Sore ini aku memilih menyembunyikan diri di kamar. Dengan gundah, aku duduk saja di depan cermin. Memandang pantulan wajahku yang telah berubah banyak sejak 2 bulan ini. Wajahku mulai kusam karena tak lagi terawat. Rambutku lebih sering tergelung dengan bantuan penjepit rambut. Tak pernah lagi terurai indah menghiasi bahu.
Dari cermin, aku melihat tempat tidurku yang telah dihias indah layaknya kamar pengantin. Seikat bunga dihias di tengah headboard untuk mengunci simpul kain satin berwarna merah. Cover-nya pun telah ditaburi bunga melati.
2 jam lagi adalah upacara pernikahanku. Sebuah hari bahagia bagi semua wanita. Julukan ratu sehari itu sebentar lagi akan aku nikmati. Tapi mengapa hatiku tetap resah?
Suara budhe dan Bulek yang menyiapkan jamuan malam ini terdengar sangat bising. Celoteh dan gelak tawa mengganggu telingaku. Berkali-kali aku menahan diri berteriak meminta mereka diam. Namun kata hatiku mengingatkan, “Mereka sedang membantuku, mengapa bukan rasa terima kasih yang aku ucapkan?”
Suara mereka benar-benar mengacaukan pikiranku. Terkadang terdengar keluhan atau cemoohan atas perkawinanku, seakan penyatuan dua hati ini adalah sesuatu yang jauh dari patut. Sayup-sayup terdengar suara ibu yang agak terisak menjawab cemoohan orang.
“Sebagai orang tua, saya hanya menuruti permintaan anak. Mereka yang memilih. Mereka yang mau. Dan mereka yang akan menjalaninya. Saya hanya orang tua yang bisa mengarahkan, bukan menghalangi.”
Oh, ibu, betapa besar duka yang kau tanggung karena aku. Air mataku mengalir tak dapat terbendung lagi. Kembali perasaanku berkecamuk. Kata hatiku yang terus bersuara memintaku menghentikan pernikahan ini semakin keras menyuarakan pendapatnya. “Kamu harus menghentikan pernikahan yang tidak selayaknya ini!”
Berbeda dengan kata hatiku, perasaan cinta dan takutku tak kalah kuat berteriak, “Kalian saling cinta! Ingat kandunganmu! Buah cinta kalian! Tidakkah kau merasa kasihan padanya? Lalu bagaimana dengan cinta Ferdi padamu? Cintanya tulus padamu!”
Hatiku semakin resah. Untuk meredakannya aku memilih menutup kata hati dan perasaanku. Aku memilih diam membatu. Memerintahkan otakku untuk tidak mendengar suara apapun. Tak juga suara dari diriku sendiri.
Kupejamkan mataku. Kucoba mendengarkan musik dihatiku. Kucoba membangkitkan kenanganku. Rasa cintaku pada Ferdi. Ya, kucoba menggambarkan sosok Ferdi yang telah memenuhi hatiku sejak lima tahun yang lalu.
Ferdi Andyansah. Tinggi, tampan, rambut bergelombang rapi, senyum ramah, bibir penuh, kulit gelap namun bersih, dan yang terakhir matanya. Matanya yang menyala-nyala. Menyalakan rasa cinta. Perasaan yang aku tangkap tanpa sengajasatu tahun lalu. Membuat hatiku berdesir tak karuan. Membuat hatiku bahagia, karena cintaku tak bertepuk sebelah tangan.
Perlahan namun pasti aku teringat sore hari 6 bulan lalu, saat pertama kali rasa cinta kami terungkap. Sore di pantai Tirta Samudra yang indah. Aku hanya berdiam diri menikmati wajahnya yang takjub melihat nelayan mendayung perahu kecilnya ke pantai untuk berlabuh. Hatiku gelisah. Hatiku bahagia melihatnya sedemikian bahagia. Sudah 1 tahun ini aku berhasil menekan perasaan cintaku padanya. Sudah satu tahun ini aku berusaha dekat dengan orang lain. Dekat dengan Anwar yang sangat mencintaiku. Tak sadar anganku melayang pada sosok Anwar yang tak pernah bosan menjadi mengobati resahku.
“Aku mencintaimu, mbak.”
Sayup-sayup, di antara lamunanku, aku mendengar suara Ferdi yang aku kenal baik. Deg, hatiku tersentak. Secepat angin, anganku menjauh dan aku jatuh kembali ke pantai Tirta samudra. Aku tersentak mendengar kata Ferdi. Dengan cepat aku menarik tanganku dari genggaman Ferdi yang entah kapan dia lakukan.
“Aku mencintaimu, mbak Lina.”
“Kamu bilang apa, Dek?”
“Aku mencintaimu. Dan itu pasti.”
“Dek?” Aku mencoba mencerna ucapan Ferdi yang membuat aku terkejut.
“Mbak, aku mencintaimu. Mencintaimu, mbak. Sudah lama aku merasakannya. Merenungkannya. Berusaha membuangnya. Mbak, aku harus jujur padamu. Aku mencintaimu. Ini bukan cinta adek pada kakaknya. Ini cinta laki-laki pada perempuan.”
“Dek! Hentikan ucapanmu yang tak senonoh ini”
“Jujur, mbak! Kamu mencintaiku! Aku tahu itu! Aku melihatnya. Aku merasakannya! Mataku tidak buta, mbak. Bahkan ibu juga tidak!”
Deg, ibu tahu?
Ibu. Ibuku yang mulai renta dimakan usia adalah orang yang paling menderita karena cinta kami. Ibu yang bijak telah tahu perasaan kami. Ya Allah. Apa yang terjadi pada hambamu ini?
“Aku tidak mau membicarakan ini lagi, Dek.”
“Katakan kau mencintaiku, mbak. Maka akan aku hentikan semua kegilaan ini.”
“Tidak.”
“Mbak, jujurlah padaku. Aku tahu kamu mencintaiku.”
“Ferdi Ardyansah! Hentikan!”
Wajah Ferdi memucat. Aku jarang sekali memanggilnya dengan nama lengkap kecuali jika aku sudah sangat marah. Aku melihat matanya yang berduka. Aku tak tahan melihat kesedihannya. Dari bayi, akulah yang selalu pertama kali menolongnya setiap kali mendengar teriakannya. Aku yang menghapus air matanya ketika menangis. Aku yang paling pontang-panting menuruti permintaannya. Aku yang paling berduka melihatnya menangis karena putus cinta untuk pertama kalinya. Aku sudah seperti ibunya. Aku mencintainya, sejak pertama kali dia dilahirkan di dunia.
“Mbak? Kamu marah padaku, mbak? Jangan marah. Aku tak tahan dengan murkamu.”
“Tolong jangan katakan apapun tentang cinta padaku, Dek. Kamu adalah adekku. Tak layak kamu memelihara rasa cinta itu padaku.”
“Kita bukan saudara sekandung, Mbak. Apa salahnya?”
“Ketika pertama kali aku mengakui ibu dan almarhum bapak sebagai orang tuaku, sejak itulah aku menjadi kakakmu. Aku tak mau lagi membicarakan cinta laknat ini.”
“Ini cinta suci, mbak. Jangan melaknatnya.”
***********************************Dari cermin, aku melihat tempat tidurku yang telah dihias indah layaknya kamar pengantin. Seikat bunga dihias di tengah headboard untuk mengunci simpul kain satin berwarna merah. Cover-nya pun telah ditaburi bunga melati.
2 jam lagi adalah upacara pernikahanku. Sebuah hari bahagia bagi semua wanita. Julukan ratu sehari itu sebentar lagi akan aku nikmati. Tapi mengapa hatiku tetap resah?
Suara budhe dan Bulek yang menyiapkan jamuan malam ini terdengar sangat bising. Celoteh dan gelak tawa mengganggu telingaku. Berkali-kali aku menahan diri berteriak meminta mereka diam. Namun kata hatiku mengingatkan, “Mereka sedang membantuku, mengapa bukan rasa terima kasih yang aku ucapkan?”
Suara mereka benar-benar mengacaukan pikiranku. Terkadang terdengar keluhan atau cemoohan atas perkawinanku, seakan penyatuan dua hati ini adalah sesuatu yang jauh dari patut. Sayup-sayup terdengar suara ibu yang agak terisak menjawab cemoohan orang.
“Sebagai orang tua, saya hanya menuruti permintaan anak. Mereka yang memilih. Mereka yang mau. Dan mereka yang akan menjalaninya. Saya hanya orang tua yang bisa mengarahkan, bukan menghalangi.”
Oh, ibu, betapa besar duka yang kau tanggung karena aku. Air mataku mengalir tak dapat terbendung lagi. Kembali perasaanku berkecamuk. Kata hatiku yang terus bersuara memintaku menghentikan pernikahan ini semakin keras menyuarakan pendapatnya. “Kamu harus menghentikan pernikahan yang tidak selayaknya ini!”
Berbeda dengan kata hatiku, perasaan cinta dan takutku tak kalah kuat berteriak, “Kalian saling cinta! Ingat kandunganmu! Buah cinta kalian! Tidakkah kau merasa kasihan padanya? Lalu bagaimana dengan cinta Ferdi padamu? Cintanya tulus padamu!”
Hatiku semakin resah. Untuk meredakannya aku memilih menutup kata hati dan perasaanku. Aku memilih diam membatu. Memerintahkan otakku untuk tidak mendengar suara apapun. Tak juga suara dari diriku sendiri.
Kupejamkan mataku. Kucoba mendengarkan musik dihatiku. Kucoba membangkitkan kenanganku. Rasa cintaku pada Ferdi. Ya, kucoba menggambarkan sosok Ferdi yang telah memenuhi hatiku sejak lima tahun yang lalu.
Ferdi Andyansah. Tinggi, tampan, rambut bergelombang rapi, senyum ramah, bibir penuh, kulit gelap namun bersih, dan yang terakhir matanya. Matanya yang menyala-nyala. Menyalakan rasa cinta. Perasaan yang aku tangkap tanpa sengajasatu tahun lalu. Membuat hatiku berdesir tak karuan. Membuat hatiku bahagia, karena cintaku tak bertepuk sebelah tangan.
Perlahan namun pasti aku teringat sore hari 6 bulan lalu, saat pertama kali rasa cinta kami terungkap. Sore di pantai Tirta Samudra yang indah. Aku hanya berdiam diri menikmati wajahnya yang takjub melihat nelayan mendayung perahu kecilnya ke pantai untuk berlabuh. Hatiku gelisah. Hatiku bahagia melihatnya sedemikian bahagia. Sudah 1 tahun ini aku berhasil menekan perasaan cintaku padanya. Sudah satu tahun ini aku berusaha dekat dengan orang lain. Dekat dengan Anwar yang sangat mencintaiku. Tak sadar anganku melayang pada sosok Anwar yang tak pernah bosan menjadi mengobati resahku.
“Aku mencintaimu, mbak.”
Sayup-sayup, di antara lamunanku, aku mendengar suara Ferdi yang aku kenal baik. Deg, hatiku tersentak. Secepat angin, anganku menjauh dan aku jatuh kembali ke pantai Tirta samudra. Aku tersentak mendengar kata Ferdi. Dengan cepat aku menarik tanganku dari genggaman Ferdi yang entah kapan dia lakukan.
“Aku mencintaimu, mbak Lina.”
“Kamu bilang apa, Dek?”
“Aku mencintaimu. Dan itu pasti.”
“Dek?” Aku mencoba mencerna ucapan Ferdi yang membuat aku terkejut.
“Mbak, aku mencintaimu. Mencintaimu, mbak. Sudah lama aku merasakannya. Merenungkannya. Berusaha membuangnya. Mbak, aku harus jujur padamu. Aku mencintaimu. Ini bukan cinta adek pada kakaknya. Ini cinta laki-laki pada perempuan.”
“Dek! Hentikan ucapanmu yang tak senonoh ini”
“Jujur, mbak! Kamu mencintaiku! Aku tahu itu! Aku melihatnya. Aku merasakannya! Mataku tidak buta, mbak. Bahkan ibu juga tidak!”
Deg, ibu tahu?
Ibu. Ibuku yang mulai renta dimakan usia adalah orang yang paling menderita karena cinta kami. Ibu yang bijak telah tahu perasaan kami. Ya Allah. Apa yang terjadi pada hambamu ini?
“Aku tidak mau membicarakan ini lagi, Dek.”
“Katakan kau mencintaiku, mbak. Maka akan aku hentikan semua kegilaan ini.”
“Tidak.”
“Mbak, jujurlah padaku. Aku tahu kamu mencintaiku.”
“Ferdi Ardyansah! Hentikan!”
Wajah Ferdi memucat. Aku jarang sekali memanggilnya dengan nama lengkap kecuali jika aku sudah sangat marah. Aku melihat matanya yang berduka. Aku tak tahan melihat kesedihannya. Dari bayi, akulah yang selalu pertama kali menolongnya setiap kali mendengar teriakannya. Aku yang menghapus air matanya ketika menangis. Aku yang paling pontang-panting menuruti permintaannya. Aku yang paling berduka melihatnya menangis karena putus cinta untuk pertama kalinya. Aku sudah seperti ibunya. Aku mencintainya, sejak pertama kali dia dilahirkan di dunia.
“Mbak? Kamu marah padaku, mbak? Jangan marah. Aku tak tahan dengan murkamu.”
“Tolong jangan katakan apapun tentang cinta padaku, Dek. Kamu adalah adekku. Tak layak kamu memelihara rasa cinta itu padaku.”
“Kita bukan saudara sekandung, Mbak. Apa salahnya?”
“Ketika pertama kali aku mengakui ibu dan almarhum bapak sebagai orang tuaku, sejak itulah aku menjadi kakakmu. Aku tak mau lagi membicarakan cinta laknat ini.”
“Ini cinta suci, mbak. Jangan melaknatnya.”
Cerita ini sudah lama sekali kubuat dan Susi sudah menyerah dengan menganggap draft ini telah hilang. jadi ketika menemukannya, langsung diposting agar ingat lagi. Ini project pertama Susi dan jika ada waktu akan Susi selesaikan.
15 Komentar
Bukan cerita yang indah, ya?
BalasHapusNext tima akan kuedit lagi pilihan katanya. Ini hanya ungkapan syukur karena menemukan kembali harta karun yang lama kucari & sebenarnya sudah kurelakan kehilangannya.
cerita yang 'out of the box' temanya....
BalasHapusmasih ada lanjutannyakah?
Nique & Dewi: Iya ada kelanjutannya. Tentang kisah cinta kakak angkat & adik. Bukan cinta terlarang, hanya cinta tak biasa. Terutama karena sang istri lebih tua 5 tahun. Airmataku cukup terkuras kala membuat draft ini 2 tahun lalu. :D
BalasHapusENJOY, ya....! Ntar aku posting lanjutannya sambil jalan
ditunggu cerita selanjutnya mba ;) . salam kenal
BalasHapusDinathea: Makasih ya sudah mampir. Salam kenal juga.
BalasHapusJazy: Kalo punya bakat bikin cerita fiksi, komentarpun kasih ide/cerita fiksi, ya? Tapi benar, asam manis pahit cinta.
ayo mbak...ceritanya diselesaikan...hehe....
BalasHapusjeparanya mana mbak???? teman saya banyak lho yang di jepara.
kalo saya asli kudus mbak
Aina: Iya, ntar kuposting sisanya. kalo kebanyakan, nanti malah pada males bacanya.
BalasHapusKamu asli Kudus & tinggal di Kudus? Wah, kita bisa kopdaran kapan saja, ya?
benar2 mengharukan ya mbak. penasaran dengan kelanjutan cintanya ferdi, itu cinta sedarah ga ya? maksudnya sama2 menyusu kepada ibu yang sama.halah knapa aku bahas ini ya hehehe. cuma fiksi kan
BalasHapuspenasaran ma kelanjutan ceritanya nich
BalasHapusMbak Lidya & mbak Fitri: Yang jelas bukan cinta sedarah atau incest dong. Ntar aku digebukin orang. :p
BalasHapusLagian ga mungkin sang ibu setuju, kan kalo sedarah? Tunggu, ya. Harus beberapa kali posting biar komplet. Tapi ini bukan novel, hanya novelet. Malah belum punya judul. Makanya ga kutemukan. Xixi.. judul filenya "La mbuh" beruntung ga kubuang dari dulu. hehe...
Wah selamat karena sudah menemukan harta karunnya... salam kenal
BalasHapusNyimak dulu yach sobb..
BalasHapusMauna & Anas: Terima aksih kunjungannya, ya..
BalasHapussilahkan disimak wal baca. Siapa tahu cocok.
sedih bgt ceritax, ditunggu lanjutannx ya sus..:-)
BalasHapusPinter ya mbak buat cerita..:-)
BalasHapusditunggu ya kelanjutannya, dan salam kenal..
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)