Repost dari Blogsusindra yang lain untuk menjaga irama blog sementara Susi berada di Semarang 3 hari untuk menghadiri pernikahan keponakan siang nanti. Juga, karena 2 kematian (Ipar dari Ipar Susi dan seorang sepupu) yang harus Susi hadiri pagi ini.
Siang ini ada teman yang berkunjung bersama anak dan suaminya. Ketika para papa berbincang-bincang tentang mebel, anak-anak bermain bersama, kami para mama bercengkrama membahas tentang anak. Temanku menyatakan keinginan anaknya yang baru berusia 2,5 tahun memiliki adek. Dia ingin meminta pendapatku tentang kehamilan kedua.
Pembicaraan ini membuatku refresh ke masa lalu, ketika aku menyadari kehamilanku dan meminta papanya merahasiakan kehamilanku dari Destin, minimal dalam satu minggu karena aku membutuhkan strategi dan waktu untuk mengabari kedatangan calon adeknya. Dalam waktu satu minggu itu aku mengajak Destin bermain ke rumah teman-teman yang memiliki anak bayi, mengajari beberapa lagu tentang kakak adek, kalau perlu mengarang dongeng. Aku ingin membangkitkan rasa ingin tahu Destin menjadi seorang kakak. Ini kulakukan karena Destin benar-benar benci pada anak yang lebih muda dari dia, terutama bayi.
Satu minggu kemudian aku mengajaknya having fun di pantai. Di sela-sela istirahat, aku bertanya tentang keinginannya memiliki adek. Jawabannya singkat. “Mau.” Dan dia menginginkan adek laki-laki.
Voila! Aku langsung menceritakan tentang calon adeknya yang ada di perut. Mungkin laki-laki mungkin perempuan. Tentu saja disela oleh keinginannya memiliki adek laki-laki. “Agar bisa bermain sepakbola dengan adek.” Katanya.
Beberapa strategi tetap aku jalankan. Aku memberi nama janin yang ada di perutku agar sang kakak dapat memanggilnya dengan mesra. (Aku juga memberi nama pada saat Destin masih janin). Aku ceritakan apa yang sedang dikerjakan adeknya di perut. Membangkitkan rasa sayang destin pada adeknya. Destin sering mencium perutku atau mendengarkan detak jantung adeknya. Sungguh menyenangkan.
Memang tidak selalu menyenangkan. Karena hamil kedua juga berarti menjaga hati Destin dari rasa iri atau tersingkir. Belum termasuk kebiasaan “jemarinen” atau manja yang berlebihan yang biasa terjadi pada anak pertama. Adakalanya sungguh berat menghadapi Destin yang merajuk, yang tiba-tiba menangis tak henti-henti tanpa sebab. Perilaku yang lazim dialami semua kakak yang akan memiliki adek.
Apapun itu, aku berhasil membuat Destin mencintai adeknya, menjadikannya kakak yang bangga akan adeknya, yang mau menjaga adeknya dengan penuh kasih dan mau mengalah pada adeknya. Bukan usaha yang mudah, tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Siang ini ada teman yang berkunjung bersama anak dan suaminya. Ketika para papa berbincang-bincang tentang mebel, anak-anak bermain bersama, kami para mama bercengkrama membahas tentang anak. Temanku menyatakan keinginan anaknya yang baru berusia 2,5 tahun memiliki adek. Dia ingin meminta pendapatku tentang kehamilan kedua.
Pembicaraan ini membuatku refresh ke masa lalu, ketika aku menyadari kehamilanku dan meminta papanya merahasiakan kehamilanku dari Destin, minimal dalam satu minggu karena aku membutuhkan strategi dan waktu untuk mengabari kedatangan calon adeknya. Dalam waktu satu minggu itu aku mengajak Destin bermain ke rumah teman-teman yang memiliki anak bayi, mengajari beberapa lagu tentang kakak adek, kalau perlu mengarang dongeng. Aku ingin membangkitkan rasa ingin tahu Destin menjadi seorang kakak. Ini kulakukan karena Destin benar-benar benci pada anak yang lebih muda dari dia, terutama bayi.
Satu minggu kemudian aku mengajaknya having fun di pantai. Di sela-sela istirahat, aku bertanya tentang keinginannya memiliki adek. Jawabannya singkat. “Mau.” Dan dia menginginkan adek laki-laki.
Voila! Aku langsung menceritakan tentang calon adeknya yang ada di perut. Mungkin laki-laki mungkin perempuan. Tentu saja disela oleh keinginannya memiliki adek laki-laki. “Agar bisa bermain sepakbola dengan adek.” Katanya.
Beberapa strategi tetap aku jalankan. Aku memberi nama janin yang ada di perutku agar sang kakak dapat memanggilnya dengan mesra. (Aku juga memberi nama pada saat Destin masih janin). Aku ceritakan apa yang sedang dikerjakan adeknya di perut. Membangkitkan rasa sayang destin pada adeknya. Destin sering mencium perutku atau mendengarkan detak jantung adeknya. Sungguh menyenangkan.
Memang tidak selalu menyenangkan. Karena hamil kedua juga berarti menjaga hati Destin dari rasa iri atau tersingkir. Belum termasuk kebiasaan “jemarinen” atau manja yang berlebihan yang biasa terjadi pada anak pertama. Adakalanya sungguh berat menghadapi Destin yang merajuk, yang tiba-tiba menangis tak henti-henti tanpa sebab. Perilaku yang lazim dialami semua kakak yang akan memiliki adek.
Apapun itu, aku berhasil membuat Destin mencintai adeknya, menjadikannya kakak yang bangga akan adeknya, yang mau menjaga adeknya dengan penuh kasih dan mau mengalah pada adeknya. Bukan usaha yang mudah, tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin.
7 Komentar
memang seharusnya begitu mbak, dikenalkan dengan calon adiknya dari kandungan. cemburu2 kecil pasti ada ya
BalasHapuswah, tips nya nanti saya coba kalo hamil anak kedua deh (insya Allah)
BalasHapusOhya mba, PR nya dah saya kerjain. monggo diintip
Jadi inget dulu waktu kecil, sempet cemburu berat sama adek ^^
BalasHapusMengajari anak menyayangi adiknya, apalagi utk gak berebut mainan, ternyata perkara yg tdk mudah yah Mba...
BalasHapusHebat ya, ternyata Destin begitu dewasa.. :-)
Saran yangbagus nih buat ibu - ibu yang baru punya anak satu dan berencana nambah.
BalasHapusternyata, si kakak sayang banget sama calon adeknya..
BalasHapusdan emang kelahiran buah hati tuh selalu menjadi hal yang paling ditunggu..
selamat beraktivitas jeng, turut berduka atas kematian saudara jeng susindra.
Cemburu karena sayang tu Mbak...
BalasHapusMemang harus ada strategi untuk berkomunikasi dengan ananda...
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)