Pembalap dan Maut

Salah satu klien tetap saya sebagai guide berbahasa Perancis adalah seorang mantan pembalap Rally Internasional dari Belgia. Saya sering menemaninya mencari handicraft yang berukuran besar dan luar biasa. Semakin besar dan unik, semakin disukai. Dan yang paling saya sukai adalah kami akan membicarakan apa saja secara terbuka sepanjang perjalanan. Seni budaya, politik, pendidikan, musik, film bahkan psikologi lokal Indonesia maupun Belgia. Wajar saja karena kami selalu melewatkan 5-8 jam di dalam mobil dan ngobrol adalah salah satu cara efektif mengusir bosan atau kaki-punggung sakit. Kosakata bahasa Perancis saya akan meningkat cukup banyak.

Suatu kali saya pernah berkata, “vous avez joué la mort” (Anda bermain dengan kematian) dan dijawab panjang lebar, termasuk trauma tersembunyi yang menjadikannya pembalap internasional. 
Ketika masih pembalap pemula, mobil yang dipiloti keluar jalur dan jatuh ke jurang, tepat di rel kereta api super cepat. Beliau segera mengecek apa saja yang rusak dan berusaha menyadarkan navigatornya yang pingsan.  Tak berhasil, beliau segera keluar dari mobil dan tak lama kemudian sebuah kereta api melaju dan menabrak mobil balap tersebut. Potongan pintu menabrak dan menghancurkan seluruh telapak tangan kanan. Perlu 1 tahun untuk kembali pulih, dan satu tahun untuk kembali belajar menulis. Luka fisik mudah diobati, namun trauma lebih sulit. Melihat kematian sahabat sekaligus navigator di depan mata secara mengenaskan sungguh tidak mudah. Tapi justru itulah yang membuatnya belajar cara menghindari jatuh dengan membuat alat duduk khusus yang hanya fit pada pengendara hingga satu perubahan kecil pada jalan akan terasa. Dengan latihan yang serius akhirnya kesuksesan yang di dapat. “C’est un métier et il faut métrisser.”, Itu hanya pekerjaan yang harus dikuasai, katanya. Akhirnya beliau terpaksa berhenti setelah mengalami kecelakaan ketiga. “3 accident, c’est assez”. Tiga saja cukup

Saya bukan penggemar olah raga balap meski terkadang saya suka jika diajak ngebut suami. Meski saya tahu semua pembalap telah dibekali dengan teori dan praktek untuk menyelamatkan hidup mereka, tetap saja saya ngeri. Apalagi karena olahraga ini sangat dekat dengan maut. Fisik mental, keahlian sudah mantap. Lalu bagaimana jika ternyata rem agak macet hingga membawa 3 kecelakaan pada client saya ini? Terlambat rem sedetik di kecepatan 350 km/jam = kecelakaan maut yang dahsyat. Benarkah parnoisme saya? Yang jelas saat ini dunia masih dikejutkan oleh berita kematian Marco Simoncelli di sirkuit Sepang. Akibat jatuh di jalur lintasan, Simoncelli dilindas dua rekannya, Collin Edward dan Valentino Rossi. Bisakah kita sekali lagi mengatakan practice make perfect?  Mungkin ini berkaitan dengan nasib dan usia yang telah sampai di ujung jalan. Selamat tinggal Marco Simoncelli. Semoga amal ibadahmu diterima Allah.

15 Komentar

  1. Amin.
    mbak Susi awal bisanya bahasa Perancis apa memang dulu pernah tinggal di sana?

    BalasHapus
  2. @Sadako KenzhiAwalnya belajar di SMA, lanjut di kuliah.

    BalasHapus
  3. Saya suka ngeri kalo dngr suaranya, apalagi kalo liat adegannya? Hikz

    BalasHapus
  4. begitulah resiko pekerjaan, bila sudah mendarah daging alias mem-profesionalkan secara mantap maka judul "Mati adalah resikonya" sudah dipegang erat-erat.... Termasuk Marco Simoncelli.

    Namun tetap saja masalah mati hanya tuhan yang menentukan?

    BalasHapus
  5. saya pernah merasakan trauma jalan raya, disebabkan karena bapak saya dulu pernah mengalami kecelakaan.
    Tapi sekarang sih sudah nggak lagi.. :D

    Hidup mati sudah digariskan oleh-Nya. Saya dulu juga ga terlalu suka nonton MotoGP, tapi setelah adanya Simoncelli, jadi lebih suka. Sekarang sudah tiada, tapi bisa diingatkan oleh seorang pemain bola dari Chealsea yaitu David Luiz. Rambutnya itu sama-sama kribo.. :D

    BalasHapus
  6. manusia hanya punya rencana dan Tuhanlah penentu nasib.. setangguh-tangguhnya penantang maut kalau sudah apes.. yo wis bablas angine

    BalasHapus
  7. Iya Mbak ya olahraga balap memang mengerikan...

    Salam Kenal.

    BalasHapus
  8. Baru tahu Mbak Susi suka diajak ngebut, hehe...

    Iya Mbak kecelakaan tragis yang jadi buah bibir sedunia. Selamat jalan Marco Simoncelli, demikian akhir hidupnya, entah bagaimana dengan kita?

    BalasHapus
  9. well, menjadi pembalap adalah pilihan, meskipun belum tentu aku akan senang jika salah satu anakku akan menjadi pembalap :)

    Tapi kalau kita pikir kematian itu bisa datang kapan saja, dimana saja, pada siapa saja dengan cara apa saja, maka pembalap mungkin hanya "mempercepat" sedikit kemungkinan itu.

    BalasHapus
  10. R.I.P for marco simoncelli...
    ni pembalap kesayangan saya...
    hikz.....

    BalasHapus
  11. simonceeli suka bandel juga nih kalo balapan

    BalasHapus
  12. @Semua: Iya, benar sekali. Meski telah menguasai benar, tapi jodoh dan maut adalah hak tunggal Allah swt.

    BalasHapus
  13. kasihan simoncelli ya
    dia tuh pembalap bermasa depan cerah lho...

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)