10 Mei 2018 lalu, saya dan teman-teman Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa menuju ke Pulau Genting, Sambangan dan Seruni; tiga pulau yang berada jauh dari kepulauan utama di Karimunjawa. Warga harus menyisihkan uang Rp 400 ribu untuk sekali jalan untuk ke sana. Kapal kami menuju ke timur, melawan ombak yang cukup besar. Ada sedikit rasa cemas yang kami rasakan saat itu, namun kami tipe petualang. Beberapa dari teman melihat saya dengan cemas karena tahu saya sedang hamil muda. Saya mantap melakukan perjalanan, bukan karena nekat, akan tetapi saya tahu akan kuat. 3 kehamilan saya sebelumnya membuktikan kekuatan rahim saya dalam melindungi janin.
|
Pulau Genting di Karimunjawa |
|
Pulau Sambangan Karimunjawa |
|
Pulau Seruni Karimunjawa |
Singkat kata, kami menyambut alam dengan harapan besar, alam akan ramah pada kami. Ombak besar yang mempermainkan kapal adalah konsekuensi logis karena kapal melaju berlawanan arah ombak. Kapal kami kuat, dan dinahkodai oleh orang Bugis yang merupakan penantang lautan. Mantap hati kami menyongsong petualangan seru sambil bertanya, "Benarkah kehidupan di Pulau Genting masih seperti tahun 1980-an?"
Ini akan menjadi perjalanan sejarah yang menarik.
Pulau Genting telah sedemikian dekat. Kapal melambat dan semua siaga memperhatikan bendera yang diletakkan secara acak menjadi pemisah kami dan dermaga. Bendera tersebut menandakan ada biota laut yang tak boleh diterjang dan atau pasir yang akan membuat kapal kami terjebak. Baik karang maupun pasir bisa menjadi 'bencana' bagi kami karena serupa jebakan alam. Kapal akan sulit bergerak. Akhirnya, setelah cukup lama bermanuver menghindari bendera - dengan pengalaman nyaris kandas dua kali - akhirnya kami mencapai dermaga. Kami sampai juga!
|
Jarak dermaga dengan daratan. Foto miring karena sulit tegak setelah digoyang ombak besar selama 3 jam |
|
Ekspresi lega bumil |
Sampai di pulau Genting, kami merasa sangat lega. Ada sensasi jetlag karena ombak benar-benar mempermainkan kapal kami. Berjalan di darat sambil setengah terhuyung. Seandainya jarak dermaga dengan pulau sangat dekat, mungkin kami sudah berlari sambil berteriak lebay... pulau... pulau.... Sungguh, saya hanya berani membayangkannya saja. Pulau Seruni ini memiliki pantai yang sangat landai. Tak hanya pasir putih yang membuat kapal harus berhati-hati, akan tetapi rumpunan karang berada di dekat dermaga membuat nahkoda yang tak pernah ke sana akan terdampar di sana. Bendera-bendera penanda ada rumpunan bunga karang harus diperhatikan dengan benar.
Di pulau Genting, kami melakukan jelajah pulau melalui jalan utama saja. Misi kami hanya membuktikan bahwa warga di sini masih hidup seperti tahun 1980-an. Ternyata benar.
Kami lewati jalanan perkampungan kecil berbatako. Alat listrik solar dan pemuda yang memegang HP di sekitar dermaga mengingatkan pada masa sekarang. Pada umumnya, rumah di sini masih sederhana. Ada rumah bidan - tenaga kesehatan - di pulau ini. Bidan bertugas selama 3 hari dalam seminggu. Pada kasus mendesak, ada sebuah perahu ambulan di Karimunjawa yang siap menjemput pasien antar pulau.
|
Jalan utama dari batako |
|
Rumah dinas bidan |
|
Musala, semoga bukan satu-satunya |
Di dekat rumah dinas bidan Karimunjawa, terdapat panel-panel penyerap tenaga surya. Jauh dari daratan membuat penduduk pulau ini hanya mendapat akses listrik dari sini. Voltase yang dihasilkan tidak besar, namun dirasa cukup.
Dalam perjalanan, saya melihat seorang perempuan tua yang sedang membuka kelapa. Setumpuk buah kentos dalam box kotak menarik hati saya. Sudah lama saya tak memakan bolu kelapa alami ini. Silakan baca Kandungan Gizi Kentos untuk kisah lengkapnya.
|
Masih ada yang rumahnya seperti ini |
Coba perhatikan nenek tua yang sedang memecah kelapa tua tersebut. Rasa-rasanya saya sudah belasan tahun tak melihat jenis kutang semacam itu. Mungkin lebih dari 20 tahun karena saya melihatnya saat kecil. Sebuah kutang serbaguna karena ada wadah uang di sana, Aman dan nyaman. Namanya Kutang Suroso. Jangan tanya pada saya mengapa diberi nama seunik itu. Kutang ini ternyata lazim dipakai tanpa penutup lain, akan tetapi hanya para perempuan tua saja.
Menarik, ya. Itulah sebagian pengalaman saya mengunjungi Pulau Genting. Ah ya, hampir lupa, kami juga mengabadikan sebuah dok kecil yang sedang membuat sebuah perahu. Berikut gambarnya.
1 Komentar
Sebutannya di sana 'tompong', serapan dari bahasa Bugis. Unik, menarik dan apik karena orang Jawa yang adalah mayoritas di Karimunjawa, juga memakai sebutan 'tompong', bukan 'kentos'.
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)