yang menyangga atap bertingkat tiga. Sebuah mighrab berbentuk lengkung memiliki hiasan panel ukir di setiap baloknya. Jumlahnya ada tiga. Di situlah, sengkalan memet diletakkan, menempel pada lengkung pertama. Kita harus mendongak untuk melihatnya.
Arsitektur Makam
Kompleks makam menempati lahan seluas 4.350 m2. Kompleks ini terbagi 2, yaitu makam kuno di sisi timur dan makam baru di sisi barat. Pintu masuk utama makam terpisah dari masjid, berbentuk paduraksa. Pintu masuk makam dari masjid berbentuk gerbang candi bentar.Gapura utama makam Mantingan berbentuk paduraksa |
Gapura makam Mantingan berbentuk candi bentar |
Makam kuno menjadi pusara Pangeran Hadiri (setelah meninggal diberi gelar Sultan Hadiri), Ratu Kalinyamat, Ki Sungging Badar Duwung, dan kerabat dekat Sang Ratu, juga orang-orang kepercayaan. Makam kuno ini diberi pagar bata yang memisahkan dengan lingkungan makam lainnya. Di lingkar kedua kompleks pemakaman, terdapat makam bernisan karang, merupakan peristirahatan terakhir para pembantu raja yang setia. Lingkaran makam selanjutnya diperuntukkan bagi para imam dan juru kunci, dan sisanya adalah makam warga yang memenuhi syarat dimakamkan di sana.
Bukti masyarakat Jepara sebagai pengukir sejak abad ke-16
Reputasi Jepara sebagai kota ukir bukanlah sebuah isapan jempol akan tetapi dapat ditemui bukti artefaknya sampai sekarang. Di kompleks Masjid dan Makam Mantingan terdapat panel-panel berukir yang menjadi bukti kehebatan masyarakat Jepara dalam hal ukir di abad ke-16. Panel-panel berukir tersebut terbuat dari batu cadas putih yang keras, mengingatkan pada pahatan batu di candi-candi. Namun teknik dan gaya ukirannya jauh berbeda. Ukiran batu di Masjid dan Makam Mantingan lebih luwes, dan kebanyakan berbentuk stilasi. Stilasi adalah bentuk penggayaan sebuah benda. Misalnya, lukisan bunga teratai ini, jika dilihat dengan sangat teliti, bentuknya mirip gajah.
Panel berukir di kompleks Masjid dan Makam Mantingan memiliki kekayaan jenis ukir yang luar biasa. Jumlahnya dahulu ada 144 panel, namun sekarang sudah tersebar di beberapa museum, termasuk di Museum Ronggowarsito. Dari jumlah yang banyak ini, sangat jarang yang memiliki bentuk ukiran sama. Banyak gaya ukiran dari berbagai kerajaan kuno yang memiliki kerjasama dagang dapat ditemui di sini, sehingga dapat dikatakan sebagai museum ukir nusantara abad ke-16. Panel berukir tersebut ditempelkan di dinding depan dan menjadi ciri khas masjid yang tidak ditemui di masjid lain di Indonesia.
Ornamen ukir di panel-panel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jepara telah menjadi sungging atau ahli ukir yang hebat. Beragam stiliran menunjukkan seperti apa kehidupan pada masa lalu. Aneka tanaman yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan, piranti ibadah, bahan obat, sampai bahan bangunan dijadikan tema ukiran stilasi yang indah. Juga fenomena alam, binatang dan perumpamaan kehidupan mikrokosmis. Tak hanya itu, ukiran berbentuk geometri yang menjadi ciri khas kebudayaan Islam juga sebagian distilasi sehingga berbentuk elemen masjid seperti minaret, bentuk bersila, dan sebagainya. Panel berukir juga terdapat di makam. Rasanya tak habis-habis jika membahas ragam hias ornamen berukir di kompleks Masjid dan Makam Mantingan.
Menarik diikuti: Sejarah Masjid Baitul Makmur Jepara
Masjid Mantingan pernah mengalami pemugaran besar pada tahun 1979-1982 sehingga bentuknya menjadi seperti sekarang ini. Masjid dapat menampung jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Pemugaran ini masih menyisakan banyak bagian otentik masjid, meskipun banyak juga yang hilang. Semoga setelah ini tak ada lagi pemugaran besar yang merusak cagar budaya ini.
Berbicara mengenai pelestarian budaya membutuhkan banyak waktu dan serangkaian penelitian serta diskusi terpumpun (FDG). Hal ini perlu karena pada perkembangannya, kompleks masjid dan makam juga menjadi sumber ekonomi warga. Hal ini tak dapat dielakkan. Sebagai salah satu tempat wisata religi terkenal, makam ini sering sarat pengunjung. Para wisatawan nonziarah juga mengunjungi masjid ini untuk melihat Cagar Budaya yang bisa menjadi living story perkembangan seni ukir Jepara.
Banyaknya peziarah, membawa berkah luar biasa bagi masyarakat di sekitar kompleks sehingga terjadi mutiplier effect yang luar biasa. Jumlah pengunjung yang membludak pada waktu-waktu tertentu ternyata juga memberi ekses buruk terhadap artefak di sana. Konsentrasi peziarah yang terpusat di makam Ratu dan Sultan, membuat antrian panjang kadang terjadi di dalam makam. Adakalanya pengunjung tanpa sengaja menginjak pusara bernisan karang maupun pusara lebih baru. Juga kerusakan sedikit demi sedikit beberapa bagian dari banguan makam yang terbuat dari bata kuno bertumpuk tersebut. Hal ini sangat memeprihatinkan. Belum lagi, minimnya data maupun laporan hasil kajian di sini, padahal sebagai cagar budaya, seharusnya memberi kesempatan pada masyarakat untuk dapat memanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
UU No. 11 Tahun 2010 pasal 78 ayat (1) menyatakan:
Dari sini tampak bahwa kompleks Masjid dan Makam Mantingan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi sebagai dana pemeliharaan cagar budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat, selama tetap memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat.
Dari sini, kita dapat mengurai upaya pelestarian dan pemanfaatan kompleks Masjid dan Makam Mantingan sebagai berikut:
Dari dua contoh di atas dapat terlihat bahwa kerusakan telah banyak terjadi di mana-mana. Janganlah sampai, peninggalan cagar bdaya yang luar biasa ini hanya menjadi foto digital seperti dua foto dari Tropen Museum yang saya sertakan. Sungguh, hati ini miris melihat mereka menjadi kenangan.
Saya kira, enam saran sebagai upaya pelestarian kompleks Masjid dan Makam Mantingan sebagai salah satu cagar budaya dan aset wisata sejarah sekaligus religi tidaklah berlebihan. Perlu upaya-upaya komprehensif agar artefak yang luar biasa ini tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh anak cucu dan cicit kita kelak. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah pengetahuan Sobat Susindra
Stilasi ukir berbentuk hewan (gajah) di Masjid Mantingan. Sumber: Tropen Museum |
Panel berukir di kompleks Masjid dan Makam Mantingan memiliki kekayaan jenis ukir yang luar biasa. Jumlahnya dahulu ada 144 panel, namun sekarang sudah tersebar di beberapa museum, termasuk di Museum Ronggowarsito. Dari jumlah yang banyak ini, sangat jarang yang memiliki bentuk ukiran sama. Banyak gaya ukiran dari berbagai kerajaan kuno yang memiliki kerjasama dagang dapat ditemui di sini, sehingga dapat dikatakan sebagai museum ukir nusantara abad ke-16. Panel berukir tersebut ditempelkan di dinding depan dan menjadi ciri khas masjid yang tidak ditemui di masjid lain di Indonesia.
Ornamen ukir di panel-panel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jepara telah menjadi sungging atau ahli ukir yang hebat. Beragam stiliran menunjukkan seperti apa kehidupan pada masa lalu. Aneka tanaman yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan, piranti ibadah, bahan obat, sampai bahan bangunan dijadikan tema ukiran stilasi yang indah. Juga fenomena alam, binatang dan perumpamaan kehidupan mikrokosmis. Tak hanya itu, ukiran berbentuk geometri yang menjadi ciri khas kebudayaan Islam juga sebagian distilasi sehingga berbentuk elemen masjid seperti minaret, bentuk bersila, dan sebagainya. Panel berukir juga terdapat di makam. Rasanya tak habis-habis jika membahas ragam hias ornamen berukir di kompleks Masjid dan Makam Mantingan.
Ukiran motif geometri arabesk. Bentuknya stilasi minaret. |
Upaya Pelestarian kompleks Masjid dan Makam Mantingan
Koentjaraningrat membedakan gejala kebudayaan menjadi 3, yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak. Gagasan akan melahirkan aktivitas, aktivitas akan menghasilkan artefak atau benda karya manusia. Masjid sebagai bangunan syiar agama berhasil mempertemukan kebudayaan setempat yang sudah mendarah daging dengan kebudayaan Islam yang baru diperkenalkan. Terjadilah asimilasi budaya yang melahirkan karya luar biasa yang masih lestari sampai sekarang ini. Masjid berhasil menjadi media penyebaran Islam yang efektif pada masa itu.Masjid Mantingan pernah mengalami pemugaran besar pada tahun 1979-1982 sehingga bentuknya menjadi seperti sekarang ini. Masjid dapat menampung jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Pemugaran ini masih menyisakan banyak bagian otentik masjid, meskipun banyak juga yang hilang. Semoga setelah ini tak ada lagi pemugaran besar yang merusak cagar budaya ini.
Panel berukir diletakkan di dinding depan, di antara 3 pintu |
Berbicara mengenai pelestarian budaya membutuhkan banyak waktu dan serangkaian penelitian serta diskusi terpumpun (FDG). Hal ini perlu karena pada perkembangannya, kompleks masjid dan makam juga menjadi sumber ekonomi warga. Hal ini tak dapat dielakkan. Sebagai salah satu tempat wisata religi terkenal, makam ini sering sarat pengunjung. Para wisatawan nonziarah juga mengunjungi masjid ini untuk melihat Cagar Budaya yang bisa menjadi living story perkembangan seni ukir Jepara.
Banyaknya peziarah, membawa berkah luar biasa bagi masyarakat di sekitar kompleks sehingga terjadi mutiplier effect yang luar biasa. Jumlah pengunjung yang membludak pada waktu-waktu tertentu ternyata juga memberi ekses buruk terhadap artefak di sana. Konsentrasi peziarah yang terpusat di makam Ratu dan Sultan, membuat antrian panjang kadang terjadi di dalam makam. Adakalanya pengunjung tanpa sengaja menginjak pusara bernisan karang maupun pusara lebih baru. Juga kerusakan sedikit demi sedikit beberapa bagian dari banguan makam yang terbuat dari bata kuno bertumpuk tersebut. Hal ini sangat memeprihatinkan. Belum lagi, minimnya data maupun laporan hasil kajian di sini, padahal sebagai cagar budaya, seharusnya memberi kesempatan pada masyarakat untuk dapat memanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Pintu berukir ini dahulunya adalah pintu Masjid Mantingan. Sumber gambar: Tropen Museum |
UU No. 11 Tahun 2010 pasal 78 ayat (1) menyatakan:
Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.UU No. 11 Tahun 2010 pasal 78 ayat (3) menyatakan:
Pengembangan Cagar Budaya sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dari sini tampak bahwa kompleks Masjid dan Makam Mantingan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi sebagai dana pemeliharaan cagar budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat, selama tetap memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat.
Dinding makam dari bata |
Dari sini, kita dapat mengurai upaya pelestarian dan pemanfaatan kompleks Masjid dan Makam Mantingan sebagai berikut:
- Memberi markah-markah anjuran untuk tidak merusak cagar budaya yang ada. Markah ini dapat dibuat dalam satu papan besar, atau secara parsial di beberapa lokasi strategis seperti jangan bersandar di tembok, jangan menginjak makam, jangan membawa masuk makanan, dan masih banyak lagi.
- Menambah sebuah perpustakaan mini pada ruang kajian yang sudah ada, untuk menampung buku-buku tentang makam dan masjid, tokoh-tokoh pembuatnya, juga laporan-laporan FDG yang pernah dibuat di sana.
- Menempatkan beberapa buah media informasi untuk edukasi perilaku masyarakat di area kompleks serta informasi-informasi mengenai cagar budaya ini, sehingga proses edukasi masyarakat terjadi.
- Menata ulang ruang kerja para pengurus masjid, termasuk menambah kurator dan edukator sebagaimana ada di museum, sehingga upaya konservasi lebih diperhatikan.
- Membuat replika panel-panel ukir yang ada, baik yang masih utuh maupun sudah rusak. Pembuatan replika ini dapat menggunakan jasa seniman lokal yang akan dengan segenap hati melestarikan masjid dan makam kebanggaannya.
- Sering mengadakan penelitian-penelitian serta kajian-kajian ilmiah, karena masih banyak hal yang belum diungkap atau malah simpang siur. Balai arkeologi dan kampus-kampus yang memiliki jurusan Sejarah harus dilibatkan.
Panel berukir di area makam Mantingan |
Panel berukir di area makam Mantingan yang mulai rusak karena pengunjung |
Dari dua contoh di atas dapat terlihat bahwa kerusakan telah banyak terjadi di mana-mana. Janganlah sampai, peninggalan cagar bdaya yang luar biasa ini hanya menjadi foto digital seperti dua foto dari Tropen Museum yang saya sertakan. Sungguh, hati ini miris melihat mereka menjadi kenangan.
Saya kira, enam saran sebagai upaya pelestarian kompleks Masjid dan Makam Mantingan sebagai salah satu cagar budaya dan aset wisata sejarah sekaligus religi tidaklah berlebihan. Perlu upaya-upaya komprehensif agar artefak yang luar biasa ini tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh anak cucu dan cicit kita kelak. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah pengetahuan Sobat Susindra
Beberapa sumber data:
Pampang, Mubarak Andi. 2016. Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016, Hal 55-67
Gunawan. 2015. Ragam Hias pada Interior Arsitektur Masjid Astana Sultan Hadlirin, Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Jurnal Catharsis. Volume 4 Nomor 1, Agustus 2015, Hal 24-28
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Montana, Suwedi. 1996. Perbedaan dalam Cara Penyebaran Agama Islam di Jawa pada Abad ke 15-17, dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Sub Tema Studi Komparatif dan Dinamika Regional. Jakarta: CV Putra Sejati Raya
Kamu suka datang ke tempat Cagar Budaya? Ayo ikuti Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!”
69 Komentar
Dulunya masjidnya candi, wah luar biasa ya kalau ke tempat bersejarah dan melihat akulturasi budayanya. Aku belum pernah ke Jepara, baca ini penasaran deh sama jejak jejak sejarahnya
BalasHapusBegitulah menurut hasil penelitian Balai Arkeologi Jogja Mbak
HapusAku kalau ke Mantingan tuh seringnya malam-malam. Jadi gak terlalu lihat gaya dan arsitektur Masjid dan makamnya. Tapi sekilas tuh memang banyak paduan kebudayaan
BalasHapusNggak ajak aku to Ji... AKu baru sekali pergi malam. Lebih tepatnya kemalaman
Hapusemang cagar alam kayak gini harus dijaga sama masyarakat plus pengunjungnya mbak yaaa
BalasHapusBenar Mbak. Semua harus berperan merawat dan menjaganya
Hapuswah ada ya Komoleks dan Makam Mantingan. Bagus ya...
BalasHapusSayang sekali, pengunjung kurang menjaga dan turut memiliki, jadi codet² ukirannya.
Selalu ada pengunjung tipe ini Mbak. Sedikit jumlahnya
HapusMasjid yang jadi saksi sejarah ya kak. bagaimana budaya dapat saling berkait dan membentuk sesuatu yang baru dan indah. Apalagi arsitekturnya yang indah tetap bisa dipertahankan sehingga ceritanya tetap ada bukti otentik. kudu dijaga supaya bisa terus dilihat
BalasHapusKalau bentuk asli tahun 1559, sudah tidak sama, Mas. Bentuk sekarang ini hasil pemugaran tahun 1980an.
HapusHarus menang nih mam, lengkap banget. Kirabnya memang tiap tahun ya mam diadakan di sana?
BalasHapusAamiin...
HapusTerima kasih apresiasi dan doanya Mbak. Ini tema yang aku suka banget.
bangunannya bener2 khas jawa
BalasHapusIya Mbak, sangat khas
HapusWaaah next mampir ke masjid ini ah, ulasannya lengkap mbaak, makin jatuh hati sama masjid
BalasHapusHarus, Mbak. Harus ke sini. Masjid ini lebih bagus daripada pemerianku.
HapusSetiap kali pulkam ke Jawa pingin banget mampir di Jepara, tapi belum kesampaian, sekarang bertambah lagi destinasi wisata sejarah yang ngak kalah dengan Masjid Menara Kudus, dan memang harus di lestarikan nih.
BalasHapusKalau ke Jawa, terutama dekat Jepara, hubungi aku ya Mbak.
HapusWaah...ternyata masjidnya punya nilai sejarah yang apik ya mi....
BalasHapusBanget, Cheils. Ini masjid kebanggaan kami
HapusCagar budaya selalu menarik untuk digali ya..
BalasHapusMakanya harus selalu dilestarikan..
Benar sekali, Mbak
HapusKebanyakan candi2 dijadikan masjid ya mba. Beberapa masjid di daerah Aceh juga begitu yang semulanya candi diubah fungsinya menjadi masjid, tapi bangunannya tetap sama. Masjid Matingan pun saya lihat juga demikian, keasliannya masih terjaga dan menjadi cagar budaya Indonesia.
BalasHapusSalah satu cara menyiarkan Islam secara damai Mbak
HapusKalau diperhatikan, ukiran-ukiran ini beneran indah dan pasti ada maknanya di setiap ukiran. Tapi, sayang aku yang bukan penikmat seni kadang bingung ini maknanya apaan. Wah kapan-kapan aku jadi pengen ke sini nih Mbak. Mau aku masukkan list traveling selanjutnya ah..
BalasHapusBukan hanya indah, dan simbolis, tapi juga bahannya dari batu. Ga bisa bayangin dulu gimana bikin polanya, tempelin pola lalu memahatnya.
HapusKita kehilangan banyak teknik luar biasa.
Unik dan artistik. terlihat bagaimana agama Islam perlahan-lahan membaur di masyarakat tanpa ada paksaan.
BalasHapusAda juga yang secara paksa, Mbak, dengan mengislamkan pemimpin. Ada yang melalui lomba, ada yang melalui kudeta
HapusJepara terkenal dengan seni ukirnya. Di masjid ini, ukirannya detail dan bagus. Pasti ada makna ya. Semoga bangunan cagar budaya tetap dilindungi dan dirawat bukan saja oleh pemerintah, namun juga masyarakat.
BalasHapusAamiin.... harapannya memang begitu Mbak
HapusUkiran di panel-panel tsb luwesss banget emang mbak, beda dengan yang di candi-candi pada umumnya lebih besar dan simetris....hmmm pengen sekali-kali ke Jepara deh karna selama ini taunya dari buku-buku sejarah aja huhuhu.
BalasHapusDi Indonesia sendiri akulturasi budaya dan agama ini kental emang bahkan terbawa hingga sekarang.
Kalau buku sejarah sekolah, kurang asyik Mbak. Sudah ada buku atau web sejarah yang lebih populer gaya penulisannya
HapusSayang kalau cagar budaya yg harusnya dijaga dan dirawat malah tidak terurus dg baik, mbak. Karena PR untuk tetap menjaga kelestarian cagar budaya selain dari pemerintah juga masyarakat sekitar.
BalasHapusTerurus dengan sangat baik Mbak. Hanya saja, untuk faktor kerusakan krn vandalisme gini biasanya teejadi tanpa niatan merusak. Bersandar di tembok atau menginjak nisan tidak akan dilakukan peziarah secara sengaja.
HapusSemoga cagar budaya ini bisa diurus dengan lebih baik lagi kedepannya.
BalasHapusAamiin.... Harapan kita semua seperti itu
Hapuswah wah, ukirannya itu loh rumit tenan, pasti bikinnya gak sebentar itu, bayanginnya aja udah puyeng apa lagi kalo bakal buat sendiri. Tapi ya kak, banyak sekali memang di Indonesia ini budaya budaya yang tidak dijaga sehingga hilang gitu aja, makanya perlu galak dan semakin galak lagi pemerintah perbanyak campaign untuk menjaga budaya ya kan kak~
BalasHapusBenar sekali, Mas. Mungkin karena jumlah cagar budaya sangat banyak, sehingga banyak yg luput. Pegawai museum, biasanya merasa 'dikotakkan' kecuali ygcinta benda antik. Pengurus masjid umumnya bukan orang ygcinta sejarah dan menyadari nilai mahal cagar budaya di masjidnya.
HapusBentuk dan arsitektur dari masjid dan makam mantingan benar-benar mengagumkan ya, Mbak. Begitu terlihat megah, elegan dan artistik. Apalagi dengan latar belakang budayanya yang begitu kental.
BalasHapusSemoga kompleks masjid dan makam mantingan yang termasuk cagar budaya ini bisa terus dilestarikan ya..
Iya Mbak. Kemegahan ini merupakan tambahan atau hasil renovasi. Misalnya lantai yang berkilat dari jauh tapi tidak licin. Dan lainnya.
HapusKalau area makam, nyaris tak tersentuh renovasi
Area masjidnya keliatan asri sekali ya, Mbak. Sukaaa banget sama panel-panel ukirannya. Orang jaman dulu tuh artistik dan telaten sekali ya
BalasHapusIya Mbak. Adem di sini. Di samping masjid ada pepohonan buah mengkudu yang sejak dulu dipercaya membantu permudah mendapatkan keturunan.
HapusDi Jepara banyak masjid tua gitu ya dan arsitekturnya juga masih terlihat alami. Cuma kalo sudah banyak kerusakan, apa memang tidak ada pihak yang mau revitalisasi kak??
BalasHapusMasjid tua yang dari abad ke-16 hanya ada 2,Mas.Masjid Mantingan dan Masjid Agung Baitul Makmur
HapusCagar budaya itu sudah seperti peninggalan bersejarah yang harus dijaga dan dilestarikan ya.
BalasHapusBenar sekali, Mbak Tika.
HapusAku suka banget cagar budaya yang berupa mesjid2 gitu karena jadi tau banyak sejarahnya
BalasHapusAyo ke sini, Mbak.
HapusBagus banget ornamen-ornamen di masjidnya,Mbak. Saya terpesona melihatnya. Semoga kelak ada kesempatan berkunjung ke tempat ini.
BalasHapusAamiin.. Semoga bisa ke sini ya Mbak.
HapusBangunan dulu arsitektur unik dan terbuat benar2 dari bahan berkualitas..tak heran memiliki usia yng cukup panjang.
BalasHapusSeperti ukiran pada pintu dll.
Bersyukur sekali ketika menjadi daerah wisata.., selain dikenal oleh masyarakan ..juga meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat
Ukiran di pintu itu sudah tinggal foto saja Mbak. Foto tahun 1923, kalau tak salah
HapusTempatnya bersejarah banget iya kak,
BalasHapusDari ukir-ukiran unik dan semoga aku kalau ke jepara bisa singgah disini.
Harus, Mas. Harus ke sini. Masih ada cukup banyak panel berukir yang bisa dipelajari, difoto dan dikagumi
HapusKak Susi...tulisannya selalu bikin aku terpana.
BalasHapusDalem banget risetnya.
Dan aku selalu amazing sama arsitektur bangunan khas Jawa Tengah.
Fungsinya apapun itu...selalu ada budaya yang kental menempel di sana.
Mumpung kemarin ketemu Kasi Sejarah dan Purbakala Disbudpar Jepara, Mbak. Jadi bisa tanya tentang SK dan luas.
HapusKalau yang lain, memang suka dan cinta sejarah.
Wah, baru tahu loh kalau ini dulunya masjidnya candi. Aku belum pernah ke Jepara, baca ini penasaran deh sama jejak jejak sejarahnya,,jadi kepingin mampir ke sini
BalasHapusMasjid masjid tertua biasanya dahulunya shrine atau tempat pemujaan yang bangunannya berbahan batu, Mbak. Jadi, mudahnya disebut candi.
HapusBiasanya terlihat juga sengkalan di mighrab dan lokasi.
Aku belum pernah ke sini :(
BalasHapusMonggo pinarak, Mbak. Salat di sini sambil belajar penyebaran agama Islam di Jawa pada abad ke-16
HapusBelum pernah mampir ke Jepara dan melihat ornamen yang ada di Masjid ini benar-benar indah. Peninggalan yang harus terus dilestarikan.
BalasHapusSetuju Mas. Sangat indah dan sayang jika hilang
HapusSome day kalau mampir ke Jepara ingin lihat langsung kemegahan mesjid ini..unik karena ada beberapa ornamennya yang sama dengan candi
BalasHapusUkiran-ukirannya unik dan detail ya. Jika ke Jepara, perlu saya kunjungi. Semoga terus terjaga kelestariannya sebagai cagar budaya!
BalasHapusMasya Alloh aku baru tahu ttg mesjid mantingan ini, entah aku yg kurng mencari infonya atau mungkin memang info ttg komplek mesjid ini kurang tersampaikan pd masyarakat diluar Jepara.
BalasHapusCeritanya jg lumayan menarik, sbg bukti Cinta Ratu kalinyamat pd suaminya, iya mirip kayak taj mahal ya.
Arsitekturnya elegant dan sarat akan kebudayaan Jawa ya mbak, ukiran2nya unik, Jepara banget pokoknya
Kalau sudah ditulis dan diulas begini tentang cagar budaya Indonesia sangat banyak dan beragam ya. Waktunya untuk melestarikannya.
BalasHapusMasjid yang jadi cagar budaya, sangat menarik dan harus dijaga ya biar tetap dapat dikunjungi oleh masyarakat dan wisatawan. Kepingin juga kunjungi masjid-masjid ini deh
BalasHapusSekilas melihat tidak seperti masjid yaa, kak..
BalasHapusBagus banget masih bisa dijaga dan dilestarikan hingga kini.
Yang aku lihat rata-rata bangunan masjid di derah Jawa memang seperti panggung ya meski sekarng sudah pakai bangunan permanen, salah satu contohnya Masjid Agung Yogyakarta di Kauman.
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)