Hari ini di kelas Akademi Menulis Jepara, kami mencoba membuat personifikasi benda sekitar untuk dijadikan sebagai tokoh dalam fiksi. Saya pilih celana saja. Seperti ini tulisan saya. Jangan dirisak, ya. Masih belajar membuat cerpen....
Hari ini bukan hari biasa. Begitu katanya. Bisik-bisik yang kudengar di ruang belakang, hari ini akan ada banyak tamu istimewa. Hari ini tuan muda berusia 5 tahun. Mbok Nem dan Surti sudah menyiapkan aneka hidangan lezat di dapur sedari subuh tadi. Nyonya juga sudah berbaju rapi. Tuan yang biasanya pergi ke kantor, hari ini duduk tenang di teras bersama secangkir kopi.
Pagi ini tuan muda juga sudah mandi dan memakai baju safari putih. Ia mendapat banyak pujian ngganteng dari semua orang yang melihatnya.
“Tentu saja ia ganteng. Ia memakaiku sebagai celana,” sungutku dalam hati.
Hari ini hari istimewa. Aku terpilih sebagai baju yang dipakai hari ini. Sejak jauh hari aku sudah merasa akan jadi yang terpilih. Aku tidak suka dengan insting itu. Dan lebih tidak suka lagi karena ternyata menjadi kenyataan.
Aku telah mengeluarkan seluruh dayaku untuk menyembunyikan diri dari mata awas Surti. Tentu saja upayaku gagal. Aku ditemukan oleh Surti dengan sangat mudah. Aku sudah disetrika ulang sampai licin dan ditambah extra banyak pewangi pakaian. Semua perlakuan istimewa Surti tak mengurangi rasa jengkelku karena menjadi celana yang terpilih. Aku bahkan tak merasa senang ketika baju pasanganku disatukan denganku. Bahkan pujian untuk tuan muda pun tak lagi terasa menyenangkan.
Aku sudah melekat di tubuh tuan muda sejak jam 8 pagi tadi. Aku sudah dibawa berlari ke sana kemari. Siapapun yang melihat aktivitasnya, pasti akan lelah sendiri. Ada saja yang menarik minat dan tawanya. Ia sungguh anak yang ceria. Tapi sayang, celoteh bahagia tuan muda tak membahagiakanku. Aku terus saja terkenang peristiwa dua minggu lalu yang membekas kuat di memoriku.
Aku bergidik. Alih-alih mengingat peristiwa traumatis dua minggu lalu, aku memfokuskan seluruh pikiranku pada memori proses penciptaanku.
*******
Aku ingat di suatu siang yang terik, sepasang tangan terampil membentukku dari potongan-potongan kain yang kukenal dengan nama pola. Pola ibarat benih yang membentuk siapa kami. Dari aneka pola yang disatukan oleh benang jahit, kami diciptakan menjadi aneka bentuk. Makhluk bernama manusia pandai memberi nama pada kami. Untuk celana, aku mengenal macam-macam nama. Celana pendek, bermuda, safari, kulot, knickers, baggy, legging, capri, dan masih banyak lagi. Semakin lama namanya semakin aneh dan sulit disebutkan. Manusia menyebutku celana safari. Bentukku panjang sampai mata kaki. Aku memiliki empat saku di depan bagian dan dua saku di bagian belakang. Sebuah celana panjang istimewa dengan enam saku! Aku bangga mengingat hal itu. Apalagi aku selalu menerima tatapan kagum dan pujian.
“Celana safari yang indah, Pak Edi.”
Suatu hari, sebuah baju dipasangkan denganku. Ia terbuat dari kain yang sama denganku. “Kamu adalah sisa kainku,” aku menegaskan hal itu padanya. Baju pasanganku itu tak memperdulikanku. Dia sombong sekali.
Suatu sore, seorang wanita datang bersama seorang anak kecil. Ia mengklaimku sebagai celana pesanannya. Matanya awas menyusuri setiap lekukan dan jahitan kami. Sebuah perasaan hangat membuncah. Aku bangga karena aku dipuji sebagai celana terbaik untuk anaknya. Tentu saja, lagi-lagi aku harus berbagi pujian dengan pasanganku. Sore itu juga, kami dipakaikan ke tubuh bagian bawah seorang anak kecil yang selanjutnya kupanggil tuan muda.
Pekik bahagia terdengar dari wanita yang sering dipanggil Nyonya itu. “Tampan sekali anakku ini. Ya kan, Pak Edi?”
“Ya Bu. Den Bagus nampak semakin ganteng,” jawab pak Edi, penciptaku. Ada bangga di matanya.
Aku melekat erat di tubuh tuan muda. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa takdir sebuah celana akan lengkap jika telah dipakai manusia. Dari pantulan kaca, aku juga menyadari bahwa baju atasan yang kusebut sisa kain itu menempel dengan sempurna di bagian tubuh atas tuan muda. Ternyata kami pasangan sempurna. Aku bertugas menutupi tubuh bawah dan ia menutupi tubuh atas.
Ah ya, aku hampir melupakan sebuah baju aneh berbentuk segitiga yang memperkenalkan diri sebagai celana dalam. Aku tak kuasa menahan geli melihat bentuknya yang aneh. Pantas saja ia selalu dipakai di dalam. Siapa yang mau memakai celana berbentuk aneh seperti itu di luar?
»------(¯` Bersambung ´¯)------»
Kelas AMJ di Perpusda |
Sejak 8 Sabtu lalu, saya nekat mengikuti kelas menulis di Perpusda Jepara. Kelas ini bernama Akademi Menulis Jepara (AMJ). Kelas ini dimulai sejak 15 Sabtu yang lalu. Iya, saya terlambat mengetahuinya dan tetap excited mengikutinya. Sejak berdiri, semua sepakat belajar menulis CERPEN bareng. Pengampunya adalah cerpenis kondang dari Jepara yang sudah menulis ratusan cerpen di media massa dan seorang novelis wanita. Ada juga penulis artikel di media massa. Mas Catur, Mas Adi, dan Mbak Ella. Saya peserta yang tertua jika bu Katrin (65 tahun) tidak masuk. hehe... Tapi saya senang belajar kembali.
Menulis cerpen bagi saya adalah tantangan yang sangat besar. Saya lupa sejak kapan saya anti cerpen. Saya alergi dengan kalimat puitis berbunga-bunga. Hanya sedikit cerpen yang saya suka. Padahal, tahun 2009-2010 saya masih bisa membuat cerpen ala kadarnya di blog ini. Membuat cerpen bagi saya seperti menantang diri sendiri untuk bisa mengalahkan sikap anti yang saya idap. kemudian masalah saya bertambah. Saya harus mengakui EYD saya masih level pemula. Saya masih memakai kata ijin, perduli, berfikir, yang ketiganya tidak sesuai EYD. Maka KBBI Online harus menjadi teman saya sekarang.
Nah, di kelas ketiga yang saya ikuti, kami ditantang membuat sebuah cerpen dengan tokoh yang tak lazim, yaitu sebuah celana. Saya yang datang terlambat hanya bisa bengong sejenak. Tugas kami saat itu hanya membuat prolog saja.
Prolog saya menjadi salah satu dari 3 prolog yang harus dikembangkan. Dan cerpen di atas adalah jawaban dari tugas saya. Karena saya tulis di blog, saya bagi menjadi 3 bagian saja. ;)
Harap dimaklumi ya, saya baru belajar menulis cerpen lagi.
11 Komentar
Berfikir ga sesuai EYD ya mba? Saya juga masih pakai..wah harus banyak belajar nulis nih sg juga..cerpennya bagus loh..ditunggu kelanjutannya
BalasHapusAku juga belajar lagi mbak.
Hapusimajinasi cerpennya keren. Paragraf pertama dan kedua sudah membuat penasaran.. Semangat, Mbak.
BalasHapusdi tunngu kelanjutannya.
Terima kasih ya.
HapusBerarti jika direvisi/bongkar, 2 paragraf pertama dipertahankan ya?
Bisa kepikiran ya mbaaa tokoh utamanya celana, kreatip
BalasHapusItu bahan pelajaran di minggu ketiga yg kuikuti mbak. Pengampunya memang cerpenis sangar.
Hapuswah mbak susi sekarang menulis cerita juga ya. Penasaran dengan akhirn ceriatnya Oh ya yang memakai celana segitiga diluar cuma superman mungkin ya :)
BalasHapusHahahahaha... Banyak superhero yg tak tampak konyol meski memakai celana segitiga mbak.
HapusAku sensitif kalo bahas celanaaaa #ditagihcelana
BalasHapusmungkin cuma Superman yang mau, gak tau apa istimewanya? Bhahaha
BalasHapusMenuntut ilmu sangat bagus agar wawasan dan ketrampilan kita meningkat
BalasHapusSaya juga ingin menulis buku Kumcer nih
Baru dapat 4 cerpen
Terima kasih artikelnya yang menggugah semangatku
Salam hangat dari Surabaya
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)