Saya pernah baper saat menulis tentang Lomban 2013 dan ada teman yang berkomentar sebaiknya saya tidak ikut serta dalam sebuah aktivitas syirik, apalagi membagikannya. Saat itu saya merasa nelangsa. Padahal sejak blog ini lahir, saya selalu menulis tentang Lomban di Jepara dengan segala perniknya sebagai warga pesisir. Sejak saat itu saya tidak berani menulisnya. Hahahaha. Setelah cukup lama, saya memutuskan akan menjadikan tradisi lokal ini sebagai bagian dari blog ini kembali. Kali ini saya bawa persiapan yang lebih matang. Saya akan membuat tulisan panjang tentang sejarah, tradisi, kontroversi, dan foto-foto Lomban 2019 yang saya ambil dengan kamera Asus Pro M 1.
Lomban dan Sedekah laut: Syirik atau tidak?
Posting saya tentang Lomban Jepara yang terakhir sebelum ini berangka tahun 2013. Saya tidak berani lagi menulisnya. Tak dapat menjawab kontroversi menjadi alasannya. Saya tahu bahwa saya tidak melakukan tuduhan teman tersebut, tapi saya tak punya alasan cukup kuat untuk kembali. Terlebih, pasangan hidup saya juga tak mau diajak Lombanan. Panas, jawabnya. Memang benar, sih. Selain panas, juga ramai sekali. Ribuan warga ingin ikut serta. Saya menambah kadar bujukan. Lomban 2019, saya harus menulisnya. Kemarin, saya berhasil membujuk suami tuk melihat Lomban lebih dekat. Masih tak mau naik kapal. Padahal kan gratis. Hehehe.
Wajar kiranya jika kematangan saya menerima komentar sewindu lalu beda jauh dengan saya sekarang ini. Apalagi sekarang saya senang dengan acara jagong sejarah dan atau budaya. Saya juga bergabung dalam kelompok pemerhati wisata, Genpi salah satunya. Saya beberapa kali menerima undangan melihat dan meliput event tradisi lama semacam ini di kota lain.
Saya rasa, sudah saatnya saya kembali menulis tentang acara Lomban dan Sedekah Laut di kota saya sendiri. Mengenai apakah tradisi sedekah laut bernama Lomban ini syirik atau tidak, saya coba pakai pendapat Alhafiz Kurniawan dari nu.or.id di artikel "Hukum Sedekah Laut" yang saya sarikan dengan bahasa ala saya:
Wajar kiranya jika kematangan saya menerima komentar sewindu lalu beda jauh dengan saya sekarang ini. Apalagi sekarang saya senang dengan acara jagong sejarah dan atau budaya. Saya juga bergabung dalam kelompok pemerhati wisata, Genpi salah satunya. Saya beberapa kali menerima undangan melihat dan meliput event tradisi lama semacam ini di kota lain.
Saya rasa, sudah saatnya saya kembali menulis tentang acara Lomban dan Sedekah Laut di kota saya sendiri. Mengenai apakah tradisi sedekah laut bernama Lomban ini syirik atau tidak, saya coba pakai pendapat Alhafiz Kurniawan dari nu.or.id di artikel "Hukum Sedekah Laut" yang saya sarikan dengan bahasa ala saya:
Fenomena sedekah laut tak dapat dipandang secara sederhana menjadi persoalan hitam dan putih, syirik/kufur dan iman. Harus dikaji secara hati-hati karena kompleksitasnya. Fenomena sedekah laut mengandung persoalan aqidah (keimanan) dan fiqhiyyah.
Secara Aqidah, sedekah laut dihukumi haram jika niatkan untuk memberikan sedekah pada jin dan menyenangkannya, serta meminta perlindungan pada jin. Jika diniatkan untuk meminta perlindungan Allah dari gangguan jin, maka hukumnya menjadi mubah, dagingnya halal dimakan. Secara fikih pun tidak bisa hitam dan putih. Berapa banyak harta yang dipakai, berapa kali dalam satu waktu, dan lainnya. Intinya dikembalikan pada niat dan kesanggupan melakukannya.
Seperti inilah kondisi warga yang mengikuti sebagai peserta sedekah laut. Ber-taqarrub dengan memohon perlindungan Allah agar selamat dari bencana laut yang mungkin terjadi. Makanan yang disebarkan di laut pun akan menjadi makanan ikan-ikan di laut, yang akan mereka ‘panen’ dalam keseharian kelak.
Sejarah Sedekah Laut
Saya belum melakukan penelitian mendalam mengenai sejarah sedekah laut. Dalam artikel lawas saya tahun 2011, Tradisi Lomban dan Sedekah Laut 2011, saya menyebut surat kabar Slompret Melajoe yang pertama kali mengabarkan tentang tradisi Sedekah Laut, pada tanggal 12 dan 17 Agustus 1893. Saya lupa mengutip dari mana. Tradisi memasukkan nama yang buah pikirnya saya pinjam belum saya pahami benar meski senang menulis.
Sekilas info saja, bahwa surat kabar Slompret Melajoe (berganti nama menjadi Selompret Melajoe) terbit perdana pada tanggal 3 Februari 1860, dan berakhir pada tahun 1920. Koran ini fokus pada berita bertema bisnis (kabar lelang, kabar pembaca, pergantian pangreh praja, kebijakan perundangan pemerintah Hindia-Belanda, dan hikayat.
Meski tak banyak informasi yang dapat saya gali tentang ini, tapi setidaknya membuktikan bahwa tradisi Sedekah Laut ini sudah ada sejak lama. Sudah menjadi bagian dari mesyarakat pesisir pada saat itu. Akan tetapi saya agak kurang sepakat jika acara sedekah laut ini dikaitkan dengan kebudayaan Hindu-Budha. Sedekah laut ini, menurut saya, awalnya adalah local genius atau kebudayaan asli masyarakat pesisir, yang tidak dianggap haram oleh para wali yang menyebarkan agama Islam. Acara ini kan juga selalu melibatkan para ulama.
Sobat Susindra bebas menafsirkannya di komentar
Sejarah Lomban di Jepara
Sejarah sedekah laut di Jepara tak lepas dari tradisi lisan di Kelurahan Ujungbatu Jepara. Setidaknya, itulah yang saya tahu. Sejarahnya tak lepas dari sosok Haji Sidik (kepala desa pada tahun 1920-an) yang kisahnya dibuat legenda. Legenda Haji Sidik yang menjadi kepala desa kaya raya pada zaman Hindia-Belanda, yang saking kayanya, ia menyewa Pulau Panjang untuk warganya bersenang-senang (lelumban). Kaya raya sehingga setiap hari ketujuh Syawal, ia mengarak seekor kerbau besar keliling desa sebelum disembelih. Daging kerbaunya dimasak dan dibagikan kepada warga. Untuk menarik minat warga, kepala kerbaunya dijadikan hadiah lomba, diperebutkan di laut dekat situ, yang berupa sebuah teluk. Tak hanya orang Ujungbatu yang mengikuti. Orang Bulu, Demaan dan sekitarnya juga ikut dalam keramaian ini.
Tak perlu susah membayangkan. Pada tahun 1900-an awal, kepala kerbau adalah harta berharga bagi masyarakat saat itu yang masih hidup dalam kemiskinan. Jangan bayangkan mereka bisa memakan nasi. Jangan bayangkan juga mereka bisa makan 3 kali sehari. Bahkan makan gaplek (singkong kering) pun mungkin tak bisa sehari 2x. Cobalah baca literatur sejarah pada masa penjajahan Belanda saat itu untuk menggali bagaimana kebaikan Pak Sidik dijadikan sebuah kegiatan lelumban (bersenang-senang) semua masyarakat saat itu, sehingga kisahnya menjadi tradisi lisan. Kata lelumban dan lomba menjadi penyebab mengapa masyarakat Jepara menyebutnya Lomban.
Lomba mendapatkan kepala kerbau diadakan di Teluk Jepara (lokasinya di dekat TPI Ujungbatu. Pesertanya semua nelayan. Pada perkembangannya, lomba yang diadakan semakin banyak. Sejak kecil saya sudah terbiasa menikmati lomba prosotan dan lomba-lomba khas Agustusan pada tanggal 8 Syawal.
Saya tidak tahu sejak kapan perang ketupat diadakan. Jepara.go.id menyebut angka 2006. Saya yakin benar demikian, karena pertama kali saya tahu ada Festival Kupat juga pada lebaran tahun 2008. Saya ingat saat itu melihat mobil rombongan peserta festival dan amunisinya saat duduk di depan di warung ibu saya.
Perang ketupat ini, katanya sih meniru perang Ratu Kalinyamat saat menyerang Portugis di Malaka. Sebuah perang besar yang kolosal saat itu. Ratu Jepara ini memang terkenal dengan armadanya yang besar. Sebelum memahami perang ketupat ini, saya menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan,. Dahulu saya kurang sreg, jujur saja. Tapi pada perkembangannya saya tidak lagi merasa itu berlebihan karena ketupat dan lepet yang dijadikan amunisi perang akan menjadi makanan ikan (yang kelak mereka tangkap untuk kehidupan sehari-hari). Pelestarian tradisi, hiburan untuk warga dan sedekah ikan, jadi satu. Saya pernah menulisnya pada artikel berjudul Sedekah Laut dan Festival Kupat Lepet.
Saya tidak tahu sejak kapan perang ketupat diadakan. Jepara.go.id menyebut angka 2006. Saya yakin benar demikian, karena pertama kali saya tahu ada Festival Kupat juga pada lebaran tahun 2008. Saya ingat saat itu melihat mobil rombongan peserta festival dan amunisinya saat duduk di depan di warung ibu saya.
Perang ketupat ini, katanya sih meniru perang Ratu Kalinyamat saat menyerang Portugis di Malaka. Sebuah perang besar yang kolosal saat itu. Ratu Jepara ini memang terkenal dengan armadanya yang besar. Sebelum memahami perang ketupat ini, saya menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan,. Dahulu saya kurang sreg, jujur saja. Tapi pada perkembangannya saya tidak lagi merasa itu berlebihan karena ketupat dan lepet yang dijadikan amunisi perang akan menjadi makanan ikan (yang kelak mereka tangkap untuk kehidupan sehari-hari). Pelestarian tradisi, hiburan untuk warga dan sedekah ikan, jadi satu. Saya pernah menulisnya pada artikel berjudul Sedekah Laut dan Festival Kupat Lepet.
Perkembangan Lomban Jepara
Saya belum menggali lebih jauh untuk mencari tahu sejak kapan Lomban menjadi acara kabupaten. Tapi event yang satu ini memang termasuk akbar. Pada saat lomban, ratusan kapal nelayan menjadi peserta. Mereka diberi bendera khusus yang mudah dikenali masyarakat yang ingin ikut serta dalam agenda wisata ini. Tahun ini ada 160 kapal yang terdaftar. Mereka diberi solar sebagai ganti. Pada praktiknya ada juga perahu-perahu nelayan yang tidak mendaftarkan diri agar mendapatkan uang solar. Mereka juga menerima warga yang ingin melihat acara lomban ini secara langsung.
Bendera biru menjadi penanda warga yang ingin ikut naik kapal saat Lomban |
Acara ini menjadi acara yang sangat ditunggu. Ada ribuan warga dari Jepara dan luar kota yang ingin ikut menaiki kapal-kapal yang berjajar rapi menanti acara dimulai. Masyarakat dapat bebas memilih nunut di kapal mana. Semua gratis. Ada polisi dan petugas lain yang mengawasi dan memastikan kapal tidak memuat terlalu banyak warga.
Pada tahun 2013, sempat terjadi tragedi kapal terbalik dan memakan sejumlah korban meninggal. Sepemahaman saya waktu itu, warga meminta kembali hak mereka sebagai penyelenggara utama sedekah laut. Pemerintah Kabupaten Jepara masih menjadi penyelenggara Lomban secara umum, akan tetapi persiapan kerbau, wayang, dan lain sebagainya yang memang khas dan tradisi dikembalikan sesuai aslinya, dan dilakukan oleh warga sendiri.
Lebaran Kecil atau Bada Kupat atau Kupatan
Oh ya, saya hampir lupa.Lomban juga menjadi lebaran kecil bagi kami warga pesisir pantai. Kami menyebutnya Bada Cilik atau Bada Kupat Lepet. Jadi baru hari ke-7 kami memasak lontong, kupat dan lepet. Pada hari ke-8 kami memakannya bersama keluarga, lengkap. Keluarga, handai-taulan dan rekan dari luar pesisir akan berduyun-duyun ke kota. Kami yang di pesisir terbiasa memasak banyak sekali sebagai persiapan menerima mereka. Jadi semacam open house. Para warga memasak lontong opor pada hari ini. Kami yang di desa pun melalukan hal serupa. Benar-benar lebaran, dan nuansanya kental sekali. Mereka yang di desa, jika ikut Lomban, akan membawakan lontong, kupat, dan lepet untuk keluarga yang di pesisir. Saya menulis ini sambil makan 3 lepet. Saya tidak memasak secara khusus karena selalu dikirimi para tetangga dan keluarga. Tahun ini saya juga diberi seorang teman. Hahaha... Untung saya sangat suka lontong, kupat dan lepet.
Foto Sedekah Laut dan Lomban Jepara 2019
Warga yang datang ke lokasi penumpang kedua (di pelabuhan) dan ingin ikut serta. |
Penulis dan bayinya, Gi |
Kapal dan perahu bersiap dan berkumpul di Teluk Jepara |
Warga dari sekitar kota sampai luar kota bergabung dalam kemeriahan Lomban |
Perlu sobat ketahui bahwa ada 3 lokasi pemberangkatan warga yang ingin bergabung dalam acara larungan sedekah laut ini, yaitu:
1. TPI Ujungbatu (Lokasi utama, dan paling ramai)
2. Pelabuhan Jepara (dulu lawas yang sekarang hanya menjadi tambatan kapal.
3. Dermaga penyeberangan atau pelabuhan Kartini.
Lokasi pertama adalah pusat segala kegiatan. Lokasi kedua, dahulunya adalah sebuah pelabuhan besar sejak masa sebelum Ratu Kalinyamat. Seharusnya menjadi lokasi sejarah karena masih banyak artefak yang tidak tergali. Likasi ketiga pada Lomban 2019 tidak digunakan. Saya di sana awalnya, akan tetapi karena Kapal Feri Siginjai berangkat ke Karimunjawa dan Kapal Cepat Bahari Express sedang dicarter (entah siapa), warga tidak diizinkan di sana. Hanya untuk rombongan bupati dan tamu undangan yang dapat berangkat dari sini menggunakan kapal angkatan laut.
Kapal untuk rombongan bupati, hanya bisa menampung 30 orang sehingga sangat dibatasi |
Semoga pada lomban tahun depan dan depannya lagi, 2 kapal penyeberangan ke Karimunjawa ikut serta seperti dulu ya.... Saya lebih suka naik Siginjai atau Express Bahari kalau lihat larungan secara langsung, meskipun bakalan tidak dapat foto apik seperti para wartawan peliput acara. Oh ya, tagar #LombanJepara2019 di Twitter punya foto bagus-bagus, loh.
Semoga cukup menjawab pertanyaan tentang sejarah, tradisi, kontroversi, dan foto-foto Lomban 2019.
4 Komentar
Aku aku pernah lihat larungan secara langsung, bahahaha. Rada takut naik kapal kan. Tahun ini lagi kurang sehat. Jadi ya nikmati aja di temlen. Aku ya gak pernah mikir ini syirik. Wong tradisi budaya kan, wujud syukur dg cara lain
BalasHapusTahun depan bikin event yuk
HapusAssallammuallaikum mbak, wah saya senang sekali membaca tulisan ini. Bacanya pelan-pelan banget sambil menghayati. Saya setuju dengan mbak, bahwa sedekah laut tidak bisa dipandang hitam putih saja, kompleks banget. wallahu alam ya mbak, yang pasti foto-fotonya cantik :)
BalasHapusSaya tidak ingin menilai dari segi syirik atau tidak, karena saya bukan orang yang memiliki cukup ilmu tentang hal itu. Tapi begitulah manusia Jawa, selain mengenal hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan menusia lainnya, naluri budaya jawa juga menjunjung hubungan manusia dengan alam. Tujuannya tak lain untuk keseimbangan dan kehidupan yang harmoni. Salam kenal :)
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)