Masya Allah, sudah tanggal 1 September saja. Ternyata kita sudah memasuki memasuki bulan istimewa. Istimewa bagi saya dan bagi tokoh sejarah yang sedang saya garap, karena tahun ini adalah khol atau peringatan kematian R.A. Kartini yang ke 114. Tiba-tiba saya ingin membuat serangkaian tulisan bertema beliau di sela-sela kesibukan. Tulisan ringan saja, yang mungkin tidak banyak teman-teman ketahui. Misalnya tentang beberapa buku yang diterbitkan atas nama beliau, RA Kartini. Atau... hanya selintas foto penampilan keseharian anak-anak perempuan di zaman itu, yang tentu sangat menarik namun jarang ada yang melirik.
Miniatur perempuan Jawa tampak pada foto R.A. Soematri, putri termuda keluarga R.M.A.A. Sosroningrat dari Jepara |
Kartini, sosok pahlawan yang pastilah sudah dikenal teman-teman, sejak kecil, karena ada lagu khusus untuknya yang akan sering terdengar pada bulan April. Sosok yang entah sukarela atau tidak, diperingati di sekolah dan kantor di seluruh Indonesia. Faktanya, diperingati di negara lain juga, dan tak tanggung-tanggung, ada piala Kartini Award di Belanda, yang diperebutkan ratusan perempuan berprestasi di Belanda. Sebuah prestis besar dicapai saat memenangkan piala tersebut.
Entah kenapa di Indonesia hanya diperingati secara simbolis dalam bentuk bersanggul-kebaya dan melakukan lomba keterampilan. Sangat mungkin terjadi, karena tanggal lahir beliau tersebut menjadi momentum pendobrak tradisi feodal yang mencengkram sejak ketetapan pemerintah kolonial Belanda pada 1830. Karena, sejak tahun tersebut, perempuan seakan ditenggelamkan dalam peran dapur, sumur, kasur. Dengan dalih agama dan tradisi, perempuan 'dikamarkan' tanpa boleh terlihat oleh umum, kecuali menemani suaminya keluar.
Entah kenapa di Indonesia hanya diperingati secara simbolis dalam bentuk bersanggul-kebaya dan melakukan lomba keterampilan. Sangat mungkin terjadi, karena tanggal lahir beliau tersebut menjadi momentum pendobrak tradisi feodal yang mencengkram sejak ketetapan pemerintah kolonial Belanda pada 1830. Karena, sejak tahun tersebut, perempuan seakan ditenggelamkan dalam peran dapur, sumur, kasur. Dengan dalih agama dan tradisi, perempuan 'dikamarkan' tanpa boleh terlihat oleh umum, kecuali menemani suaminya keluar.
Pernahkah teman-teman membayangkan pakaian perempuan Jawa-Madura pada masa feodalisme mencengkram Hindia-Belanda? Seorang anak priyayi akan memakai kebaya dengan bawahan berupa jarik yang menutup ketat sampai ke pergelangan kaki. Tentu saja, mereka harus berjalan seperti seekor siput, sehingga pakaian tak boleh longgar. Rambut panjang mereka digelung sanggul. Sebuah miniatur raden ayu (perempuan Jawa dewasa) dalam tubuh mungil. Seperti itulah gambaran anak gadis priyayi pada zaman itu.
Anak-anak dari kalangan biasa, bagaimana rupa baju mereka? Sebuah kain (jarik) menutup badan sebatas bahu menjadi pakaian keseharian mereka. Bahu mereka lebih sering terbuka,meski pada kalangan biasa yang lebih kaya, kebaya sederhana mulai dikenakan. Rambut hanya diikat secara sembarang, yang penting tidak mengganggu gerak, karena mereka biasanya bekerja di sawah, ladang, atau berjualan di pasar.
Foto anak-anak perempuan Jawa pada zaman feodal cukup menggambarkan kondisi anak kebanyakan di zaman penjajahan (koleksi TropenMuseum). |
Penampilan anak perempuan santri tak bisa saya temukan dalam pencarian, akan tetapi itu wajar, karena pada zaman Kartini, pingitan mereka lebih ketat meski mereka belajar agama di rumah (dengan guru perempuan). Gambaran yang lebih baik bisa ditemukan di tulisan R.A. Kartini berjudul ‘Het Huwelijk bij de Kodjas’ atau Pernikahan di Suku Koja yang diterbitkan di majalah Kerajaan Belanda pada saat usianya masih 16 tahun. Tulisan tersebut dimuat kembali dalam jurnal ilmiah Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandse-Indië dan beredar di Belanda serta Hindia-Belanda. Kalau penasaran, saya akan membahasnya lain waktu, karena menarik sekali bagaimana Kartini mendeskripsikan secara detail budaya suku Koja atau Pekojan, yaitu suku keturunan Pakistan (dulu disebut Gujarat, orang Eropa menyebutnya suku Moor).
Sumber lain mengenai kondisi anak perempuan Indonesia pada zaman feodal juga bisa ditemukan dalam laporan Tim Peneliti 'Kemerosotan Kesejahteraan (Perempuan) Jawa' pada tahun 1905 - 1914, yang dilakukan oleh 9 perempuan Jawa terdidik, yaitu R.A. Soematri (Adik termuda Kartini), R.A.A. Soerio Soegianto, Dewi Kalsoem, R.A. Karlinah, R.A. Amirati, R.A. Martini, R.A. Djarisah, R. Dewi Sartika, R.A. Siti Soendari. Jauh sebelum itu, kiranya menarik jika teman-teman mengetahui, bahwa sejak tahun 1901, R.A. Kartini telah menjadi kontributor tetap sejumlah majalah di Belanda dan Hindia-Belanda untuk tema 'Kesejahteraan dan Pendidikan Perempuan', karena subyek itu sedang menjadi sorotan para warga Belanda dan Eropa yang mendukung Politik Etis.
Pada saat itu, sebuah artikel di majalah/koran/jurnal ilmiah di Belanda akan diterbitkan ulang di Hindia-Belanda karena masih minimnya jumlah penulis serta untuk percepatan persebaran informasi.
Ah, ya, untuk teman-teman yang belum tahu, saat saya menyebutkan Hindia-Belanda sebelum tahun 1900, itu artinya hanya sebatas Jawa, Madura, dan Sumatera (minus Aceh). Di luar itu, Belanda masih mengikat kerjasama sebagai kerajaan mitra dagang, jadi belum diduduki atau dijajah. Setidaknya mereka masih lebih merdeka.
Di Jawa, ada 2 koran beroplah besar di Jawa, yaitu De Locomotief (Semarang) dan De Echo (Jogjakarta). Teman-teman bisa membaca di buku Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian karta Cora Vreede-de Stuers, sebagai salah satu sumber bacaan yang bagus. Atau bisa juga buku Surat-Surat Adik Kartini karya Frits G.P. Jaquet. Beberapa tulisan pada tahun 1905 - akhir beberapa kali membahas sejarah pendidikan dan pergerakan perempuan. Kiranya menarik jika mengetahui sejarah dari sumber pertama, dan dikisahkan pada waktu yang sama. Disadari atau tidak, disepakati atau tidak, para penulis surat tersebut tidak hanya pelaku sejarah, akan tetapi juga mengabadikan kisah sejarah bangsanya (dan dunia luar) dalam bentuk surat. Mengenali sumber sejarah primer saya dapatkan dalam pelatihan Bimtek Sejarah di Semarang bulan Maret lalu. Alhamdulillah.
Ah, ya, untuk teman-teman yang belum tahu, saat saya menyebutkan Hindia-Belanda sebelum tahun 1900, itu artinya hanya sebatas Jawa, Madura, dan Sumatera (minus Aceh). Di luar itu, Belanda masih mengikat kerjasama sebagai kerajaan mitra dagang, jadi belum diduduki atau dijajah. Setidaknya mereka masih lebih merdeka.
Di Jawa, ada 2 koran beroplah besar di Jawa, yaitu De Locomotief (Semarang) dan De Echo (Jogjakarta). Teman-teman bisa membaca di buku Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian karta Cora Vreede-de Stuers, sebagai salah satu sumber bacaan yang bagus. Atau bisa juga buku Surat-Surat Adik Kartini karya Frits G.P. Jaquet. Beberapa tulisan pada tahun 1905 - akhir beberapa kali membahas sejarah pendidikan dan pergerakan perempuan. Kiranya menarik jika mengetahui sejarah dari sumber pertama, dan dikisahkan pada waktu yang sama. Disadari atau tidak, disepakati atau tidak, para penulis surat tersebut tidak hanya pelaku sejarah, akan tetapi juga mengabadikan kisah sejarah bangsanya (dan dunia luar) dalam bentuk surat. Mengenali sumber sejarah primer saya dapatkan dalam pelatihan Bimtek Sejarah di Semarang bulan Maret lalu. Alhamdulillah.
Kiranya cukup sesingkat ini dulu, tulisan saya. Cukup lama saya berencana menulis, namun 2 proyek buku sejarah saya sangat menyita waktu karena saya mengharuskan diri mempelajari secara mendalam tulisan-tulisan sejarah dalam bentuk ratusan buku, jurnal, skripsi, tesis, dan tulisan populer di media cetak/daring. Suami saya menyarankan, daripada saya hanya meresume berpuluh-puluh lembar untuk pengetahuan pribadi, lebih baik mengabarkannya di blog. Dan seperti inilah akhirnya.
Saya sering menulis tentang Sejarah Umum dan Sejarah Kartini. Banyak yang menarik dan unik di sana.
3 Komentar
Saya baru tau kalau di Belanda ada Kartini Award, apalagi penilaiannya bukan sekedar atribut busana semata.
BalasHapusAlangkah membanggakannya bila hal serupa diselenggarakan di negeri ini. Supaya para Kartini milenial memahami esensi peringatan hari Kartini lebih dari sekedar perayaan tanpa arti.
Benar saja, mengapa peringatan di Indonesia hanya sekadar bersanggul dan berkebaya. Hmmm...
BalasHapusKira-kira seperti apa ya Kartini Award itu?
Sejarah indonesia bisa mendunia ya... mantah penjajah sendiri mengakui bahwa Ibu Kartini adalah panutan dan sosok pahlawan hingga ada Kartini award tiaptahunnya..bangga lah ya. Semoga perempuan di Dunia busa terus bebas berprestasi dan mandiri.
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)